#16 : Terhubung

280 44 15
                                    

Hari kedua dimana Chandra meliburkan diri. Itu tandanya Meilin tidak melihat Chandra selama dua hari terhitung sejak ia pergi mengunjungi Chandra kemarin. Jangankan bertemu, pesan chatting-nya saja tidak dibalas. Hari demi hari berlalu membuat Meilin semakin sadar, mungkin Chandra memang bukan jodoh yang termaktub di Lauhul Mahfudz.

Siang ini Meilin memutuskan untuk mendatangi undangan Azri yang memintanya ikut bergabung ke sebuah ruang pertemuan karena ada pembahasan tentang operasi pemasangan ring jantung bersama dokter magang di rumah sakit tersebut. Beberapa hari lalu Meilin memang berpesan pada Azri jika ada kegiatan positif ia bersedia untuk berpartisipasi, sekedar menjadi pendengar atau mengurus acara tersebut. Katakanlah, ia sedang berusaha memadati isi otaknya dari bayangan Chandra.

Ternyata berhasil. Siang ini Meilin benar-benar tidak memikirkan bagaimana keadaan Chandra seperti hari-hari sebelumnya.

"Dokter Azri!" panggil Meilin mendekati pria berstatus single parents yang kini sedang sibuk membereskan laptopnya. Semua dokter yang datang mulai pergi meninggalkan ruangan hingga tersisa Meilin dan Azri di sana.

"Makasih, sudah memberi ilmu berharga pada saya," ujarnya tulus.

Azri tersenyum manis. "Sama-sama, padahal kamu juga sudah ahli bedah jantung. Sudah ada pasien koroner yang kamu tangani waktu itu. Kenapa minta diundang di acara ini?"

"Biar makin di luar kepala aja, Dok," jawabnya beralasan. "Tadi juga ada teknik yang belum saya tahu."

Azri tertawa ringan membuat kerutan khas di ekor matanya nampak begitu terlihat. "Kalau ada acara seminar mau ikut juga? Saya ada undangan di aula hotel Immanuel."

Meilin langsung mengangguk. "Wah, mau sekali, Dok. Tapi saya tidak punya undangan."

"Gampang, yang buat acara itu teman saya sendiri kok."

Ekspresi Meilin lega penuh syukur. "Kalau mau tanya-tanya info jelasnya bisa chatting ke saya. Sekarang saya ada janji dengan klien VVIP."

"Ah iya, Dok. Silahkan melanjutkan aktivitas lainnya." Azri hanya tersenyum dan pergi meninggalkan Meilin terlebih dahulu.

"Udah ganteng, sukses, baik pula. Kenapa dulu bisa pisah dengan istrinya, ya?" pikirnya mulai penasaran.

***

Baru saja Bima mendengar kabar jika Nahla telah meninggalkan rumah sakit. Ia langsung memastikan informasi itu pada ketua perawat khusus persalinan. Jika bukan Chandra yang memintanya mencari informasi itu, mana mungkin ia mau repot-repot melakukan suatu hal yang bukan tugasnya.

Bima kembali turun ke lantai bawah setelah memastikan jika Nahla besok sudah tidak ada di rumah sakit. Langkah jenjangnya terhenti sebelum ia belok ke parkiran mobil karena melihat seseorang yang ia kenal.

"Meilin?"

Gadis itu menoleh. "Lo belum pulang?" Meilin menggeleng. Bima melihat jam di pergelangan tangan. Ia hafal jika jadwal Meilin tidak pernah sampai semalam ini.

"Nunggu orang?" tanya Bima.

"Enggak. Aku mau ke stasiun jemput Rara." Adiknya itu akan mengunjungi Meilin selama dua hari bersama Angga. Katanya ada suatu hal serius yang ingin Angga ceritakan pada Meilin.

Bima mengangguk paham. "Nyampek stasiun jam berapa?" tanya Bima.

"Katanya jam sebelas malam. Turun di stasiun Gambir," jawab Meilin.

"Masih ada dua jam. Ngopi dulu gimana? Nanti gue anter sekalian," ajak Bima.

Meilin setuju. Mereka pun pergi menuju caffe di dekat stasiun. Suara klakson kereta api bisa terdengar dari tempat mereka duduk. Bima sengaja memilih tempat itu agar saat Rara sudah sampai stasiun, ia bisa langsung mendatangi mereka di caffe.

Emergency Mom [END]Where stories live. Discover now