#03 : Keputusan

436 47 32
                                    

Candra tertidur di atas sajadah yang menjadi alasnya menunaikan salat Subuh. Kini ia terbangun karena Naresha menangis di dalam box bayinya. Segera Chandra bangkit mendatangi sang bayi tanpa melepas sarung bermotif garis itu dan hanya meletakkan pecinya di atas ranjang.

"Morning, Baby!?" sapanya dengan suara sedikit serak. Ia lantas berdeham dan mengulang ucapannya. "Hallo, Sayang! Daddy here."

Bayi itu tetap menangis hingga Eryn membuka kamarnya yang tidak dikunci. Chandra menoleh tanpa menghentikan pergerakannya yang sedang mengangkat tubuh dengan panjang 49 sentimeter itu. "Sini, Mami aja yang gendong! Kamu siap-siap ke rumah sakit sana, paling dia abis ngompol makanya gak nyaman."

Chandra melimpahkan tanggung jawabnya pada sang ibu dengan tatapan penuh haru. "Naresha sama Eyang uti dulu, ya," tutur Chandra.

"Enak aja! Mami gak mau mengakui sebagai cucu, kalau kamu gak punya istri!" sungut Eryn kini meletakkan Naresha di meja beralas kasur tipis. Semalam Chandra mendadak menyiapkan kebutuhan bayi di dalam kamarnya, seperti meja kosong untuk mengganti popok dan yang paling penting ranjang bayi untuk Naresha tidur.

"Mami juga gak enak sama tetangga, Chan. Denger tangisan bayi gini pasti mereka udah gatel pengen tanya ke Mami!" Chandra mengangguk pelan. Senyum tipis tanpa beban membuat ibunya mengerutkan alis.

"Iya, Chandra mau cari istri buat Ibunya Naresha, Mi." Mata Eryn seketika melebar. Ia tidak menduga jika anaknya benar-benar telah membuka hati untuk perempuan lain. Beberapa saat kemudian, ekspresi terkejutnya berubah menjadi senyum lega.

"Akhirnya, kamu bisa melupakan Nahla, Chan!"

"Demi Naresha, Mi. Selama sembilan bulan dia udah berjuang sendiri. Aku juga mau menghargai perjuangannya."

Semalam Chandra berdoa mencari petunjuk di sepertiga malam kedua. Ia melaksanakan salat sunnah dua rakaat dan berdoa sungguh-sungguh dengan kepasrahan yang maksimal. Melimpahkan segala hak hidupnya pada Sang Khalik dengan kesadaran penuh jika segala hal yang terjadi memang sepantasnya ia dapatkan. Selepas semua telah ia curahkan, Chandra kembali tidur.

Sejam setelah ia memejam, adzan Subuh mulai tertangkap indra pendengaran. Chandra membuka mata dan termenung, sepasang netranya menatap nanar langit-langit kamar, entah datang dari mana hatinya seakan ringan mengatakan jika menikah adalah suatu anjuran yang diajarkan agamanya. Jujur saja perasaannya sedikit lega, setelah istikamah mengharap jawaban atas penyakit hati yang lama ia idap. Akhirnya, pagi ini Chandra mendapat apa yang selama ini ia cari.

***

Deretan ruang pemeriksaan dengan dokter spesialis berbeda-beda kini sedang sibuk memberi pelayanan untuk mereka yang mengeluhkan penyakit di dalam tubuh.

Dari poli kandungan hingga poli ortopedi memiliki banyak pasien yang mengantri setiap harinya. Chandra dan dokter spesialis yang lain tidak bisa berkutik di dalam ruangan masing-masing jika jam praktek mereka sedang berlangsung. Bahkan ada juga yang melewatkan jam makan siang karena pasien terlalu banyak mengantri.

Jika sudah seperti itu Chandra dan ketiga sahabatnya hanya menyempatkan diri untuk memberi kabar di grup chat karena tidak bisa bergabung makan siang seperti biasanya.

Meilin melirik jam di tangan. Tak terasa kurang sepuluh menit lagi ia dan para sahabatnya akan bertemu di meja kantin rumah sakit. "Masih ada berapa pasien lagi?" tanya Meilin pada asisten yang membantu.

"Satu lagi, Dok." Meilin mengangguk. Untung saja hari ini poli jantung tidak sedang membludak. Ia memang selalu berharap, semoga semakin hari kesadaran masyarakat tentang peduli kesehatan semakin meningkat, hingga mereka ke rumah sakit hanya untuk berkonsultasi atau cek kesehatan saja.

Emergency Mom [END]Where stories live. Discover now