Berlutut

2.6K 190 14
                                    

Jangan pulang sampai saya kembali ke kantor! bibir Rania langsung maju begitu membaca pesan dari Nata. "Resek banget sih," gerutunya sambil meletakkan ponselnya begitu saja di meja. "Demam kali ya kalau enggak nyiksa aku sehari saja. Siapa juga yang berani pulang sebelum dapat ijin darimu, Bos." Sambil menunggu Rania membaca kembali agenda kerja Nata untuk tiga hari ke depan.

Selesai dengan urusan agenda Rania memasuki ruangan Nata. Memastikan semua sudah berada di tempat yang semestinya. Dia tidak mau sedikit kesalahan membuat si Bos resek mempunyai alasan menghalanginya pulang. Rania map ini kenapa di sini? Rania kenapa masih ada debu di meja saya? Rania. Rania. Rania. Huh, menyebalkan. Kayak ABG mau PMS saja. Semua salah. Heran deh. Perasaan dulu Nata tak begitu. Sikapnya enggak ribet-ribet amat apalagi sampai peduli urusan debu segala.

Sikap Nata membuktikan kebenaran quots entah siapa yang melintas di beranda media sosial miliknya. Tak ada yang abadi kecuali perubahan. Nah, Si Kacang ini bukti konkritnya. Sosok yang dulunya menyenangkan bisa-bisanya sekarang berubah menjadi seseorang yang mengesalkan. Lengkap dengan segala kesongongan yang menyebalkan. Dan kalau perhatikan perlakuan itu hanya ditujukan kepadanya. Kepada Karyawan lain, Nata asyik-asyik saja. Seperti ingin menunjukkan bahwa dia sekarang berkuasa. Padahal enggak usah ditunjukkan juga Rania tahu. Jelas-jelas yang punya perusahaan dia. Dasar mantan sialan.

Terkadang, disaat kondisi hatinya berada pada posisi paling rendah, muncul keinginan untuk menyerah. Meninggalkan Sintesa advertising dengan cara resign. Namun, harga dirinya yang tinggi membuat dia memilih bertahan. Menghadapi Nata terasa lebih baik daripada terus menerus hidup menumpang tanpa memiliki pekerjaan. Membayangkannya saja membuatnya berjanji tidak akan sudi mengalaminya lagi. Kalila baik. Tidak pernah ada sikap atau perlakuan yang menunjukkan dia keberatan, tapi tetap saja Rania merasa enggak tahu diri kalau terus menerus bergantung kepada sahabatnya itu. Sudah menumpang makan dan minumnya pun ditanggung pula.

"Rania...!"

Rania yang sedang melap meja sambil melamun tersentak mendengar hentakan pintu yang sekarang terbuka lebar. Ditatapnya sosok yang kini sedang menghampirinya dengan ekspresi ingin membunuh. Matanya melebar melihat wajah Nata yang kacau. Namun saat melihat bibir yang biasanya seksi dan kissable itu sekarang berubah jontor, membuatnya harus ekstra keras menahan diri untuk tidak tertawa. Puas banget sih kalau bisa tertawa tapi mana dia berani. Sekarang saja kalau bisa ingin rasanya segera menjauh melihat gelagat menyeramkan Nata.

"Kamu apain nasi goreng saya, hah!" teriak Nata. Amarahnya semakin memuncak melihat wajah Rania yang memerah. Dia tahu Rania pasti sedang menahan diri untuk tidak tertawa. Awas saja kalau sampai berani tertawa! Batin Nata geram. Ditebasnya jarak antara mereka dengan cara berjalan cepat ke arah gadis itu.

"Kenapa Bapak bertanya begitu?" Rania mundur selangkah. Dia butuh jarak. Aroma familiar yang menguar dari tubuh Nata yang menjulang membuat jantungnya berdetak tidak normal. Ish, apaan sih Rania? Nata itu mau nyekik bukannya mau mencium!

"Kenapa saya bertanya? Karena...." Nata melangkah ke depan, memperpendek jarak yang telah diciptakan Rania. "Nasi goreng yang saya makan tadi pagi membuat seluruh tubuh dan wajah saya jadi begini." Nata mendekatkan wajahnya ke wajah Rania. Memaksa gadis itu menatapnya.

Rania menatap wajah Nata. "Bukan saya yang masak nasi gorengnya. Saya hanya memesan sesuai perintah Bapak," jawab Rania dengan tenang. Tepatnya berusaha tenang.

Nata mendengus melihat ekspresi yang ditunjukkan Rania. "Kamu enggak perlu masak untuk membuat nasi goreng itu bercampur udang. Perlu kamu ketahui, pemilik Tip Top itu adalah istri teman satu angkatan saya dulu di kampus. Dan karyawannya bilang kamu yang minta nasi gorengnya dicampur udang yang dihaluskan"

Mampus! Batin Rania. Tubuhnya tiba-tiba membeku mendengar ucapan Nata. Tapi, tentu saja dia tidak sudi mengakuinya. Laki-laki resek seperti pria di depannya ini layak mendapatkan balasan seperti itu. "Karyawan teman Bapak itu pasti salah. Yang beli makanan ke sana kan bukan cuma saya. Jadi tuduhan Bapak tak beralasan." Rania mendorong Nata berusaha keluar dari himpitan mendebarkan itu. "Sudah pukul enam lewat. Dan Bapak juga sudah kembali. Sudah waktunya saya pulang." Rania bergeser cepat ke samping lalu melompat begitu mendapat peluang. Dia harus cepat-cepat pergi dari ruangan itu. Kalau tidak, sebentar lagi dia bakalan tinggal nama karena aura membunuh Nata saat ini begitu besar.

