🕋 ◇ Episode 2 ◇ 🕌

Start from the beginning
                                        

Pandangan Hurrin terus mencari Umi Fatma di mana berada. Manik mata Hurrin berhenti ketika menemukan sosok teduh dengan jubah dan hijab panjang berwarna krem motif coklat. Sorot matanya keibuan dan wajahnya menyenangkan untuk dilihat. Dia adalah Umi Fatma, ibu Hasanah. Umi Fatma sudah tua, seperti wanita paruh baya yang berumur hampir 60 tahunan. Umi Fatma juga suaminya adalah alumni Pondok Pesantren Al Jauhary yang sudah sejak lama mendapat amanat untuk ikut membantu mengelola yayasan milik keluarga Mangkoe Madha. Abi Hasan, suami Umi Fatma juga salah satu guru senior paling dihormati di sekolah Hurrin, SMAI Al Jauhary.

Yayasan sekolah dikelola oleh Abi Hasan dengan Kyai Ilyas sebagai Ketua Yayasan. Abi Hasan di tengah-tengah mengajar suka bercerita tentang masa lalu Kyai Ilyas. Kyai muda itu adalah tetangga Abi Hasan di desa pelosok pinggiran Yogyakarta, sudah mandiri sejak kecil, karena hanya tinggal bersama neneknya. Abi Hasan juga suka bercerita tentang kisah cinta Kyai Ilyas dan Ning Ayla dulu sewaktu mereka masih sama-sama sekolah di SMPI Al Jauhary.

Kisah cinta mereka terhenti saat Ning Ayla melanjutkan sekolah di SMA Jakarta dan mengambil beasiswa kuliah kedokteran di luar negeri sementara Kyai Ilyas mondok di Ponorogo dan melanjutkan pendidikan tinggi sampai mendapat gelar profesor di Universitas Al Azhar Mesir, tapi kisah cinta itu berakhir bahagia saat Kyai Ilyas menikah dengan Ning Ayla. Tentu saja Abi Hasan bercerita dengan desakan murid-muridnya, terutama Hasanah, putrinya sendiri yang paling suka mendesak Abi Hasan untuk bercerita di kelas.

Putri bungsunya itu selalu antusias mendengarkan, padahal dia sudah dengar berkali-kali. Kata Hasanah, kisah cinta Ning Ayla dan Kyai Ilyas itu romantis banget, sampai-sampai mau dibikin novel sama Hasanah. Hal itu juga yang suka membuat Hurrin ingin menepuk jidat, tapi Hurrin pasti mendukung sekali kalau sahabatnya ingin jadi seorang penulis.

"Umi Fatma memanggil Hurrin?" Hurrin bertanya dengan sangat halus. Itu adalah gaya bicara khas Hurrin. Membuat Umi Fatma mengalihkan pandangannya yang semula memeriksa barang-barang yang dibawa para santriwati ke sosok Hurrin di belakangnya.

"Eh, Hurrin? Iya, Nduk (panggilan untuk anak perempuan: Bahasa Jawa). Umi minta tolong belanja di warungnya Mbak Aisyah beberapa barang yah? Ajak Hasanah sekalian buat bantu bawain." Umik Fatma langsung mencari sosok Hasanah. Dia masih ribut dengan tiga kakak laki-lakinya.

"ASTAGHFIRULLAH! Ahsan, Ihsan, Muhsin! Jangan gangguin adik kalian terus," teriak Umi Fatma. Tidak habis pikir dengan keempat anak-anaknya yang suka sekali bertengkar satu sama lain.

"Hasanah yang mulai, Umi." Ahsan tidak terima dibilang mengganggu angkat bicara terlebih dahulu.

"Masa Hasanah mau nyari di mana kamar Gus Yasin. Kan tidak sopan, Umi," imbuh Ihsan menjelaskan kenapa mereka ribut memegangi Hasanah yang terus meronta ingin merangsek masuk. Muhsin tidak ikut bicara masih menggaet leher Hasanah dengan tangan kanan sementara tangan kiri memegangi pergelangan kedua tangan Hasanah, dibantu Ahsan dan Ihsan. Umi Fatma memijat pelipis, pening sekali dengan kelakuan anak-anaknya.

"Bohong, Umi!" Hasanah coba melakukan pembelaan terhadap tuduhan jahat ketiga kakaknya. "Hasanah cuma mau bantuin santriwati lain nyapu kamar Gus Yasin kok. Ump puuu mmm puu—" Muhsin tanpa aba-aba langsung menutup mulut adiknya agar tidak banyak bicara dengan tangan kanan yang semula digunakan untuk menggaet leher Hasanah.

"Muhsiiiiiin!" Umi Hasanah melotot.

Muhsin hanya nyengir dan melepaskan bungkaman itu. Hasanah berlari ke arah ibunya, bersembunyi di balik punggung Umi Fatma dan menjulurkan lidah, mengejek tiga kakak laki-lakinya yang sedang kena omelan Umi Fatma akibat menggeroyok adik bungsu mereka.

"Udah sana! Bantuin Hurrin belanja di warung Mbak Aisyah." Umi Fatma mengelus hijab Hasanah yang seketika tegak berdiri melucuti ekspresi wajah mengejek menyebalkan tadi dengan wajah manis dan menggemaskan, penuh kepolosan.

