15. Debat

31 15 12
                                    

"Bagaimana dunia ini akan berkembang jika anak-anak mudanya terus-terusan dimaklumi setiap kali bikin kesalahan?"

***

Sekarang jam istirahat, ketua kelasnya tadi memberi tahu jika bu Tati meminta Arcelia untuk datang menemui. Maka di sinilah Arcelia, menahan tawa yang hampir berhambur keluar sebab mendengarkan curhatan guru Fisika-nya itu setelah ulangan harian diadakan satu minggu yang lalu.

"Ini. Ada satu lagi nih, Ar." Bu Tati dengan semangat meraih kertas yang sudah dipisahkannya dan membenarkan letak kacamata yang melorot.

"Bu, satu-satunya jenis gelombang yang saya ketahui ya gelombang cinta. Dan saya nggak bisa mengukurnya karena nggak punya pacar. Apa ibu bisa menggunakan rumus pengukuran gelombang untuk mendeteksi si dia suka nggak sama saya?"

Arcelia menyembunyikan kekehannya di balik tengan. Tidak sopan tertawa didepan orang tua yang sedang kesal.

"Memang ya, zaman sekarang siswa banyak makan micin, jadinya bucin. Dateng ke sekolah cuma buat tidur sama ketemu gebetan. Nilai pas-pasan. Kuliah tambah kacau ujungnya pengangguran. Memang mereka pikir anaknya nanti mau dikasih makan apa? makan cinta? Dia pikir orangtua itu nggak susah nyari uang."

Wanita itu menggeleng prihatin, "Dasar pekok."

"Apa bu? bengkok?"

Arcelia baru saja sadar jika ia menanyakan hal yang tidak seharusnya. Salahkan saja mulutnya yang tidak lagi tahan untuk bersuara ini.

"Pekok, Arcelia. Pe-Ko-K." Sahut bu Tati sambil mengeja, "Tau nggak apa artinya?"

Kepala gadis itu tergerak ke kanan dan kiri dalam tempo lambat.

"Pekok tuh artinya badung. Masa gitu aja nggak tahu."

Eh?

Arcelia memindah sorot untuk melihat siapa yang menginterupsi pembicaraannya dengan bu Tita. Netranya kemudian melebar.

Sudah bisa ditebak siapa orang yang bisa membuatnya demikian.

Sebelum bu Tati atau Arcelia memberikan tanggapan, terlebih dulu folder map di atas meja terjatuh. Membuatnya seisinya berserakan.

"Nah! Kamu itu yang pekok. Gimana sih. Makanya liat-liat." Bu Tati berseru garang.

"Maaf bu, maaf."

Entah mengapa bisa begitu. Seingatnya, folder map itu berada pada tempat semestinya. Maka demi sebuah etika, dia mengikuti Rama. Berjongkok, mengumpulkan apa yang ia bisa.

"Ar, nggak usah dibantu. Biarin. Ibu mau ngomong sesuatu."

"Iya bu, bentar."

Bu Tita mengangkat sikunya dan mengambil kertas ulangan Arcelia, menunjuknya dengan pena merah.

"Kamu kok satuannya Km/s?"

Arcelia menelisik kertas ulangannya, "Seingat saya memang satuannya Km bu."

"Nah ini. Akibat terlalu fokus. Sebelum ulangan saya sudah bilang kalau soalnya typo."

Arcelia tersenyum mahfum, bingung ingin menjawab apa, "Nggak tahu bu."

Bu Tita mamajukan wajahnya, "Nggak tahu? Kamu nggak dengerin saya?"

Waduh! Memang selalu salah berhadapan dengan guru. Arcelia dibuatnya menelan ludah kikuk. Tidak mau menjawab, nanti salah lagi.

"Jalan kamu semuanya benar tapi. Ibu jadi bingung mau dibenarin atau tidak."

"Nggak usah dibenarin bu."

Rama berdiri dengan seberkas folder yang telah rapi,

"Ibu bayangin deh berapa banyak pesawat yang tabrakan di udara hanya karena satu pesawat yang nggak melaju dengan kecepatan semestinya."

"Atau berapa banyak roket yang meledak karena terlalu cepat melaju. Hanya karena ilmuwan yang salah menotasikan Km menjadi M."

Sedang Arcelia melotot. Bagaimana tidak? Apa mantra yang dirapalkan lelaki itu sehingga bisa membuat Bu Tita seserius ini mendengarkannya? Ditambah juga, tidak mengerti malu sedikit kah? Setelah berbuat salah masih saja cari muka? Ia mendengus. Jengkel.

"Terus, bukannya ilmuwan harus teliti? Dan bagaimana dunia ini akan berkembang jika anak-anak mudanya terus-terusan dimaklumi setiap kali bikin kesalahan?"

Iya! Terus saja!

Arcelia tidak bisa menebak terbuat dari apa lelaki ini. Yang jelas dia punya satu kelebihan. Kelebihan untuk membuat Arcelia jengkel tentunya.

Anggukan bu Tita jelas menggambarkan kalau wanita itu terpersuasi, "Ya udah. Ibu kasih kamu lima poin karena jalan kamu benar."

Arcelia tidak menjawab karena terfokus pada cowok yang sedang tersenyum Jumawa itu.

"Oh iya, kamu mau apa?"

Rama menyodorkan tumpukan buku, "Saya disuruh Bu Rika ngasih ini ke ibu."

Bu Tita mengambil tumpukan buku itu dan mengernyit bingung, "Ini buku apa?"

Rama melirik sampul buku itu, "Kimia bu."

Arcelia sudah tahu alur yang akan terjadi. Maka dia hanya diam untuk mendengarkan. Menunggu detik berikutnya berjalan.

"Kamu disuruh bu Rika ngasih ke siapa?"

Rama mengedarkan pandangannya untuk mencari petunjuk tentang nama guru di depannya ini. Tentu saja dia bukan tipe murid teladan yang hapal nama guru diluar kepala.

Ia berdehem sebentar, "Ke bu Arin, bu."

Benteng pertahanan Arcelia pecah. Dia tersenyum dengan bibir naik sebelah. Dengan deheman keluar dari pita suara. Berharap itu sama persis seperti apa yang sering Rama lakukan.

Dengan gaya slow motion, bu Tita mengetukkan buku itu ke meja, "Kamu hafalin lagi ya nama-nama guru kamu. Kalau kamu nggak tahu, saya bu Tita. Guru Fisika. Bukan guru Kimia. Ini saya kembalikan bukunya, cari bu Arin. Jangan salah lagi, kalau nggak tahu jangan sotoy ya, lebih baik nanya."

Bu Tita menggelengkan kepalanya lagi, "Nah itu Arcelia, maksud pekok yang sebenarnya."

Arcelia tersenyum jumawa. Tidak bisa lebih setuju lagi dengan pernyataan bu Tita kali ini!

***

Author Note :

Sampai jumpa di apdetan berikutnya, readerss!!

Salam manis,

~Fyraa

[06.09.20]

EPIPHANYWhere stories live. Discover now