Beban Bagi Mereka

380 25 0
                                    

Hasratku membuncah untuk melihat wajah mungil dan mendengar tangisannya.

-Soraya Kusuma-


Aku duduk di salah satu ruangan rumah sakit. Ruangan ini dicat dengan warna putih di sekelilingnya. Ada lemari di pojok ruangan. Sepertinya di dalam lemari itu berisi berbagai macam laporan dan lain sebagainya yang tentu tidak aku ketahui. Aku duduk sambil mengetuk meja berulang kali menunggu kedatangan Gilang yang dari tadi masih ada sesuatu yang diurus. Aku sebelumnya sudah mengatakan padanya akan datang, ini adalah kedatangan di luar dari jadwal kemoterapi.

"Maaf membuatmu menunggu," ujar Gilang sambil melangkah masuk.

Aku berdiri. "Tidak apa-apa. Aku juga baru datang."

"Silakan duduk!" ucap Gilang  sambil melepas jas putih dan meletakkannya di tempat gantungan baju yang tepat berada di belakang kursinya. Aku duduk kembali berhadapan dengannya.

"Apa yang membuatmu datang kemari? Apakah ada sesuatu?" tanya Gilang sambil mengatur posisi duduknya.

Aku menggosok kedua telapak tangan seraya mengatur napas pelan. "Ada yang ingin aku tanyakan. Sepertinya hal ini akan sulit kalau dijelaskan hanya sekadar telepon atau chat."

"Kau ingin bertanya apa? Silakan!"

"Ini berkenaan dengan kemoterapi yang akan aku jalani nanti." Aku menelan saliva dengan susah payah sambil menggosok kedua telapak tangan di bawah meja. "Apakah itu berbahaya bagi wanita hamil?"

"Kemoterapi memengaruhi banyak hal pada diri si pasien. Salah satunya mengganggu kesuburan. Untuk wanita hamil memang tidak disarankan untuk melakukannya, karena itu akan memberi dampak buruk bagi si ibu dan juga bagi si bayi," Gilang menjelaskan dengan cukup jelas. Aku pun mendengarkan dengan saksama.

Baru kemarin aku pergi ke dokter kandungan dengan dibantu oleh Ibu dan Ayah. Dokter memintaku untuk menjaga betul-betul kandungan ini. Karena kandungan yang baru memasuki usia dua bulan ini masih sangat rentan.

Aku sudah sangat bahagia mendengar tentang kehamilan ini. Namun, kini aku dihadapkan pada kenyataan bahwa pengobatan yang akan dijalani dapat memberi dampak yang buruk bagi janin yang ada di dalam rahimku. Aku tidak bisa membiarkan hal itu terjadi.

Hasratku membuncah untuk melihat wajah mungil dan mendengar tangisannya. Walau ada kemungkinan terburuk, yaitu aku tidak akan bisa melihat tumbuh kembangnya.

Kami para kaum hawa memang unik. Kami bisa begitu jatuh cinta pada yang namanya anak, walau tak pernah bersua dan mendengar suaranya. Bahkan cinta itu telah tumbuh jauh sebelum kehadirannya. Memang aneh, tetapi perasaan itu nyata adanya. Rasa cinta itulah yang membuatku mau untuk berkorban. Tak apa menanggalkan kesehatan, demi keselamatan bayi yang kini hidup di dalam tubuhku.

Kutatap perut sambil mengelusnya dengan penuh kelembutan. Sudah bulat mantap keputusan untuk mempertahankan anak ini, resiko apa pun akan aku tanggung.

"Sepertinya pengobatanku tidak dapat kita teruskan, Gilang."

Gilang melepas kacamata dan meletakkan di atas meja, lalu mengalihkan pandangan kepadaku dengan memberi tatapan heran. "Memangnya kenapa?"

"Aku hanya tidak ingin melakukannya. Apakah ada cara lain selain kemoterapi?"

"Sayangnya tidak ada. Obat yang aku berikan sejauh ini hanya untuk meradakan sakit saja. Bukan untuk menyembuhkan, apalagi menghilangkan sel-sel kanker yang sudah menggerogotimu. Kita tidak bisa membiarkannya. Kemoterapi harus tetap berlanjut. Kalau tidak, maka akan berdampak pada kesehatanmu."

Dalam DekapanWhere stories live. Discover now