Pilihan Sulit

2K 157 16
                                    

"Kopi." Gwen mengulurkan kopi ke pada Nata seraya berdiri di sebelahnya.

"Makasih." Nata menerima cangkir berisi kopi yang disodorkan Gwen.

Gwen mengarahkan cangkirnya ke arah Nata. "Untuk acara yang luar biasa sukses hari ini," ucapnya puas. Nata menyentuhkan ujung cangkirnya ke cangkir Gwen. "Untuk acara yang luar biasa sukses hari ini," balasnya.

Dalam diam sambil sesekali menyesap kopi, keduanya memperhatikan semua kru yang sedang membereskan barang-barang setelah event kecap Cap Pedang yang mereka laksanakan hari ini. Gwen benar. Event terakhir hari berjalan lancar seperti dua event sebelumnya. Sukses yang membuahkan rencana kerjasama lanjutan dari perusahaan bumbu makanan itu.

"Karena acaranya sukses berarti boleh minta ditraktir, dong." Gwen melirik Nata. Senyum manis menghias bibirnya. Dadanya bergemuruh. Harap-harap cemas menunggu jawaban laki-laki luar biasa tidak peka di sebelahnya. Ia tahu, selalu ada perayaan setiap kali menyelesaikan satu pekerjaan besar. Tapi, kali ini Gwen mau lebih. Ia tidak mau merayakan bersama kru lain. Ia hanya ingin berdua saja bersama Nata.

"Boleh. Weekend kita rayakan bersama kru lain," jawab Nata sambil lalu. Tatapannya fokus ke satu arah. Gwen mengikuti arah pandang laki-laki di sebelahnya. Matanya menyapu area out door Kecap Cap Pedang. Sial, ternyata perempuan itu yang membuat Nata mengabaikannya.

Dengan tatapan setajam pedang Gwen menatap Rania yang sedang tertawa bersama Sumi. Entah apa yang lucu. Yang pasti ia benci melihat tawa gadis itu. Kebenciannya semakin menjadi-jadi saat melihat tatapan Nata yang tidak teralihkan.

"Aku enggak mau bareng kru lain. Aku hanya ingin kita berdua," ucap Gwen dengan nada merajuk. Mencoba mengalihkan fokus laki-laki di sebelahnya.

Nata melirik wajah yang hanya berjarak selebar bahu dari wajahnya. Bibirnya tersenyum melihat ekspresi menggemaskan Gwen, namun hatinya tidak tertarik. Nata tahu Gwen menyukainya. Namun, rasa sukanya pada Gwen tidak lebih dari rasa suka seorang teman. Tidak lebih.

Bibir Gwen semakin maju melihat tatapan Nata yang tak teralihkan. "Cuma kamu dan aku. Enggak ada Monang. Enggak ada Rania. Cuma kita berdua." Ia melingkarkan tangannya ke lengan Nata yang kokoh dan liat, tatapannya melekat erat pada wajah tampan yang selalu menghiasi malam-malamnya.

Nata menghela napas lalu mengembuskannya perlahan. Pelan dilepasnya tangan yang melingkari lengannya. Ia harus tegas sebelum perasaan di hati Gwen semakin berkembang dan akhirnya membuat ia terluka.

"Kita rayakan bersama kru yang lain saja, ya, Gwen. Sukses hari ini melibatkan semua tim. Udah lama juga kita enggak seru-seruan bareng mereka. Tadi Bang Udin juga bilang pengen ke Beken. Kangen duet bareng Eliana katanya." Nata mencoba menolak dengan halus. Ia tidak mau Gwen tersinggung dan membuat gadis itu kecewa.

Senyum di bibir Gwen lenyap. Gadis itu memberengut. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dengan langkah cepat dan menghentak, Gwen pergi meninggalkan Nata, membawa harapan yang ia tahu tidak akan pernah mudah untuk mewujudkannya.

...

Setelah makan siang, kutunggu di W&T.

Pesan singkat itu diterima Rania tiga jam yang lalu. Tiga jam yang sangat cepat berlalu. Ah, andai ia bisa mengarang satu alasan yang bisa membuatnya tidak harus menemui atasannya itu, pasti ia sudah melakukannya. Tapi, sampai waktu jam makan tiba, tidak satupun pesan yang bisa ia ketikkan di ponselnya kemudian mengirimkannya kepada perempuan yang tidak sekalipun menatap wajahnya saat acara perayaan suksesnya event kecap capa pedang kemarin malam, bahkan saat Rania menyapanya.

Rania menghela napas lalu mengembuskannya perlahan. Ditatapnya bagian depan kafe yang didominasi warna putih dan toska. Pelan digesernya pintu yang terbuat dari kayu dengan kaca bening itu. Di sana di meja yang terletak di sudut ruangan Gwen duduk membelakangi pintu. Rania mendekat. Gwen menatap Rania sekilas.

"Duduk, Ra," ujarnya. Tanpa senyum.

