Keluarga yang Sempurna

260 20 0
                                    

Terdengar deru mesin mobil dari arah depan. "Itu pasti Mama," ucap Dina girang dan beranjak ke teras depan.

Aku segera menyusul Dina dengan setengah berlari. Setelah kami sampai di teras, ternyata yang datang adalah Rey. Kulihat gurat kekecewaan di wajah Dina. Sontak aku tundukkan badan untuk melihat wajahnya lebih dekat.

Rey turun dari mobil dan berjalan mendekat. "Eh, kenapa wajah keponakan cantikku cemberut seperti ini?" tanya Rey kepada Dina.

Aku menengadah untuk menatap Rey. "Dia kira yang datang itu Ariska."

"Dina mau sama Mama." Tangisan Dina pecah.

“Eh, malah nangis. Nanti juga pulang, kok," ucapku menenangkan, tetapi tangisan Dina tak kunjung mereda. Air mata jatuh begitu deras dari matanya, suara yang keluar dari bibirnya juga cukup keras.

"Sekarang aku akan ajak si gadis kecil ini dulu jalan-jalan," ucap Rey.

"Tidak mau ganti baju dulu?" tanyaku.

Rey menggeleng. "Nanti saja, kau lihat air mata tuan putri ini sudah sangat deras." Rey menggendong Dina dan membawanya ke mobil. Lalu mereka pergi ke tempat yang aku sendiri juga tidak tahu ke mana.

🥀🥀🥀

"Aya, maaf aku terlambat," ucap Ariska.

Aku melihat jam di dinding yang sudah menunjukkan jam setengah enam. "Tidak apa-apa. Cuman Dina tadi rewel."

"Sekarang dia dimana?" tanya Ariska sambil mengedarkan pandangan.

"Biasa," jawabku sambil tersenyum. "Kamu duduk dulu!" Aku ajak Ariska duduk di ruang tamu.

"Zian ikut juga?"

"Tidak, dia sedang tertidur sangat pulas di kamar. Siang tadi dia begitu asyik bermain lari-larian dengan anak-anak di komplek ini, pas sudah sore malah kelelahan."

Suara deru mesin mobil terdengar dari luar. Kulihat Rey datang sambil menggendong Dina. Sesampainya di ruang tamu, Rey langsung menurunkannya.

"Mama, tadi Om belikan Dina ini." Memperlihatkan permen kapas berwarna merah muda.

"Rey, terima kasih," ucap Ariska sambil tersenyum.

"Ariska, putrimu ini mewarisi kelakuanmu. Sejak SMU kau selalu merepotkanku dengan segala kelakuan aneh. Sekarang putrimu juga sama. Benar kata pepatah, bahwa buah jatuh tidak jauh dari pohonnya," ucap Rey sambil berjalan mendekat dan duduk di sebelahku.

"Rey!" Ariska meninggikan nada bicaranya.

"Tenanglah! Walau begitu aku menyukai kedatangannya." Rey bersandar di sofa, terdengar nafasnya yang sedikit berat.

“Minggu ini apakah kalian sibuk?" Ariska memberi seuntai senyum sehingga giginya yang berjejer rapi dapat terlihat. "Aku ingin menitipkan kedua anakku. Aku tidak bisa meninggalkan mereka di rumah, karena Gilang hari Minggu nanti ada jadwal praktik," ucap Ariska.

"Aku sudah berjanji hari Minggu akan membawa Aya jalan-jalan, dan hanya berdua saja," balas Rey dengan diberi penekanan pada akhir kalimat.

"Kalian itu pacaran terus. Ayolah, bantu aku!" pinta Ariska.

🥀🥀🥀

Aku sibuk menata pasmina berwarna merah muda yang senada dengan gamis yang sedang dikenakan.

Tok ... tok ... tok ....

"Kenapa dikunci pintunya?" tanya Rey.

"Maaf. Aku lupa."

Usai menyematkan jarum, aku beranjak dari meja rias lantas melangkah mendekati pintu.

"Aaargh! Sakit sekali." Kedua tangan memegang kepala yang terasa sangat sakit.

"Sayang, kenapa lama sekali?" tanya Rey dari balik pintu.

"I-iya. Aku masih bersiap."

