Rania dan Segala Praduganya

2.6K 196 6
                                    

Rania menahan kantuk sambil berusaha mendengar curhatan Kalila di seberang sana. Kalau saja sahabatnya itu tidak menelepon mungkin sejak tadi ia sudah tertidur. Seharusnya ia sudah pulang sejak setengah jam yang lalu kalau Nata tidak ada. Saat jam digital di ponselnya menunjukkan pukul tujuh tepat, ada keinginan menghubungi laki-laki itu, meminta ijin pulang terlebih dahulu. Namun, belum sempat Rania mengungkapkan rencananya, Nata menelepon, meminta Rania menunggunya yang sedang dalam perjalanan pulang menuju kantor lagi. Padahal Rania sudah mengantuk setengah mati dan ingin sekali sekali tidur bergelung di tempat tidurnya. Tapi, bukan Nata namanya kalau tidak membuat Rania kesal. Laki-laki itu bertemu dengannya lagi kan memang untuk membuatnya kesulitan. Termasuk kesulitan menahan kantuk seperti sekarang ini.

"Terus Bu Mimin diam saja pot bunga kesayangannya kamu gulingkan?" tanya Rania. Tangan kanannya menutup mulutnya yang sedang terbuka lebar. Kalau dihitung mungkin itu kuap yang ke lima puluh tiga kali selama ia menunggu Nata. Atau bisa jadi lebih.

"Ha ha ha, Ibu resekmu itu kan enggak tahu aku yang gulingin. Anak-anak kontrakan juga enggak ada yang mau ngaku. Kan memang bukan mereka pelakunya. Lagian sudah tahu gang sempit, ngapain coba naruh pot di situ. Rokku nyangkut di ranting bunga kertas oranye kesayangannya waktu mau berangkat ke sekolah tadi. Pas kupaksa lepas, potnya oleng, ya sudah sekalian saja kutarik paksa dan tergulinglah pot bunga itu."

Bu Mimin itu pemilik kontrakan yang mereka tempati. Bangunan rumahnya panjang hampir separuh jalan yang cuma bisa dimasuki motor menuju rumah-rumah di belakangnya. Gang sempit itu semakin sempit karena ia meletakkan pot-pot bunga cukup besar di pinggir gang. Sebagian besar penghuni dan orang-orang yang biasa melintasi jalan hanya bisa menggerutu tanpa berani mengatakan keberatan mereka secara terang-terangan. Tadi pagi Kalila menggulingkan satu pot dan pecah, dan sukses membuat perempuan berbadan bagus itu ngomel-ngomel. Tidak ada yang menggubris. Penghuni kontrakan hanya saling tatap kemudian pergi diam-diam.

"Tadi pas aku lewat dia ngomel-ngomel sambil natap aku garang. Kayaknya curiga kalau aku biang keroknya. Tapi mana aku peduli." Rania mengangguk membenarkan kata-kata Kalila. Sahabatnya itu mana pernah peduli dengan omelan Bu Mimin. "Tadi aku iseng ngomong sama Kak Dewi, dengan nada toa tentunya kalau sudah dapat kontrakan baru dan berencana pindah. Kau tahu, Bu Mimin kebanggaanmu itu langsung kicep. Suaranya diramah-ramahin. Gila! Mana mungkin kita pindah. Kontrakan bagus harga murah dapat dimana? Kalau jalan menuju kontrakannya yang cuma bisa dilewati motor mah, enggak masalah. Toh, kita enggak punya mobil juga." Tawa puas Kalila terdengar mengisi telinga Rania. Menimbulkan senyum di antara kuapan-kuapan yang menyisakan air di ujung matanya. Kepalanya miring di meja dengan ponsel terletak di telinganya dengan mata mulai terpejam. Beberapa saat ia seperti terlempar dari alam sadarnya. Sayup-sayup teriakan Kalila mengisi telinganya.

"Hei, kamu masih sadar kan?"

Rania terlonjak. Ponselnya jatuh ke meja. "Ya, masih lah," jawabnya setelah kembali meraih alam sadarnya.

"Sadar apaan? Kupanggil beberapa kali baru nyaut sekarang," ucap Kalila kesal merasa dikacangin Rania. "Pulang aja Ra. Udah malam banget. Tinggalkan saja si Kacang itu."

"What, Kacang?" Tawa Rania keluar begitu saja mendengar Kalila ikut-ikutan mengganti nama Nata. Terbayang bagaimana sahabatnya itu selalu melotot geram saat ia menggantai nama Nata. Keterlaluan dan enggak wajar, katanya. Dan, sekarang mendengar kata itu meluncur begitu saja dari mulut judesnya benar-benar sesuatu banget.

"Enggak usah ketawa. Sekarang aku setuju sama kamu. Nata itu memang kacang yang lupa pada kulitnya dan brengsek. Ini sudah pukul sembilan malam, Ra. Nungguin dia balik ke kantor, pukul berapa lagi kamu bisa sampai rumah. Bus ke sini juga udah enggak ada." Kalila menyemburkan kekesalan dalam satu tarikan napas.

Balas Dendam Mantan PacarWhere stories live. Discover now