"Makasih..., Mbak." Ragu-ragu Rania duduk di hadapan gadis dengan aura permusuhan yang begitu kentara. Gwen melambai ke arah pelayan. Dan Rania menyebutkan pesanannya.

"Ada yang ingin saya bicarakan sama kamu." Gwen memulai pembicaraan. Perempuan itu menatap Rania tanpa berkedip. "Saya pernah bilang untuk mewujudkan impiannya, Nata perlu pendamping hebat yang mendukungnya, kamu ingat?"

"Iya. Saya... Ingat," jawab Rania. Ia mulai menduga-duga ke arah mana sebenarnya pembicaraan ini akan mengarah.

Gwen menatap Rania sengit. "Kamu tahu siapa perempuan itu, Rania?" tanyanya tak melepas tatapannya yang tajam. "Saya. Ya, seharusnya sayalah perempuan itu. Apa yang kurang dari saya? Semua saya lakukan untuk mendukung Nata. Uang. Waktu. Tapi, apa?" Suara Gwen sinis. Menohok. "Nata menolak saya. Dan kamulah penyebabnya."

Rania tercekat. Susah payah ia menelan jus jeruk yang baru disedotnya.

"Kamu mantan pacarnya, kan?" Tanya Gwen penuh tekanan. Tidak ada lagi sikap manis dan ramah khas Gwen yang Rania kenal. Perempuan cantik dan seksi itu hanya menunjukkan aura permusuhan yang kentara.

"Meminta kamu menjadi sekretarisnya, buku perjalanan, menghilang selama dua mingggu, mengantar kamu pulang, lembur bareng, semua omong kosong lainnya, Nata melakukannya karena kamu mantan pacarnya kan Rania." Gwen mengepalkan kedua tangannya sampai buku-buku jemarinya memutih."

Gwen tahu kalau ada sesuatu antara ia dan Nata. Darimana gadis ini tahu? Bukankah selama ini ia tidak mengatakannya kepada siapa pun?

"Dimana kamu lima tahun yang lalu?" tanya Gwen. Senyum meremehkan menghiasi bibirnya. "Kamu datang lagi karena Nata sudah sukses kan sekarang. Iya, kan?" Gwen melepaskan kepalan tangannya. Menatap Rania dengan sorot mata yang menusuk.

"Brengsek kamu, Rania!" Maki Gwen. Pelan namun penuh tekanan. "Lihat saja. Akan kuhancurkan si Nata. Aku mau liha apa kamu akan tetap bertahan di sisinya kalau dia sudah hancur."

Menghancurkan Nata? Rania mendongak. Memberanikan diri menatap Perempuan yang juga menatapnya dengan sorot mata penuh ancaman. Rania sekuat tenaga menahan diri untuk tetap tenang. Memilih diam. Jangan sampai satu kata yang keluar dari mulutnya semakin membuat Gwen berang. Nata tidak boleh hancur. Tidak boleh.

"Kecuali kamu tidak menunjukkan wajahmu lagi di Sintesa Advertising."

Tidak menunjukkan wajah di Sintesa Advertising, bukankah itu sama artinya dengan meminta Rania pergi?

Pergi dan kembali jadi pengangguran. Memaksa menetap dan Nata hancur. Dua pilihan yang tidak pernah ingin Rania pilih. Ia suka bekerja di Sintesa Advertising. Bahkan saat Nata membuat hidupnya seperti di neraka, ia tetap menyukai tempat itu. Tapi, memaksa tetap berada di sana sama artinya ia menghancurkan Nata. Saat ini, setelah semua yang dilakukan laki-laki itu untuknya, menghancurkan Nata tidak ada lagi dalam rencana hidupnya.

"Jangan pikir apa yang saya berikan selama ini kepada Nata tanpa pamrih. Saya melakukan semuanya karena ingin Nata menatap saya. Menyadari keberadaan saya. Semua hampir terwujud kalau kamu tiba-tiba tidak muncul," ucap Gwen memutus lamunan Rania.

"Berhenti jadi penghalang. Saya beri kamu waktu untuk menyelesaikan semua pekerjaanmu, setelahnya silahkan tinggalkan Sintesa Advertising." Gwen tidak memberi Rania kesempatan membalas ucapannya. Ia meletakkan dua lembar ratusan ribu di meja lalu bangkit dari duduknya. Namun, sebelum betul-betul meninggalkan tempat duduknya, ia kembali menyampaikan peringatannya. "Tinggalkan Sintesa Advertising atau Nata hancur."

Bersambung.

Lagu terbaru Tulus berjudul:  Hati-hati di Jalan ini menemani aku menyelesaikan bab ini. Liriknya benar-benar moodboster untukku. Suka banget sama lagu ini. Liriknya dalem banget. S

Okey, silahkan dibaca ya. Sampai jumpa 14 hari ke depan. 

Balas Dendam Mantan PacarDonde viven las historias. Descúbrelo ahora