Nata berbalik. Rahangnya mengatup rapat melihat Rania hampir mendekati pintu. Setelah hampir membuatnya kehilangan proyek besar dan tampil kacau saat persentasi, bukannya minta maaf malah pergi begitu saja. Enak saja! "Rania, jangan coba-coba pergi. Urusan kita belum selesai!" teriak Nata.

Alih-alih berhenti setengah berlari Rania menuju pintu.

"Satu langkah lagi, kamu saya pecat!"

Rania berhenti. Tangan yang semula terulur untuk menarik gagang pintu kini tergantung begitu saja di udara. Pecat. Nata bilang dia akan memecatnya. Tidak. Dia tidak boleh dipecat. Dia butuh pekerjaan. Dengan berat hati Rania memilih berbalik. Melihat ekspresi Nata, Rania tahu nasibnya sekarang benar-benar berada di ujung tanduk. Dia harus melakukan sesuatu sebelum kemarahan Nata semakin memuncak. Meminta maaf. Ya, lebih baik dia meminta maaf. Meskipun permintaan maaf itu sama saja mengakui perbuatannya. Apa boleh buat. Demi tetap memiliki pekerjaan, dia harus mengalah. "Saya... saya minta maaf," ucap Rania pelan dengan kepala menunduk.

Nata mendengus mendengar ucapan Rania. "Minta maaf saja tidak cukup. Jelas-jelas Kamu pasti sengaja melakukannya? Selain Monang dan Gwen, kamu adalah orang yang mengetahui saya alergi udang."

Rania diam. Tak mengiyakan apalagi membantah. Dia tahu sekali kalau Nata alergi udang. Ingin rasanya membela diri dengan mengatakan, dia berbuat begitu kan karena sikap Nata yang menyebalkan. Tapi Rania memilih menunduk sambil menunggu Nata melanjutkan ucapannya.

"Untuk perbuatan yang membuat saya hampir kehilangan proyek dan tampil kacau saat persentasi, permintaan maaf yang diucapkan tanpa penyesalan saja tidak cukup. Saya butuh perbuatan nyata kalau kamu benar-benar menyesal. Sekarang juga kamu berlutut."

"Berlutut?" tanya Rania.

"Iya," jawab Nata cepat dan tegas.

Ditatapnya Nata dengan ekspresi tak percaya. Ya, Allah, Nata menyuruhnya berlutut? Gila! Enggak, sampai kapanpun dia enggak bakalan sudi melakukannya. "Enggak mau!"

"Kalau begitu silahkan ambil barang-barangmu dan jangan datang lagi besok!"

Rania syok. Berlutut atau keluar. Keduanya pilihan yang begitu sulit. Keluar artinya dia harus kehilangan pekerjaan. Berlutut di hadapan Nata? Membayangkannya saja membuat hatinya sedih dan marah apa lagi melakukannya. Tapi... kalau dia tidak mau melakukannya, mulai besok hidupnya kembali bergantung penuh terhadap kemurahan hati Kalila.

"Kenapa? Lututmu bermasalah sehingga tidak bisa dibengkokkan?" Pertanyaan Nata membuat Rania tersadar dari rasa syoknya. Ditatapnya laki-laki yang kini sedang menyeringai dengan kedua tangan berada di saku celananya yang mahal, menatapnya dengan penuh kemenangan.

Bayangan menumpang di rumah Kalila dan menjadi pengangguran membuat Rania tak punya pilihan. Perlahan dia menekuk kedua lututnya tapi kemudian berdiri lagi. Lakukan Rania. Lakukan. Atau kau mau jadi pengangguran dan menumpang hidup lagi. Dia memukul lutut kanan memaksanya menekuk. Setelah menarik napas dan mengembuskannya keras, dengan menutup mata Rania memaksa menekuk kaki kanannya sampai menyentuh lantai. Setelah bangkit dari posisi berlututnya yang singkat, ditatapnya Nata sampai beberapa saat sebelum akhirnya berbalik dan pergi.

Seharusnya Nata puas. Alih-alih, dia langsung terduduk di kursi begitu tubuh gadis itu menghilang di balik pintu. Bayangan tatapan terluka Rania dan kepalan tangannya yang kuat sehingga buku-buku jemarinya memutih seketika membuatnya lemah. Sesal seketika muncul menyentak-nyentak hatinya, membuatnya spontan berdiri dan berjalan keluar. Dia harus mengejar Rania, memastikannya baik-baik saja.

Namun Nata berhenti bahkan sebelum mencapai pintu. Kenapa pula dia harus mengejar Rania? Rania harus tahu, dia bukan Nata yang dulu. Nata yang diputuskannya karena takut hidup melarat apabila mereka bersama. Nata yang sekarang adalah pria sukses pemilik Sintesa Advertising. Dan Rania harus mengakui itu dengan tidak berlaku seenaknya. Nata urung keluar. Dia kembali ke kursinya.

Balas Dendam Mantan PacarWhere stories live. Discover now