Ahsan mengepalkan tangan meninju udara, Ihsan balas mengejek Hasanah dengan ekspresi wajah, dan Muhsin pergi, berusaha tidak peduli. Umi Fatma menyerahkan list daftar belanja ke tangan Hasanah. Seketika Umi Fatma menoleh, Ahsan pura-pura menggaruk kepala karena terlanjur tangan itu terangkat, Ihsan kembali memasang muka serius, dan Muhsin sudah hilang dari ruangan.

"Ahsan, Ihsan! Susul Muhsin. Ajakin Gus Yasin jalan-jalan keliling pondok putra, hagih. Biar ndak di kamar terus." Umi Fatma memberi perintah.

"Injjih, Umi (Baik, Umi)." Ahsan dan Ihsan langsung balik kanan bubar jalan. Mengabaikan Hasanah, adik mereka.

"Umi, kok ini kok ada tulisan ambil pesenan makanan di warung padang dekat warung Mbak Aisyah?" Hasanah bertanya sambil menggaruk-garus atas kepalanya yang tertutup hijab hijau tosca. Bingung.

"Iya. Malam ini, ada keluarga ndalem dari Turki yang mau datang. Keluarga adik laki-laki dan ibunya Almarhumah Ning Ayla. Harus dijamu spesial." Umi Fatma kembali fokus memeriksa barang-barang yang akan digunakan untuk acara peringatan tujuh hari wafatnya nenek Kyai Ilyas. Hasanah hormat siap, langsung meluncur menunaikan tugas penting dari ibunya. Hurrin mengekor di belakang.

Di perjalanan menuju warung Mbak Aisyah, Hasanah masih terus bicara pada Hurrin. Mengalahkan kebisingan kendaraan yang lalu-lalang lewat di jalan raya dekat bangunan pondok pesantren pagi itu. Matahari sudah hampir meninggi di langit sana. Untuk urusan bicara, Hasanah seperti punya kosa kata tidak terhingga bagai lautan. Daripada jadi penulis, sahabatnya ini lebih cocok jadi juru bicara, begitu pikir Hurrin.

"Tau gak, Rin? Ibu almarhumah Ning Ayla itu orang Turki asli-sli-sli loh." Hasanah menyikut lengan Hurrin yang membuatnya sontak menoleh. Penegasan kata asli itu terlalu banyak.

"Kabarnya, adik laki-laki almarhumah Ning Ayla juga guanteng buuuaaaanget. Aku dengar dari Abi kalau dulu waktu Gus Ozy (nama adik Ning Ayla) masih sekolah di SMPI Al Jauhary sampe jadi rebutan cewek-cewek cuma buat pengen liat wajah bulenya ituloh, Rin," imbuh Hasanah.

"Itu berarti cewek-ceweknya yang gak bisa sopan-santun sama Gus Ozy, Hasanah. Gak bisa jaga pandangan matanya juga, kan wanita harus jaga pandangan mata." Hurrin santai menjawab santai dan bijak kalimat Hasanah.

"Injjih, Bu Nyai Hurrin. Aduh aduuh, pagi-pagi sudah dapat siraman rohani saja. Jiwaku seketika glow up." Melihat wajah kesal Hasanah membuat Hurrin terkekeh dan menutup mulutnya dengan telapak tangan karena ingin tertawa keras.

"Kamu tau itu artinya apa, Rin?" Hasanah balik bertanya lagi setelah muka kesalnya mereda. Hurrin mengangkat bahu, gak-ta-hu.

"Ad-duuuuh!" Hasanah menepuk jidat. Bentuk kerudungnya makin penyok berantakan. "Gus Yasin juga mewarisi darah rupawan Turki itu. Iris matanya biru laut."

"Ketampanan wajah bukan tolak ukur manusia baik, Hasanah. Tapi ketampanan hati." Nasehat Hurrin membuat Hurrin melongo. Hurrin tersenyum, menarik tangan Hasanah agar segera bergegas sebelum hari makin siang.

Hasanah menepuk jidat lagi, "Dasar! Mata kamu gak bisa liat cogan kayaknya, Rin."

Hasanah akhirnya pasrah, menyejajari langkah Hurrin yang agak tertinggal karena melongo heran beberapa detik tadi. Sambutan dan jamuan makan malam untuk keluarga ndalem dari Turki akan segera dilakukan malam ini.

.
..
...
.....

◇□ MUNAJAT □◇

___________________________
___________________

Yang penasaran kisah cinta Kyai Ilyas dan Ning Ayla bisa disimak di "His Fortunate Fangirl" yah! 👋🥰

Cerita "MUNAJAT" juga sebenarnya adalah cerita lanjutan. Tapi kalo gak tertarik juga gak masalah, Kak. Kalian masih bisa menikmati alur cerita ini.

Jangan lupa vote dan komennya Kakak! 🥳🤩

Terus dukung Author berkarya yaaaaak!! 😚🥰

𝐌𝐮𝐧𝐚𝐣𝐚𝐭 ✔Where stories live. Discover now