Menyimpan Kenangan

1.8K 160 17
                                    

Masih sangat pagi saat Rania sudah duduk di warung sarapan tidak jauh dari kontrakannya. Tidak bisa tidur sampai menjelang subuh membuat kepalanya pusing dan seluruh  tubuhnya sakit. Ia butuh secangkir kopi pahit untuk menetralkan pikirannya yang kusut. 

"Ka, kutunggu di warung sarapan, ya." ketik Rania lalu mengirimkan pesan itu kepada Kalila. Awalnya Rania  ingin sarapan sendiri. Tapi, nyatanya ia butuh bercerita. Membagi sedikit saja beban yang ditanggungnya sekarang. Biasanya dadanya sedikit lega kalau sudah mengatakan apa yang ada di pikirannya kepada Kalila.

"Kenapa. Kamu dipecat si Kacang?" Kalila menaruh cangkir tehnya di meja dan duduk berhadapan dengan Rania. Setelah membaca pesan singkat dari Rania, ia langsung  menyusul sahabatnya itu  ke warung sarapan langganan mereka. Kalila tahu, ada yang sedang disimpan gadis berwajah lesu di depannya. Akhir-akhir ini ia lebih banyak diam dan melamun. Persis lima tahun yang lalu setelah kematian ayahnya.

Rania menghela napas berat. "Enggak. Tapi, tetap saja aku harus keluar dari Sintesa Advertising."

"Kalau enggak dipecat ngapain keluar. Dapat tawaran dari perusahaan lain?" Kalila memberondong Rania dengan  pertanyaan. "Kalian kan sudah baikan, kenapa masih harus keluar dari Sintesa? Kok aku enggak yakin Nata bakalan ngasih kamu keluar. Setiap hari ketemu saja enggak pernah cukup, masih saja nelepon tiap malam," ucap  Kalila mencibir. Biasanya Rania menangggapi godaan Kalila dengan cemberut atau gerutuan, namun kali ini tidak. Rania hanya menghembuskan napas berat. Kelihatan sekali kalau pikirannya sedang penuh. 

"Gwen..." Rania menghela napas pelan. Ia menyesap kopinya tanpa melanjutkan ucapannya. 

"Gwen kenapa?"

"Ia meminta aku meninggalkan Sintesa ."

"Sumpah, aku enggak ngerti. Masalahnya apa sampai ia minta kamu berhenti dari Sintesa . Enggak pernah telat. Apalagi sejak punya sopir pribadi." Tiba-tiba tubuh Kalila condong ke arah Rania. "Kamu nyolong, ya? Terus ketahuan Gwen." 

Rania melotot. "Apaan, sih? Siapa juga yang nyolong." Sekere-kerenya bahkan  saat masih menumpang hidup sama Kalila, sekalipun Rania tidak pernah berniat melakukan perbuatan memalukan itu.

"Nyolong Nata maksudku," ucap Kalila serius. Ia menarik tubuhnya lalu menyandar di sandaran kursi dan bersedekap. "Bisa jadikan, atasanmu itu merasa begitu."

Rania tercenung. Nyolong Nata?  Ya, Gwen pasti merasa begitu. Kedekatan mereka bukan rahasia lagi.  Gwen naksir Nata, itu kelihatan sekali. Bahkan, jauh-jauh hari, meski samar gadis itu sudah memperingatkan Rania. Nata butuh perempuan hebat untuk mendampinginya mewujudkan impiannya. Kalimat itu... sekarang Rania mngerti perempuan yang dimaksud Gwen adalah dirinya sendiri . Mereka memang pasangan serasi, yang berita jadiannya paling ditunggu seluruh penghuni Sintesa Advertising. 

"Gwen memintaku meninggalkan Sintesa Advertising. Kalau aku menolak, ia mengancam menghancurkan Nata."

"Dan kamu memilih pergi." Tebak Kalil. Ia  tahu Rania . Gadis itu pasti memilih pergi. Rela melakukan apapun demi orang-orang terkasih, cocok banget menjadi nama tengahnya.

"Nata bakalan hancur kalau aku enggak memenuhi permintaan Gwen."

"Nata bukan laki-laki bodoh yang mudah banget dihancurkan, Gwen, Ra."

"Gwen juga bukan gadis bodoh yang enggak bisa menghancurkan Nata, Ka."

Kalila mendengus. Rania mengaduk-aduk kopi miliknya. Mereka sama-sama terdiam. Sibuk dengan pikirannya masing-masing. 

"Aku pernah menjadi bagian dari keluarga yang usahanya hancur, Ka. Eggak enak banget menjadi headline news karena gagal. Ditatap dengan tatapan prihatin itu lain lagi rasanya. Diomongin orang-orang di belakang, tapi aku enggak bisa enggak dengar. Karena mereka sengaja ngomongnya kuat-kuat ." Rania menghela napas dalam. "Aku enggak mau Nata mengalaminya juga. Apalagi aku penyebabnya." Rania menghindari tatapan Kalila. Berusaha menyembunyikan air matanya. "Nata tidak boleh hancur."

Balas Dendam Mantan PacarWhere stories live. Discover now