#02 : Dukungan

497 54 40
                                    

Jam praktek pelayanan Chandra menjelang weekend tidak sepadat hari-hari sebelumnya. Khusus Jum'at dan Sabtu ia hanya mendapat jadwal praktek dari jam delapan pagi hingga jam dua belas siang, dan dilanjut jam dua siang hingga jam lima sore. Namun jika ada jadwal operasi, ia tetap akan pulang selarut biasanya.

Di tengah-tengah jeda waktu luangnya, pria bertubuh tegap itu memutuskan untuk mencari informasi tentang proses dan syarat adopsi. Dan benar kata Eryn, salah satu syarat adopsi adalah usia pernikahan minimal lima tahun. Mendengar sebaris kalimat menjengkelkan itu rasanya ia ingin mengumpat, sungguh hanya itu kendala yang harus segera ia cari jalan keluarnya. Selain persyaratan tersebut, jelas ia dapat lolos proses adopsi dengan mudah.

"Bagaimana, Pak?" tanya seorang informan yang bekerja di kantor Dinas Sosial.

Chandra mengerjap bingung. Tatapannya terlihat tidak fokus, napasnya berubah berat setelah mendengar salah satu syarat yang membuat hatinya mendadak nyeri. Menikah, satu kata yang membuat Chandra kehilangan identitasnya sebagai manusia normal. Ia belum bisa, atau mungkin tidak bisa melangkah ke jenjang pernikahan.

"Terima kasih penjelasannya, Bu. Saya pikirkan ulang." Chandra berdiri dari duduknya dan pergi meninggalkan gedung bertingkat itu.

Selama melangkah menuju mobil terparkir, isi kepalanya tak kunjung berhenti untuk memikirkan apa yang harus ia putuskan sebelum semuanya menjadi penuh sesal. Lanjut adopsi dengan syarat menikah? Argh, Chandra mengerang dalam hati dan mengusap wajahnya frustasi.

Andai hubungan asmaranya dulu berjalan sesuai doa yang ia harapkan, mungkin trauma seperti ini tidak akan pernah ia rasakan, atau ... andai ia tidak pernah terlibat hubungan cinta lawan jenis sebelum waktunya, mungkin hidupnya akan lebih baik dari ini. Lagi-lagi ia menyalahkan diri sendiri, padahal ia telah memaafkan dirinya karena terlanjur mencintai seorang hamba sebelum menyingkap pembatas dengan sebuah ikrar suci.

Chandra mengakhiri perdebatan dalam benaknya dengan helaan napas berat. Ia selalu mengingat nasehat sang ibu, jika tidak mampu menemukan jawaban pas, serahkan semuanya pada Sang Pencipta yang lebih tahu tentang setiap hal kehidupan di jagat raya ini, termasuk secuil hati manusia yang mudah terbolak-balik.

***

Meilin melirik jam dan pintu masuk kantin rumah sakit bergantian. Wajah orientalnya nampak resah karena jam praktek pelayanan sesi kedua akan terlaksana lima belas menit lagi, akan tetapi salah satu sahabatnya-Julian Chandra-hingga detik ini belum terlihat di area rumah sakit.

"Udah, Mei. Chandra mungkin makan di luar bareng bokapnya," pikir Bima setelah menyelesaikan jatah makan siangnya. Chandra dan ayahnya-Azzam-itu memang bekerja di rumah sakit yang sama, tapi mereka jarang bertemu karena memiliki jadwal praktek pelayanan yang berbeda. Lagipula jika Chandra tidak ikut makan siang bersama sahabatnya, pasti ia akan memberi kabar.

Meilin mendengkus pelan. Ia menunduk menatap nampan makanan yang belum disentuh sama sekali. "Tuh tuh, dokter Julian Chandra dateng!" ujar Alga menunjuk ke arah pintu dengan dagu. Meilin mengangkat kepalanya penuh gairah. Namun tak lama dari itu mata berbentuk bulan sabit milik Meilin terganti menjadi tatapan penasaran saat melihat sosok Chandra datang dengan wajah penuh beban.

"Kenapa lagi?" tanya Bima melihat wajah teman sebayanya tertekuk penuh rasa bimbang.

Chandra membuka botol mineral yang ia ambil dari meja kasir. Urat di tangannya semakin terlihat bersamaan dengan suara tutup botol berwarna biru tua itu lepas dari tempatnya. Meilin masih setia menatap penuh tanda tanya, sembari menunggu Chandra menenggak minumannya hingga habis setengah.

"Ternyata bener kata Bima, kalau adopsi itu ribet dan prosesnya panjang," dumel Chandra sambil menutup botol dan menaruhnya di meja.

"Nah, 'kan!" seru Bima setelah ucapan tanpa buktinya kemarin ternyata benar.

Emergency Mom [END]Where stories live. Discover now