8. Perdana

58 24 18
                                    

"Entah skenario apa yang dimainkan semesta, hingga selalu kamu jadi yang pertama."

***

"ANJIR!"

Seruan tiga oktaf itu kontan membuat Arcelia mengelus dada. Dia meringis jijik sekaligus geli akibat ulah Felis yang tiba-tiba usek-usekan di bahunya.

"Apasih lo ah!" Sergah Arcelia jutek, menggerak-gerakkan bahu supaya Felis menjauh darinya.

"Ih! Galak amat sih! Nanti nggak dapet cowok baru tau rasa!"

Arcelia hanya mengerutkan hidungnya, mentang-mentang itu cewek lagi Pdkt. Seenaknya saja menyumpahi orang. Bodo amat atas ucapan Felis itu, dia tidak mengambil pusing.

Mereka sedang berjalan ke parkiran, tetapi bukan untuk pulang. SMA Semesta diundang ke SMA Pembina yang sedang melangsungkan dies-natalisnya. Kebetulan sekali yang dipersilakan adalah siswa kelas duabelas. Jika teman seangkatannya menganggap ini sebagai ajang senang-senang, maka bagi Arcelia ini malah bikin kejang-kejang. Ia adalah spesies manusia yang malas sekali harus berada dalam keramaian dengan keributan dimana-mana.

Hal apa yang menarik? Kumpulan manusia? Stan makanan? Cowok-cowok ganteng katanya? Atau cewek-cowok yang mempertontonkan adegan pacaran sebagai suatu ke-alayan yang paling memuakkan itu?

"ARR!!!" Felis membekap mulutnya yang menganga lebar, "DEMIAPA ANDRE NGAJAKIN GUE!"

Arcelia hanya menanggapi histeria Felis dengan memutar matanya jengah seraya berkomentar acuh, "Bodo."

Mereka akhirnya berhenti di bawah pohon, secara tidak langsung harus menyaksikan pasang-pasangan murid SMA berboncengan. Sebenarnya Arcelia juga tidak tahu dia di sana untuk menunggu apa.

Iya, untuk menunggu siapa?

Nah!

"Kalo lo sama Andre, gue sama siapa?"

Felis membutuhkan beberapa detik untuk berpikir, setelahnya ia tertawa garing. "Hehe, iya. nggak tau gue."

"Jadinya gue gimana?"

"Makanya, lo cari cowok dong, Ar!"

Arcelia memberengut, kurang ajar sekali temannya itu. Kalau begitu, Arcelia lebih baik tetap berada di kelas, tidur atau melakukan hal apa saja, asal tidak pergi. Baru saja ingin melakukan niat dengan balik kanan, Bu Aya dengan rotannya menyambut pemandangan Arcelia.

"Kenapa belum pergi?"

Felis memasang cengiran kuda, "Nunggu temen, bu."

"Kamu Arcelia?"

"Saya-" Arcelia bingung, bibirnya terbuka tapi tak kunjung melanjutkan kata.

"Arcelia nggak ada tebengan bu."

Sontak Arcelia mencubit tangan cewek itu atas ucapannya yang terlalu jujur. Gawat. Bisa-bisa rencananya gagal.

Bu Aya, yang sebenarnya baik sekali walaupun kadang galak, mencari solusi dengan mengedarkan mata dibalik kelopak dengan eyeshadow cokelat itu. Lalu ia menunjuk ke gerombolan cowok yang bersiap pada motor mereka masing-masing.

"Itu masih ada yang sendirian. Nebeng aja sana."

Arcelia memicingkan mata. Boncengan kosong yang dimaksud bu Aya ada di dua motor. Yang Arcelia tahu, satu dari mereka yaitu Ginto, murid yang tingkat keganjenannya nggak perlu lagi dipertanyakan. Sedang satu yang lain, yang ia harap lebih bersahabat justru merubah mukanya masam seketika.

Benar tebakan kalian.

