#24 : Sayang Ayah

452 45 35
                                    

((epilog))


Lima tahun kemudian_

"Qul a'ụżu birabbin-nās ... maalingnas ...."

"Malikin-nās!" Chandra membenarkan lafal keliru saat Naresha membaca ayat kedua dari surah An-Nas.

Gadis kecil dengan bulu mata lentik itu mengulang kalimatnya. "Ma, likin-nās," ucapnya dengan sedikit keraguan.

"Kamu udah lima tahun, masak ngaji An-Nas aja gak lancar."

Naresha menunduk. Menahan genangan air di pelupuk mata bulatnya. Tangannya mengepal erat; takut jika sang ayah akan memarahinya.

"Mas!?" tegur Meilin mendekati kedua sosok kesayangannya itu. Tangannya membelai kepala Naresha yang masih menunduk.

"Aku gak marahin Esha. Cuma ngasih tahu aja."

"Naresha, yang serius ngajinya, biar cepet lancar ya," pinta wanita berjilbab itu. Setelah melahirkan anak pertamanya, Meilin memutuskan mengenakan jilbab. Bukan jilbab lebar yang menutupi bagian bawah pantat. Meilin lebih suka memakai jilbab persegi panjang yang hanya perlu diikat ke belakang tanpa bantuan jarum pentul atau sejenisnya, dan Chandra tentu tidak melarang. Apa pun kebaikan yang istrinya lakukan pasti ia dukung. Sedangkan rambut pirang Chandra sudah kembali pada warna aslinya.

"Azka mana?" Chandra celingukan menelisik sudut ruang, mencari keberadaan anak kedua yang belum genap berusia empat tahun.

"Nda~ ayo beli pemen!" Seorang anak laki-laki berwajah sama persis dengan Chandra berlari ke pelukan Meilin. Jujur, Meilin sedikit kesal, pasalnya dia yang mengandung selama sembilan bulan tapi tidak ada setitik pun lekuk wajah Azka yang menurun darinya. Azka, benar-benar cetakan Chandra versi kecil.

"Azka harus ngaji dulu!" sahut Chandra.

"Gak ah, mayes."

"Ayah panggilin Eyang Kakung, biar kamu dimarahin. Mau?" Azka itu paling takut dengan Azzam. Karena katanya, jika Azzam sedang marah seperti ingin melahapnya hidup-hidup.

Azka menelusupkan wajahnya di pelukan Meilin. "Ngaji dulu, ya. Besok Bunda ajak belanja sama Kak Esha," bujuk Meilin, anak laki-lakinya itu akhirnya mengangguk.

"Ayo ambil peci sama iqra-nya," titah Chandra. Kaki kecil Azka berlari mengambil buku iqra di meja belajar dan kembali berlari menuju pangkuan ayahnya.

***

Keesokan harinya. Selepas pekerjaan rumah telah diatasi, Meilin dan Chandra pergi berbelanja bersama. Azka duduk di dalam troli yang didorong oleh Meilin, sementara Chandra menggendong Naresha dengan satu tangannya.

"Nda, aku mau pemen cokat yang ada isinya," papar Azka menjelaskan hal itu dengan gerakan tangan. Meilin mengusap kepala anak laki-lakinya sembari mengangguk.

"Bundanya banget, suka jajan," bisik Chandra. Ya meskipun wajah Azka seratus persen menjiplak Chandra, tapi sifatnya banyak yang menurun dari Meilin. Dari kesukaan sampai tingkah lakunya saat Meilin masih kecil dulu.

"Kak Esha mau apa?" tanya Meilin. Status Naresha memang anak angkat, tapi Chandra dan Meilin tidak pernah membandingkan keduanya. Kehadiran Naresha bahkan membawa kebaikan bagi mereka. Jika bukan karena Naresha, Chandra dan Meilin belum tentu berada di titik ini, 'kan? Memang misteri ilahi itu benar-benar di luar batas nalar manusia.

Emergency Mom [END]Where stories live. Discover now