🕋◇ Episode 10 ◇🕌

12.6K 1.3K 111
                                    

Happy Reading Gaes (!)
_________________________
_______________________________

• ○ ● ■ ◇□◇ ■ ● ○ •

Pukul 04.30

Gelombang suara azan subuh dari masjid satu ke masjid lain berkumandang nyaring di sepanjang langit Surabaya, saling menyebar dan bersahut-sahutan menuntun lembut langkah bumi melakukan rotasi hariannya. Memecah cahaya fajar subuh hari itu. Semburat merah mulai elok merekah di ufuk timur, tanda dimulainya hari baru lagi.

Di sisi lain bangunan ndalem kyai, meninggalkan kegiatan Gus Yasin yang juga sudah mulai bangun dari tidurnya, mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat fajar. Kita beralih sekarang, menuju sepetak kamar lain bagian bangunan yang menjadi kediaman Abi Hasan dan Umi Fatma. Seorang gadis muda yang masih saja bersimpuh di kaki langit mengadap kiblat sejak dua jam lalu, adalah Hurrin, gadis yang sedang menengadahkan tangan itu. Air matanya berhenti mengalir tepat ketika panggilan ilahi melewati gendang telinganya. Dia mengusap sisa cairan bening di pipi. Gadis itu hanya berusaha mengadu pada Robb-nya agar menunjukkan jalan terang atas takdir apa yang hendak Allah lakukan padanya.

Hasanah masuk ke kamar Hurrin, mengamati sejenak dan memberitahu agar segera sholat subuh dan pergi setoran bersama ke ndalem Kyai Ilyas. Rutinitas wajib dua sahabat karib.

Apakah Hurrin mampu pergi ke ndalem lagi? Mampu menghadap Kyai Ilyas setelah apa yang diperbuat putranya kepada Hurrin kemarin malam. Mempermalukan Kyai Ilyas di hadapan keluarga calon besan sang kyai. Ya Allah, dilema hati macam apa yang sedang dirasakan Hurrin saat ini.

Apakah Gus Yasin sudah meminta maaf semalam pada Abi-nya? Hurrin bahkan tidak tahu.

Apakah Hurrin yang harus meminta maaf secara langsung kepada Kyai Ilyas sendiri karena tidak tahu-menahu atas perbuatan Gus Yasin? Hurrin tidak yakin.

Bagaimanalah ia akan meminta maaf, menatap wajah Kyai Ilyas saja selama ini Hurrin tak mampu. Hurrin hanya menggigit bibir atas dampak kebingungan di hatinya itu. Mengangguk pada Hasanah yang masih berdiri di ambang pintu, belum beranjak sedikit pun. Menanti respon yang diberikan Hurrin. Hurrin setuju, ia akan tetap menuju ndalem, melanjutkan setoran hafalan Alquran-nya.

***

"Paman tidak mengira kau akan bersedia datang ke sini, Yasin," ucap Gus Ozy. Melihat keponakannya datang setelah selesai melakukan jadwal piket ngimami masjid subuh ini.

Tak ada pemandangan taman bunga rumahan yang seindah milik keluarga ndalem kyai. Aroma bunga yang semerbak menambah sejuk udara pagi ini di antara seliweran para santri yang piket menyapu atau menyiram tanaman dan melakukan aktivitas pagi seperti pergi mencari makan, olahraga, atau antri mandi di bilik sana.

Sejenak lenggang, Gus Yasin merasa tak perlu menanggapi ucapan Gus Ozy yang duduk di sampingnya sekarang. Mereka hanya melihat pemandangan santri yang lewat sambil menunduk penuh rasa takdzim di depan dua orang terhormat di pondok pesantren tersebut.

"Paman harap, kau tidak terlalu memaksakan kehendakmu hanya demi menghindari perjodohan dengan puri Ning Fatiyah, Yasin. Pikirkan juga perasaan Abi-mu, atau paling tidak, perasaan gadis yang kau libatkan dalam masalah ini." Gus Ozy kembali memecah hening yang ikut duduk antara mereka berdua. Gus Yasin mengalihkan atensinya ke sepetak kolam ikan di samping bangku taman.

"Memangnya Paman Ozlem tahu apa?" Satu ucap kata sahutan dari bibir Gus Yasin yang sukses membuat Gus Ozy menoleh kepadanya. Dari sekian banyak orang pondok pesantren ini yang memanggil beliau dengan nama 'Gus Ozy' hanya tiga orang yang masih memanggilnya dengan nama panjang itu, Umik Gus Ozy, tantenya yang sekarang di Turki bersama Umik-nya, dan yang terakhir keponakannya sendiri, Gus Yasin.

𝐌𝐮𝐧𝐚𝐣𝐚𝐭 ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang