🕋◇ Episode 13 ◇🕌

12.8K 1.3K 56
                                        

Happy Reading Gaes (!)
_________________________
_______________________________

• ○ ● ■ ◇□◇ ■ ● ○ •

Tak ada pemandangan menarik dalam kabin pesawat selain ruangan sempit kanan-kiri. Kursi-kursi penumpang yang berjejer rapi antara kursi satu dengan kursi lain dan jalan sebadan di tengah-tengahnya. Mirip dengan setting interior bus tapi dalam versi lebih mewah. Ini sungguh pengalaman pertama Hurrin naik pesawat, apalagi kelas bisnis. Sayangnya, Hurrin benar-benar tidak bisa sembarangan menoleh ke kiri atau matanya akan beradu langsung dengan Gus Yasin. Di balik jendela kaca bundar kedap udara itu hanya hamparan putih awan yang terlihat seperti permadani kapas amat lembut di luar sana.

Jika ada yang bertanya, apakah pengalaman pertama naik pesawat itu menyenangkan? Jawabannya, tidak. Bagi Hurrin, telinga yang tiba-tiba berdenging saat pesawat lepas landas sangat menganggu. Yah, itu normal, wajar-wajar saja. Penyebabnya adalah perbedaan tekanan udara di luar dan di dalam kabin pesawat membuat saluran tabung eustachius pada telinga jadi tersumbat. Tak apa, setidaknya itu lebih baik dari mabuk laut yang dialami Hurrin waktu pertama pergi ke Pulau Jawa naik kapal. Dulu ada Bapak yang selalu peduli dan merawat Hurrin, sekarang tidak. Gus Yasin? Apa yang bisa Hurrin harapkan padanya, mengalihkan pandangan dari layar laptop di depannya saja tidak. Apalagi sekedar basa-basi bicara untuk mengisi waktu, memecah canggung. Hurrin tidak habis pikir, manusia setengah kulkas ini yang akan jadi calon suaminya? Astaghfirullah, Hurrin sedang memikirkan apa. Ditepisnya jauh-jauh rasa buruk sangkanya pada Gus Yasin.

Satu setengah jam penerbangan sudah terlewati. Masih kurang dua setengah jam lagi. Ya Allah, tabahkanlah hati Hurrin untuk tetap diam saja dan menatap ke luar jendela bundar di sampingnya. Semoga lehernya tidak pegal-pegang atau nyeri. Hurrin tidak punya pilihan. Manusia di sampingnya ini tidak ada harapan untuk bicara. Hurrin rasa, Gus Yasin sudah benar-benar resmi debut jadi patung.

Harus ada yang memulai pembicaraan.

Bagaimana bisa, dua orang yang akan menikah di masa depan secanggung ini.

Apa Hurrin sudah menerima takdir bahwa Gus Yasin akan menjadi suaminya? Biar Hurrin saja yang menjawabnya. Wajah cantik itu sudah memberanikan diri menatap lurus ke depan. Mengalihkan pandangannya. Sudah dua jam tepat mereka di pesawat, suasana canggung ini harus berakhir cepat atau lambat.

"Kukira kau tertidur tadi."

Di luar dugaan Hurrin, justru Gus Yasin yang memulai topik awal pembicaraan di antara mereka berdua.

"Tidak, Gus. Lagi lihat awan di luar. Bagus. Saya belum pernah naik pesawat sebelumnya." Hurrin menjawab asal dan refleks, juga spontanitas. Senyuman itu terlihat bodoh. Untung saja Gus Yasin tidak melihatnya dan masih fokus, jemari lelaki itu mengetik entah apalah.

"Di luar yah awan semua. Sama aja, gak ada bagus-bagusnya. Sama kayak kamu naik kapal, Hurrin. Di luar laut semua. Gak ada pemandangan lain." Gus Yasin menyahuti. Canggung yang ikut duduk di antara mereka berdua sekarang dihempas. Obrolan ringan itu mujarab sekali.

"Hehe. Iya, Gus." Hurrin kehabisan topik.

"Daripada bengong mending kamu ulang hafalan yang tadi subuh kamu setorin ke aku atau muroja'ah. Lebih ada manfaatnya."

MASYA' ALLAH! Tolong dicatat, momen ini uwwu sekaliiiiiiii.

Hurrin seketika merasakan bentuk 'perhatian' itu dari Gus Yasin tapi dengan cara Gus Yasin sendiri. Gus Yasin benar. Hurrin pun mengambil Alquran kecilnya dan kembali hanyut dalam lantunan kalam ilahi itu. Suara Hurrin amat merdu. Gus Yasin lebih suka mendengar suara Hurrin daripada menyetel murottal lewat earphone-nya.

𝐌𝐮𝐧𝐚𝐣𝐚𝐭 ✔Where stories live. Discover now