🕋◇ Episode 16 ◇🕌

12.1K 1.2K 25
                                        

Happy Reading Gaes (!)
_________________________
_______________________________

• ○ ● ■ ◇□◇ ■ ● ○ •

Malam ini, hujan gerimis juga habis menyiram kawasan perkampungan di belantara hutan itu. Hawa sejuk bercampur dingin yang pas. Beberapa tetesan air sisa cumbuan hujan masih malu-malu menggantung di pucuk-pucuk daun sana. Jangkrik dan orkestra alam saling memadu irama elok, menggambarkan ekosistem hutan yang masih amat sangat terjaga.

Di teras rumah panggung, Gus Yasin dan Ahsan refleks ikut menoleh begitu pintu kayu terbuka. Menampakkan sesosok wanita berumur tiga puluh limaan tahun. Beberapa poni rambut yang usil keluar dari tudung batiknya berkilau perak diterpa cahaya purnama malam ini. Wajahnya memang agak tua tapi pernah cantik. Sekarang Gus Yasin tahu dari mana Hurrin mewarisi mata indah itu. Hurrin menghamburkan pelukan hangat ke arahnya. Siap atau tidak, dibalas memeluk atau tidak, Hurrin amat rindu dengan Mamaknya itu.

Ekspresi di raut wajahnya jelas menggambarkan kebingungan. Penuh pertanyaan. Siapakah dua sosok lelaki di belakang Hurrin itu?

Yang tampan itu calon mantu, Mak. Yang mukanya biasa aja dan agak ngeselin itu pengawalnya. Baiklah, itu cuman jawaban iseng. Biarkan Hurrin saja yang menjawabnya dengan lebih serius.

"Hurrin rindu sekali dengan Mamak."

"Bagaimana bisa? Maksud Mamak, kenapa kamu balik pulang? Bukannya SMA-mu masih dua tahun lagi? Dan siapa mereka?" Benak Mamak Hurrin ditikam seribu pertanyaan musykil.

"Yang satu namanya Gus Yasin putra Kyai Ilyas, Mak. Sebelahnya Kang Ahsan."

"Ya Allah, putra Kyai Ilyas? Sampai jauh-jauh ke sini? Kamu habis berbuat kesalahan apa di sana, Hurrin?" Cemas sekali wajah Mamak Hurrin memandang ke Gus Yasin dan Ahsan bergantian.

Mencuri hati Gus Yasin, Mak. Eh? Biar Gus Yasin aja deh yang bicara.

"Hurrin tidak melakukan kesalahan apapun. Boleh bicara di dalam saja?" Gus Yasin angkat bicara karena Hurrin yang ditanyai diam saja. Mamak Hurrin mengangguk setuju.

Mereka bertiga masuk ke dalam rumah. Masih pukul sembilan malam. Gulita cukup pekat, mengingat penerangan satu-satunya hanya lampu obor di tiang kayu itu. Tidak ada kursi atau meja di dalam rumah panggung. Semuanya terbuat dari kayu dan ruang tamu hanya digelar tikar lebar untuk dibuat duduk.

Mamak Hurrin masuk ke dalam untuk mengambilkan sesuatu. Dua gelas teh hangat yang cocok untuk menghempas dingin di badan dan berapa camilan khas daerah itu. Gus Yasin dan Ahsan tidak yakin apa namanya tapi itu termasuk jenis kue kering.

"Silahkan diminum Gus Yasin, Kang Ahsan." Minta Mamak Hurrin sambil menyodorkan dua gelas dan sepiring kue dari nampan. Ikut duduk bersama.

"Terima kasih." Gus Yasin tersenyum demi ramah-tamah. Ayolah, ini tidak akan sesulit berbicara di depan para senior dalam perkumpulan Majlis Ilmu tiap sore di Masjid Kairo Mesir sana. Satu-satunya orang yang menjadi lawan bicara Gus Yasin hanyalah Mamak Hurrin, wanita yang kelihatannya saja sudah tidak berpendidikan tinggi seperti para profesor seniornya di Majlis Ilmu. Kenapa tiba-tiba lidah Gus Yasin terasa begitu keluh?

"Saya kaget sekali, Gus. Saya kira ada kompeni Belanda yang mau jajah Indonesia lagi. Ternyata putra Kyai Ilyas. Ada hal penting apa yah, kok sampai jauh-jauh datang ke gubuk kami di tengah hutan ini?"

Ahsan mati-matian menahan tawa. Iris mata biru dan kulit putih Gus Yasin memang sekilas seperti orang eropa. Tidak mengherankan jika Mamak Hurrin berkata demikian. Tapi serius deh, masa penjajah Belanda pakai kopiah, Mak? Kan gak lucu. Gus Yasin udah niat banget loh pake pakaian serapi itu tadi.

𝐌𝐮𝐧𝐚𝐣𝐚𝐭 ✔Where stories live. Discover now