Yang Penting Nata Tidak Memecat Aku

2.8K 179 11
                                    

Berlutut!

Ya Tuhan. Nata menyuruhnya berlutut. Salah. Bukan menyuruh tetapi memaksa. Ya, memaksa. Memaksa dengan memberinya pilihan sulit. Bahkan sangat sulit sekali.

Ingatan ekspresi tak main-main Nata saat memintanya berlutut menimbulkan aliran dingin ke seluruh tulang kakinya, membuatnya terduduk begitu saja di lantai kamarnya yang dingin, tetapi tetap saja tak mampu mengalahkan dinginnya tatapan Nata.

Tadi, sebelum meninggalkan ruangan, Rania memastikanekspresi dingin yang dulu tidak pernah tercetak di wajah Nata namunsekarang kerap muncul, apalagi saat menatap Rania. Alih-alih membalas tatapannya, pria itu lebihmemilih melemparkan pandangannya ke luar lewat jendela. Tak ada sedikitpun belaskasihan. Gestur tubuhnya  penuh amarah membuat Rania bertanya-tanya,benarkah pria itu laki-laki yang pernah dicintainya setengah mati? Laki-lakiyang dulu selalu memperlakukannya seolah-olah tak ada lagi wanita lain di duniaini selain dia.

Bayangan-bayangan itu akhirnya berhasil membobol pertahanannya selama ini. Tanpa bisa dibendung air mata mulai membasahi ujung matanya. "Aku, aku memang bodoh." Air mata semakin deras membasahi pipinya. "Demi membela si Kacang aku... rela menghancurkan hidupku... bahkan aku harus kehilangan..." Rania tak sanggup meneruskan ucapannya. Dia membenamkan wajah ke tangan mencoba meredam tangis. Rania tahu menangis tak akan pernah bisa mengubah keadaannya saat ini. Meski begitu dia tetap melakukannya. Meringkuk di sudut kamar dan menghabiskan sebungkus tisu yang dibelinya tadi di kios kecil depan gang. Berharap kertas putih lembut itu mampu membantunya menghentikan air matanya. Tetapi bukannya berhenti, suara tangisnya semakin keras.

Kalila yang baru datang terkejut melihat Rania meringkuk di sudut kamar berurai air mata. Bagai dezavu, kejadian lima tahun yang lalu seolah berulang. Rania meringkuk di kamar kosnya, menangis sambil mengatakan bahwa dia dan Nata sudah selesai. Bubar. Kandas tak berbekas. Tanpa berkata-kata diraihnya tubuh terguncang Rania lalu memeluknya erat. Dia mencoba memahami setiap kata yang diucapkan sahabatnya itu. Cerita tentang nasi goreng, alergi, Nata yang marah, dan terakhir perintah untuk berlutut.

Berlutut? Maksudnya Rania disuruh berlutut di hadapan...

Dasar brengsek!

"Ponselmu mana?" Kalila melepaskan pelukannya untuk mencari ponsel Rania.

"Untuk apa?" tanya Rania. Suaranya parau akibat terlalu banyak menangis.

"Menghubungi Nata lah lalu memaki-makinya." Kalila mencari kontak Nata di ponsel yang ditemukannya di atas tempat tidur. "Nama kontaknya apa?"

"Nggak usah, please!" Rania menatap Kalila. 

Tatapan memohon bercampur air mata mau tak mau menghentikan perempuan itu. Dengan kesal diletakkannya lagi ponsel Rania.

"Kenapa sih kamu selalu begini?" tanya Kalila nggak terima. "Dulu kamu juga melarang aku menceritakan semuanya Nata. Sekarang, setelah apa yang dilakukannya, kamu masih saja melarang aku memaki-maki si Kacang brengsek itu. Apa sih yang kamu harapkan? Menunggu dia dengan sendirinya tahu keadaanmu yang sebenarnya? Mimpi saja seumur hidup, Kacang sialan itu enggak bakalan sadar. Dia itu perlu diteriaki baru sadar perlakuannya sama kamu itu kurang ajar."

"Udah lah, Ka. Enggak usah dibahas lagi.  Yang penting si Kacang nggak mecat aku. Saat ini itu pun sudah cukup. Yah, setidaknya sampai waktu magangku selesai dan aku mendapat pekerjaan baru." Kalila mendengus mendengar ucapan Rania. "Cuma berlutut doang. Nggak ngurangin apa-apa juga." Rania mencoba bercanda.

"Garing tahu," ucap Kalila tak sudi tertawa.

"Aku baik-bak saja. Sungguh. Aku janji kalau Nata semakin keterlaluan, aku bakalan lapor sama kamu dan dengan sepenuh hati membiarkan kamu memaki-makinya." Rania berhenti sejenak. "Aku menyukai pekerjaanku kali ini dan sedang menikmatinya." Dia mendongak menatap Kalila. "Nanti begitu masa magangku selesai aku akan mencari pekerjaan lain." Setelah itu aku dan Nata nggak akan ketemu-ketemu lagi, batin Rania, sedih. Kenyataan yang membuatnya tersentak. Hei, Kenapa harus bersedih? Bukannya dia harusnya bahagia karena tak bertemu Nata lagi? Tak mampu memberi jawaban atas pertanyaannya sendiri membuat air mata Rania kembali mendesak ingin keluar.

Kalila menatap Rania yang tampak sedang berusaha menahan tangis. Perasaannya campur aduk mendengar kata-kata sahabatnya itu. Sejak keadaan memaksanya harus memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dan demi bisa melanjutkan kuliah, Rania bekerja apa saja. Menjadi pelayan di warung mie ayam depan kampus di sela-sela waktu kuliahnya sekaligus bekerja paruh waktu di toko Potokopi milik pemilik kontrakan yang mereka tempati dulu. Sekarang dia mendapatkan pekerjaan yang tampaknya begitu dia sukai, tetapi pemiliknya malah Nata.

"Oke. Kali ini aku penuhi permintaanmu. Tapi, sekali lagi kamu menangis karena perbuatannya, krek." Kalila meletakkan tangannya ke lehernya. "Langsung mampus dia kubuat."

Rania mengangguk mengamini ucapan sahabatnya itu. "Eh, Ka. Kamu kok tahu sih, Kacang itu nama kontak Nata?" tanya Rania tiba-tiba.

"Ya, tahulah. Memang ada berapa nama di ponselmu. Cuma ada namaku, Kacang, tukang galon, dan Uwak tukang lontong depan gang," jawab Kalila membuat Rania tertawa.

"Iya juga sih."

"Kacang memang cocok banget untuk menamai Nata. Kacang yang lupa pada kulitnya atau kacang yang artinya kecil banget dan enggak berarti, seperti yang selalu kamu sebutkan dulu kalau sedang nganggap sesuatu itu enteng banget. Pasti Nata syok andai tahu kamu namai dia dengan nama Kacang begitu."

"Dia tahu, kok. Dan langsung menggantinya dengan nama Nata Ceo Sintesa Advertising. Enggak terima dia. Songong banget, kan? Tapi, ya langsung kuganti kok. Sok masih punya hak ngutak-ngatik penselku." Kalila tertawa mendengar cerita Rania.

"Sudah ah, aku mau mandi, habis itu mau langsung tidur. Ngantuk banget." Rania bangkit dari duduknya lalu berjalan keluar menuju kamar mandi yang terletak di dapur.

"Tunggu!" Kalila menahan Rania. "Betul ya tidur. Awas saja sampai kamu nangis lagi setelah kutinggal. Langsung kudatangi si Kacang. Lihat saja!" ancam Kalila.

"Iya, Ka. Iya. Aku tidur," jawab Rania terus berjalan ke arah kamar mandi.

"Halah, dulu juga bilang begitu. Enggak tahunya kamu nangis sampai pagi. Sampai-sampai matamu bengkak banget," ujar Kalila dengan nada merajuk.

"Ya, Allah, La. Jangan disama-samain, dong. Lagian sayang banget air mataku tumpah gara-gara si Kacang. Tenang saja, besok kamu enggak bakalan melihat mataku bengkak."

"Tadi itu, kamu...."

"Ka, udah dong. Kapan aku mandinya?" tanya Rania terlihat mulai kesal, membuat Kalila mau tak mau membiarkan sahabatnya itu meneruskan rencananya yang tertunda. Meski tak yakin Rania bakalan tidur dan bukannya menangis, sepertinya Kalila harus mampu menahan diri untuk membiarkan Rania sendiri malam ini.

***

"Ra, bangun! Sudah siang nih." Gedoran di pintu kamarnya membuat Rania terlonjak. Cepat-cepat dia menyambar ponsel di dekat bantalnya. Pukul enam lewat lima belas pagi. Sial!

"Ra!"

"Iya, Ka. Aku bangun!" teriaknya menjawab Kalila lalu cepat-cepat membuka pintu dan masuk ke kamar mandi.

"Aku duluan ya, Ra. Pagi ini aku piket."

"Iya! Duluan saja."

Rania benci bangun kesiangan. Tapi, baru tidur dua jam menjelang subuh akibat menangis semalaman membuatnya harus bangun terlambat.

Tadi malam, begitu dia meletakkan tubuhnya di tempat tidur, kekhawatiran Kalila terbukti. Bukannya tertidur, dia malah menangis. Menangis karena menyesali semua yang terjadi dalam hidupnya. Bahkan pagi ini, di halte, Rania merasa air matanya masih saja ingin turun, namun cepat-cepat dia menyekanya sebelum orang-orang yang juga sedang menunggu bus menatapnya heran.

Selain itu, dia harus fokus menunggu bus kalau tidak mau semakin terlambat sampai ke kantor. Bisa ngamuk si Kacang kalau sampai dia tidak menemukan kopi dan kue dadar di mejanya. Ini saja dia sudah terlambat beberapa menit. Jadi, cukup sudah tadi malam dia meratapi nasibnya. Pagi ini dia harus bersiap-siap rebutan bus dengan semua penumpang yang sedang bersamanya berdiri di halte. Dan bersiap-siap menghadapi mantan sialan penuh dendam, yang pasti sudah mempersiapkan serangan-serangan lebih mematikan lagi untuk menyiksa dirinya. 


Bersambung...

Balas Dendam Mantan PacarWhere stories live. Discover now