Dengan rasa nyeri yang memenuhi kepala, perlahan kubuka pintu dengan susah payah. Usai terbuka aku simpulkan senyum ke arah Rey, berharap setidaknya akan menutupi keadaan yang mendera.

"Ayo, kita berangkat!" ajak Rey.

🥀🥀🥀

Kupandangi jalanan dari balik kaca dengan penglihatan yang kabur. Sakit kepala ini benar-benar menyiksa. Kalau saja tidak berada di samping Rey mungkin aku akan meringkuk karena menahan sakitnya.

"Ada apa denganmu?" tanya Rey yang sedang duduk di balik kemudi.

"Tidak apa-apa."

Setelah dua puluh menit perjalan aku dan Rey sampai di rumah Gilang, kedatangan kami tentu untuk menjemput Dina dan Zian.

Saat mobil mulai dipacu, kedua anak ini menyempatkan melambaikan tangan dan tersenyum ke arah Ariska. Wajah mereka benar-benar lucu.

Terlihat senyum semringah sudah terukir indah di bibir Zian dan Dina sesampainya di Dufan. Syukurlah, sakit kepala yang kurasakan dari tadi juga mulai mereda.

Aku dan Rey selama di Dufan tentu saja menghabiskan waktu dengan naik beberapa wahana bermain yang aman bagi anak-anak. Kami terlihat seperti sebuah keluarga yang harmonis. Sepasang suami-istri dengan dua anak. Mungkin kalau aku dan Rey diberi anak, maka akan melakukan perjalanan seperti ini dengan anak-anak kami. Namun, itu hanya angan. Pada kenyatannya, kali ini kami masih belum diberi kepercayaan lagi untuk menimang buah hati.

"Om, Dina mau naik itu." Menunjuk wahana bianglala.

"Apakah kamu yakin?" tanya Rey sambil mengernyitkan dahi. Dina mengangguk semangat.

Aku dan Rey menaiki wahana yang berbentuk seperti sangkar burung. Aku duduk bersebelahan dengan Zian. Wajahnya terlihat sedikit pucat, mungkin karena takut, sementara Rey duduk diseberangku berdampingan dengan Dina. Wajah gadis cantik berkerudung biru itu terlihat sangat senang.

"Om, Tante, lihat itu!" Dina menunjuk sebuah komidi putar saat bianglala di posisi ketinggian.

“Apakah mau naik itu?" tanyaku.

"Iya. Apakah boleh?" Mata Dina terlihat berbinar.

"Nanti pas kita turun, ya, Sayang," ucap Rey sembari membelai kepala Dina.

Sesuai janji setelah menaiki bianglala, aku dan Rey membawa mereka naik wahana turangga atau yang lebih dikenal dengan komidi putar.

Kami menikmati waktu berputar-putar di atas kuda atau bangku yang berada di bawah terpaaan sinar berbagai lampu yang berwarna-warni sambil sesekali bermalas-malasan di atasnya, karena memang wahana ini dirancang untuk bersantai.

"Habis ini kita naik apa lagi?" tanya Rey.

"Rey, ini sudah sore. Lebih baik kita pulang. Anak-anak juga belum makan. Kasihanilah mereka!" ujarku.

"Dina tidak lapar," tukas Dina sambil berkacak pinggang.

"Benar kata Tante Aya. Kita lebih baik pulang dan makan saja. Kalau Dina mau, nanti Om Rey ajak lagi ke sini," ucap Rey lembut kepada Dina.

Ketika langit menampakkan warna jingga indahnya dengan begitu sombong. Aku dan Rey baru sampai rumah setelah mengantar Zian dan Dina pulang. Hari ini benar-benar melelahkan bagi kami. Aku langsung terduduk lemas di atas sofa ruang tamu. Begitu pula dengan Rey. Suara nafasnya yang berat begitu jelas terdengar ketika dia duduk di sampingku.

🌸🌸🌸

Kali ini aku tampilkan visual Aya. Wanita Indonesia yang punya mata teduh.

 Wanita Indonesia yang punya mata teduh

Йой! Нажаль, це зображення не відповідає нашим правилам. Щоб продовжити публікацію, будь ласка, видаліть його або завантажте інше.
Dalam DekapanWhere stories live. Discover now