Benci, Benarkah?

2.4K 210 10
                                    

"Kalau dilihat dari letaknya yang berada tepat di antara dua kabupaten, kemungkinan jangkauannya sangat luas. Selain itu, Rantauprapat merupakan kota tertua di antara ketiga kabupaten kota tersebut. Pusat perbelanjaan, hotel, restoran, pentas musik, show room, kafe sekarang sedang marak-maraknya di sana. Itulah sebabnya saya mengajukan kota ini sebagai tempat pengembangan Sintesa Advertising yang baru." Nata menatap sosok perlente di depannya.

"Sepertinya kamu mengetahui betul seluk beluk kota itu." Pak Rio menatap Nata sejenak lalu kembali menatap layar berisi gambaran keadaan kota yang akan menjadi tujuan pengembangan Sintesa Advertising.

"Saya pernah ke sana. Beberapa teman kuliah saya dulu berasal dari sana. Sebagian juga pernah menggunakan jasa Sintesa Advertising saat mempromosikan usaha mereka." Nata menjawab sambil tersenyum. Rantauprapat juga kota kelahiran Rania. Mantan pacar brengsek yang dulu memutuskan saya secara sepihak, Pak, lanjut Nata di dalam hati.

Pak Rio mengangguk beberapa kali mendengar penjelasan Nata. Ditutupnya map di depannya lalu menatap ke tiga pemuda di depannya. "Oke. Saya setuju cabang Sintesa yang baru kita kembangkan di Rantauprapat," ucapnya kemudian memandang Pak Rahman dan Azmi, dua investor lain yang akan menanamkan uangnya dalam proyek kali ini. Tanpa perlu ditanya keduanya mengangguk.

Melihat itu, Gwen, Nata, dan Monang saling tatap dan melempar senyum. Secara keseluruhan jumlah saham Papa Gwen memang paling besar di antara investor lain, jadi rencana pengembangan itu bisa langsung melaju ke tahap berikutnya begitu dia setuju. Pertemuan diakhiri dengan saling jabat tangan dan senyum puas dari semua peserta.

Gwen yang sudah selesai merapikan berkas-berkasnya, berdiri dari tempat duduknya. "Aku duluan, ya. Masih ada beberapa pekerjaan yang harus selesai hari ini," ucapnya sambil menenteng tas laptopnya, bersiap-siap meninggalkan ruang rapat. Sebelum pergi, Gwen menatap Nata yang masih sibuk dengan ponselnya sampai beberapa saat. Dia menarik napas lalu mengembuskannya perlahan sebelum akhirnya betul-betul meninggalkan ruangan bersuhu sejuk itu.

Monang yang diam-diam memperhatikan ekspresi sendu Gwen saat menatap Nata hanya bisa geleng-geleng kepala. Gelagat dan cara Gwen memperlakukan Nata, seluruh jagat Sintesa pasti tahu bagaimana perasaan cewek berambut lurus itu. Mungkin hanya baosnya saja yang tidak tidak tahu atau tidak mau tahu. Naksir cowok enggak sadar lingkungan itu memang siksaan banget.

"Memang sial banget ya ini si Rania. Berani-beraninya dia mematikan panggilanku," ucap Nata gusar, matanya melotot menatap tidak percaya layar ponselnya. Dia mencoba sekali lagi namun sampai nada panggilnya berhenti, gadis itu lagi-lagi tidak mengangkat panggilannya. Tidak ingin menyerah begitu saja, Nata mengirim pesan. Meminta Rania menunggunya sampai dia tiba di ruangannya.

"Mau kemana?" tanya Monang saat melihat Nata bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pintu. "Kita jadikan ke bengkelnya Andika? Barusan dia ngabarin motor yang kamu cari kemarin ready di bengkelnya." Monang mengingatkan rencana melihat motor Astrea Grand keluaran 1997 yang sudah lama mereka cari-cari. Selain mendatangi kota-kota yang ada di Indonesia, Nata juga menyukai jenis motor bebek keluaran lama.

"Jadi. Sebentar aku ke ruanganku dulu sekaligus mau menemui si Rania. Enak banget hidupnya. Dibiar-biarin padahal sudah seenaknya begitu," ujar Nata keluar dari ruang rapat. Diikuti Monang, berdua mereka berjalan ke arah ruangan Nata.

"Gampang sih. Kalau mengganggu ya dipecat saja. Minta Gwen mencari sekretaris baru."

Mendengar itu langkah Nata langsung berhenti. Dia menoleh ke arah Monang di sebelahnya dan memelototinya.

"Enggak. Aku enggak bakalan mecat sampai dia mengakui kalau pendapatnya tentang aku dulu salah!" tukas Nata.