Rama.

Suasana itu diperkeruh ketika Felis berpamitan dan berlari ke gerbang. Cewek itu jelas memberitahu Andre untuk mengubah lokasi janjian karena sama saja cari masalah jika menjemputnya terang-terangan di depan bu Aya.

"Rama!"

Kebetulan sekali motor cowok itu sudah mendekati mereka. Bukan motor ninja seperti milik Juna. Kendaraan besi yang ditunggangi Rama adalah jenis motor matic biasa. Membuat kakinya yang jangkung harus tertekuk dengan badan sedikit menunduk untuk mengendarainya.

Arcelia berteriak keras-keras dalam hati ketika motor Rama berhenti menuruti panggilan bu Aya. Sudut mata berlapis tirai lentik itu bisa melihat Rama meliriknya satu detik, "Kenapa bu?"

"Sok atuh, dibonceng."

"Yaudah bu. Ayo!"

Bu Aya mendengus, "Arcelia, bukan ibu."

Rama melempar pandangannya pada Arcelia, kali ini terang-terangan, dengan ekspresi sok kaget, "Dia nggak bilang tuh, bu."

Jika kalian tahu, Arcelia sedang mengigit bibirnya sekarang. Ingin sekali berkata "Belagu banget sih lo!" kepada Rama saking jengkelnya. Tapi ia tahan, nggak baik kan mencak-mencak di depan guru?

Rotan bu Aya membelai kaki Rama gemas, membuatnya meringis, "Genit banget jadi cowok!" Hardiknya seraya berkacak pinggang.

"Iya bu, Iya. Canda doang tadi."

"Yaudah Arcelia, buruan sana."

Untuk pohon yang tepat berada di belakangnya, tolong jadilah saksi betapa kaki Arcelia susah digerakkan saat ini. Bagaimana mungkin ia disatukan dalam satu motor dengan cowok yang bahkan hanya dengan melihatnya saja sudah membuat air muka Arcelia berubah?

"Belum mau lah bu, kan belum saya kasih izin."

Baik Arcelia dan Bu Aya menaikkan alis, sedangkan cowok itu menyunggingkan senyuman sebelah yang sudah Arcelia lihat berkali-kali dengan efek yang sama menyebalkannya.

"Cepetan naik."

Arcelia tercenung oleh perkataan Rama yang datar itu. Kakinya tiba-tiba digerakkan oleh tanah tempatnya berpijak. Ia memastikan Arcelia sudah berada pada boncengan sebelum menghidupkan motornya.

"Duluan bu."

Bu Aya hanya tersenyum singkat.

Hah?

Arcelia tidak salah lihat kan?

Tidak biasanya, bahkan guru kesiswaan itu tidak pernah sudi mengendus adegan macam ini di kalangan siswa-siswinya. Jangan tanyakan tentang keanehan bu Aya itu, karena Arcelia pun tidak tahu jawabnya.

"Jangan modus, Rama! Ibu hukum lari kalau kamu macem-macem!"

Terimakasih pada Bu Aya yang semakin mengingatkan Arcelia pada hari dimana ia dihukum lari karena keterlambatan yang diakibatkan oleh cowok ini.

Rama menunjukkan sikap hormat, "Siap!"

Kendaraan roda dua itu berhenti di pos satpam. Rama berbicara sesuatu pada satpam sekolah, dan Arcelia tidak perlu repot menguping karena Ia tidak peduli.

Apapun tentang Rama. Pokoknya dia tidak peduli.

Dan gak akan peduli.

Sampai ketika Rama memelintir badan untuk menyodorkan helm, "Pake, Cel."

Arcelia menerimanya dengan kelopak mata mengerjap untuk menyembunyikan pupilnya yang melebar. Darahnya berdesir hangat akibat jantung yang mengalami pecutan ringan.

Semesta, mengapa bisa Rama memanggil Arcelia dengan panggilan itu?

***

EPIPHANYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang