"Coba ulang deh pertanyaan tadi,"

"Pertanyaannya aku siapa kan?"

"Iya, aku siapa. Lo jawab?"

Dahi gadis itu mebentuk lipatan, "Aku?" sejenak ketika humornya berhasil mencerna, dia mengetuk helm Juna pada bagian belakang, "Lu yang kera, MONYET!"

Arcelia membenarkan sweternya, "Hmmm."

"Tau nggak sayur apa yang bikin seneng?"

Arcelia mengernyit, "Ya tergentung, lo sukanya apa."

"Bukan gitu jawabnya."

"Lah terus?"

"Bilang gini, 'Sayur apa?' "

Arcelia terkekeh, "Iya deh. Sayur apa?"

"Sayur Toge."

"Suka toge?"

"Iya. TOGEther with you."

Juna terkekeh sampai bahunya terguncang. Pipi Arcelia bersemu merah. Tapi yakin sekali dia kalau ini disebabkan oleh ulah matahari terik ini. Bukan karena tebak-tebakan aneh itu.

"Diem Jun! Orang-orang keganggu tuh sama ketawa lo." Arcelia menggeplak bahu cowok itu dengan ponselnya setelah mendapat lirikan sangsi pengguna jalan yang lain, "Diem!"

Juna menurut, matanya mengamati Arcelia lekat dari spion. Membuat Arcelia mengalihkan pandangan lalu berniat untuk menggeplak cowok itu lagi.

"Eh Ar, lo naik boncengan gue juga ya setelah tragedi ban kempes waktu itu?"

Belum beres mendengar Juna, Arcelia terdorong ke depan dengan dua tangan secara spontan tertekuk untuk menolak tubuhnya membentur tubuh Juna. Cowok itu mengerem mendadak akibat mobil yang keluar dari belokan secara tiba-tiba.

"Anjir lo!" Juna mengumpat seperti pengguna jalan lainnya. Menggas ninjanya lagi. Ia menoleh pada Arcelia yang cepat-cepat menarik tangannya, "Nggak apa Ar?"

Arcelia menggeleng singkat sebagai balasan, "Nggak."

Bohong.

Oh, tentu saja Arcelia malu mengakui darah di kakinya berdesir tadi. Meski sedikit. Tidak seintens waktu dia membentur tubuh Rama kala...

Arcelia menggelengkan kepalanya beberapa kali sambil mengerjap. Kenapa harus membahas cowok songong itu!

"Lanjott teross! Pepett terosss, pepett sampe nyungsep dah lo." Celetukan sewot itu berasal dari motor beriskan Felis dan Eta yang bersisian. "Cengengesan aja lo pada sambil kebut-kebutan. Kagak mikir apa gue susah ngikutin lo dari belakang."

Arcelia hanya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Sementara Juna mengacungkan jari telunjuk dan tengah, "Eh maap-maap. Gue lupa."

"Iya lah, ingetnya pacaran aja." Ketus Eta sengit.

Setelah dua belokan, Ninja merah Juna memasuki komplek perumahan yang Arcelia bisa nilai berada pada kelas menengah keatas.

Kerja kelompok Biologi itu dimulai dengan Felis yang uring-uringan, Eta yang pura-pura googling padahal sibuk chatan, hanya Arcelia yang sibuk dengan seabrak buku di depannya. Sementara Juna sedang terpaku memandangi wajah serius cewek itu.

"Jun, ambil minum woi! Kering nih tenggorokan!"

Juna berdecak karena kegiatannya diganggu oleh gerutuan Eta itu, "Ambil sendiri sana ke dapur."

Felis menyedekapkan tangan di depan dada, "Heh. Ini tuh rumah lo, bambang. Mana kita tau dapur lo dimana."

"Dari sini lurus aja, nanti lo nemu simpang tiga pilih kiri. Dah, di sana tuh dapur."