"Penting banget ya pengakuan seorang Rania. Padahal, enggak bakalan mempengaruhi apa pun terhadap keberhasilanmu yang sudah kamu capai saat ini. Kalau kulihat dari cara dia memperlakukanmu, secara tidak langsung juga sudah mengakui keberhasilanmu. Dia tidak pernah menolak apalagi membantah perintahmu. Setiap kali ketemu langsung menunduk hormat," ujar Monang.

"Halah! Itukan cara dia supaya bisa mendekati aku lagi."

Monang tidak percaya. Setelah satu bulan menngenal gadis itu tuduhan Nata rasanya terlalu mengada-ada. Rania melakukan pekerjaannya sepenuh hati. Tidak ada unsur cari-cari perhatian apalagi indikasi ingin mendekati seseorang, seperti yang dituduhkan Nata. Tidak pernah terdengar mengeluh bahkan saat Nata keterlaluan. Kalau yang lain mungkin sudah mengundurkan diri sejak lama. Tapi tidak dengan Rania. Sampai hari ini dia masih juga bertahan. Dan butuh alasan yang kuat untuk semua itu.

"Kamu pernah enggak sih mencari tahu kehidupan Rania setelah kalian putus? Butuh alasan yang kuat untuknya tetap bertahan bekerja di sini," ujar Monang menatap Nata.

Nata tidak menjawab. Dia meneruskan langkahnya yang sempat terhenti dalam diam.

Sementara itu, Rania yang sedang sibuk di depan komputer hanya membaca chat dari Nata kemudian mengabaikannya. Tidak ada niat sama sekali untuk membalas. Pesan berisi perintah untuk menunggu itu membuat keinginan untuk segera menyelesaikan pekerjaannya semakin kuat.

"Done!" serunya. Sambil menunggu komputernya dalam proses shutdown Rania memasukkan planner dan ponsel ke dalam tasnya. Dia sudah harus meninggalkan Sintesa sebelum Nata datang. Bisa runyam urusannya kalau sampai mereka bertemu. Saat ini Nata pasti ingin sekali mencekiknya. Laki-laki narsis itu mana terima poto jadul bin leceknya disebar-sebar begitu. Takut kehilangan penggemar dong, dia. "Huh! Makan itu penampilan." Rania mencibir sambil terus menggerutu.

Setelah yakin komputernya mati dan barang-barang pribadinya sudah masuk semua ke dalam tas, Rania berbalik. "Aduh!" teriaknya saat wajahnya menubruk dada seseorang. Dari aroma familiar yang menguar, dia tahu siapa yang sudah menghalangi langkahnya. Kenapa sih Kacang satu ini sulit banget buat dihindari? Keluhnya dalam hati.

"Mau lari kemana, heh," ucap Nata sambil mendekati Rania dengan langkah perlahan dan tatapan penuh intimidasi.

"Siapa yang mau lari? Enak saja. Sudah pukul lima sore. Waktunya pulang," jawab Rania. Dia mundur selangkah setiap kali Nata maju selangkah. Dan akhirnya berhenti saat tubuhnya tak bisa lagi bergerak karena terhalang dinding. Mampus! Bisa habis aku dibuat Kacang kalap satu ini, batin Rania. Keberadaan Nata yang kini tanpa jarak membuat dadanya sesak.

Dia berusaha melepaskan diri dengan cara mendorong sosok tinggi besar di depannya. Alih-alih jarak, tangan kurusnya sama sekali tidak mampu menggeser tubuh Nata dari hadapannya meskipun hanya se-inci. Tidak mau menyerah, Rania menggunakan usaha terakhirnya. Dia mendongak dan menyundulkan kepalanya tepat mengenai rahang Nata, membuat laki-laki itu meraung kesakitan dan tanpa sadar bergeser dari tempatnya berdiri. Melihat itu, Rania langsung melompat. Setengah berlari dia meninggalkan Nata dengan rahangnya yang berdenyut.

"Dia satu-satunya sekretaris yang berani melawan atasannya. Hebat juga si Rania." Tawa monang terdengar dari sudut ruangan. Kejadian yang dilihatnya hari ini menghadirkan femahaman baru. Kebencian yang selalu diucapkan Nata tidak sebesar rasa cintanya kepada gadis itu. 


Hai...

Jujur, aku malu banget menyapa kalian begini. Merasa bersalah karena membiarkan kalian menunggu. Merasa bersalah dan haru campur aduk setiap kali melihat jumlah yang vote, baca, dan komen meskipun cuma nanya kapan up date. 

Tapi, sungguh, jejak-jejak itu membuat semangat menulisku kembali muncul. Terimakasih ya, man teman. Saat ini, kadang-kadang  tidak percaya pada kemampuanku kerap muncul  yang membuat aku ragu  sehingga otakku blank. 

Semoga aku bisa mengatasi semuanya ya. Kalian juga, dimanapun berada, sehat-sehat ya semua. 

Sila mampir. Jangan lupa ninggalin jejak. 

Dariku, 

Liilarii

Balas Dendam Mantan PacarNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