#21 : Pesan Moral

312 43 29
                                    

Chandra benar-benar menahan diri untuk tidak tertawa. Reaksi Meilin saat ini nyaris seperti ekspresi seseorang yang baru terbangun dari tidurnya. "Coba buka kotak kecil itu. Kalau bersedia, pakai cincin yang ada di dalamnya."

Meilin membekap wajahnya. "Bentar, Chand! Aku mau puas nangis dulu. Ini serius nih, cowok kesukaanku ngajak nikah," gumamnya tidak jelas karena tertutup dengan telapak tangan.

Chandra tidak bisa menahan diri. Gelak tawanya menggantikan suara MP3 yang masih terputar pelan. "Butuh bahu gak kamu, sini-sini nangis di pundak Mas Chand."

Meilin mengusap air matanya untuk kesekian kali. Masih sempat ia melihat perubahan wajahnya di kaca yang ia bawa. Ternyata masih aman, tidak sekacau orang putus cinta. "Masya Allah. Sempet-sempetnya ya bercermin. Ini hatiku menunggu jawabanmu, wahai calon ibu dari anak-anakku."

"Aku belum jawab iya, lho. Kok pede banget nyebut aku calon ibu dari anak-anak kamu."

Chandra terkekeh. "Buruan buka gih kotaknya."

Perlahan Meilin membuka kotak merah dan melihat cincin cantik dengan tiga permata kecil berpola segitiga. Air mata Meilin kembali jatuh menemani gerakannya yang sedang mengambil benda berharga itu lalu memasangnya di jari manis. "Ini kenapa aku sendiri yang pasang?" pikir Meilin suaranya parau.

"Ya, 'kan secara agama kita ceritanya belum boleh bersentuhan. Ya walaupun pada kenyataannya kita sering sengaja atau gak sengaja bersentuhan sih. Anggap aja ini sesuai syariat agama deh," simpul Chandra bingung hendak menjelaskan bagaimana.

Meilin tertawa sembari mengusap bekas air matanya. "Maaf, ya. Aku gak peka. Dan maaf juga aku gak izin dulu ke Mama Papa kamu," lirih Chandra.

"Ini serius? Beneran? Kamu yakin nikahin aku?"

Chandra memang sempat berniat melamar Meilin setelah gadis itu khatam membaca Al-Qur'an. Namun karena ia tidak ingin kehilangan untuk kedua kali. Ia pun mengubah dan menyegerakan niatnya.

"Lah iya. Masak aku bercandain anak orang sejauh ini!" Kesal Chandra.

Meilin tertawa sejenak. "Berarti aku bisa ngomong ke Mama Papa nih?" tanyanya memastikan. Chandra langsung mengangguk mengiyakan.

"Kalau gitu mampir ke kafe dulu buat telpon Mama, ya. Nanti biar Rara sama Angga bisa nentuin kapan ijab," pinta Meilin. Chandra setuju, meskipun ia sendiri belum tahu kejelasan dari cerita calon istrinya itu.

Di sepanjang perjalanan Meilin menceritakan semua problem yang menimpa Rara dimana itu bersangkutan dengan dirinya.

"Jadi aku datang di waktu yang tepat dong?" ujar Chandra dengan tampang super hero-nya.

"Apaan, kamu sempet gamon lagi, makanya Bima buat skenario kayak kemarin." Jika bukan karena tipu muslihat yang mengisi kantong dosa bertambah, pasti Chandra tidak akan buru-buru menikahi Meilin seperti ini.

"Skenario apa?!" tanggap Chandra penasaran.

Meilin terdiam sejenak. Mata sipitnya mengerjap beberapa kali. Jika ia jujur, Chandra tidak akan membatalkan acara melamar ini, 'kan? "Itu, soal interview di Surabaya, sama perjodohan," gumam Meilin.

"Oh~ jadi kalian niat banget jebak aku!?"

"Gak gitu, Chand. Ya gimana ya." Meilin terlihat kebingungan, sedangkan Chandra malah ingin tertawa. "Ya, itu emang skenario, tapi aku beneran mau ngelakuin itu kalau misal kamu gak tertarik sama aku."

Chandra mematikan mesin mobil saat mereka sudah tiba di depan salah satu toko roti milik ibunya. "Udah niatnya yang itu dihapus, 'kan udah aku lamar. Sekarang kita masuk, ngobrol sama Mami, trus telpon Mama Papa kamu, tanya soal kapan kita ijab!"

Emergency Mom [END]Where stories live. Discover now