Setelah mengerutkan hidung keki, akhirnya Felis dan Eta beranjak dari duduk. "Ayo Ar kita ambil sendiri. Susah punya tuan rumah nggak tau diri kayak gini."

Arcelia mendongak bingung ketika namanya disebut. Sedari tadi hanya fokus mencari referensi sampai tidak tahu apa yang terjadi.

"Lo berdua aja. Arcelia sama gue ngerjain tugas."

Perkataan itu sukses membuat Juna menyilangkan tangan demi menepis buku yang dilempar Felis. Cewek itu, nampaknya suka sekali main lempar-lemparan. Terhitung sudah dua kali ia melakukannya.

"Santai aja cing. Lo lama nggak dibelai apa?"

Yang Arcelia tahu, Felis menimbulkan kekehannya ketika menjejakkan kaki pada karpet yang tidak bersalah. "Dasar Kampret!"

Juna terkakak, "Itu karpet, btw. Bukan Kampret."

Kambali memberi fokus pada buku yang sedang ia baca, Arcelia sesekali menaikkan nosepad agar kacamatanya tidak turun. Kemudian telinganya mendengar kekehan ringan yang ia tidak tahu disebabkan oleh apa.

"Kenapa Jun?"

"Nggak." Jawab lelaki itu masih disisipi tawa.

"Dih, Lo kesurupan?"

Cowok itu menyugar rambutnya lalu menopang dagu dengan kedua tangan, "Nggak."

Manik mata yang mencari tahu beriring alis kiri terangkat sebelah itu kontan membuat Juna buru-buru mencari alasan atas kelakuannya, "Nggak. Kacamata lo bagus tuh. Lucu."

Tangan Arcelia bergerak refleks memegang frame kacamatanya, "Lucu?" Ulangnya memastikan.

"Iya. Gue suka."

Impuls yang diberi Juna cepat dihantarkan oleh dendritnya menuju pusat. Merangsang motoriknya untuk menghentikan kinerja paru-paru selama beberapa detik. Saat itulah spekulasi muncul dalam pikiran Arcelia. Tentang asal-usul kacamata yang ia pakai ini.

"Bilangnya ngerjain tugas, nyatanya malah uwu-uwuan." Eta memprotes, bersama Felis menaruh nampan berisi satu teko penuh es teh, empat buah gelas, dan selebihnya adalah snack yang diambil dari dalam kulkas.

"Eee buset! Lo ngerampok apa gimana anjir."

"Diem lo kambing. Ngaku lo daritadi ngapain Arcelia?!" Sungut Felis judes,

"Enak-enak aja dianya, si anying."

Kata 'enak-enakan' yang diucapkan Eta itu nyaris terdengar seperti 'ena-ena' oleh pasang telinga yang mendengarnya.

"Bangke lo, Ta." Tolak Juna cepat.

Mengerti arah dialog ini, Arcelia mengambil antisipasi sebagai pembelaan diri, "Sembarangan tuh mulut. Gue daritadi nyari bahan kok."

"Nah, tuhkan lo denger sendiri."

Meski begitu Felis menegak es tehnya dengan pandangan sangsi.

"Eh iya, oogenesis fase meiosis 2 itu baru berlangsung kalo terjadi fertilisasi kan?" Arcelia menatap teman-temannya bergantian meminta jawaban. Ketiganya kompak diam, entah mungkin lupa atau tidak mengerti. Menyisakan lima detik sunyi sebelum Juna meloloskan suara.

"Iya Ar, waktu ovum sama sperma kita bertemu."

Geligi Felis menghentikan kunyahannya, Eta sampai tersedak. Ekspresi serius Arcelia berubah kikuk ditandai oleh gerakannya menyelipkan anak rambut ke belakang telinga.

Juna melotot bingung, "Eh, gue salah ngomong ya?"

Arcelia menggeleng cepat, "Nggak kok. Yuk lanjut lagi."

***

EPIPHANYWhere stories live. Discover now