Hanya Tuhan yang Tahu

255 22 1
                                    

Entah sampai kapan aku akan bertahan di dalam dekapan Rey, sedangkan aku telah tiba pada dua pilihan, antara dekapan Rey atau dekapan maut.

-Soraya Kusuma-

"Bagaimana pekerjaanmu? Apakah sudah selesai?" tanyaku.

"Tentu belum selesai," jawab Rey dengan santainya.

"Sudah aku duga. Seharusnya kau selesaikan saja pekerjaanmu. Sudah dikatakan bahwa keadaan istrimu yang cantik ini baik-baik saja, tapi kau tetap saja keras kepala memutuskan untuk pulang," ucapku lalu memanyunkan bibir.

Rey terkekeh mendengarnya. "Seharian ini aku hanya akan menghabiskan waktu denganmu. Jadi, hari ini bidadariku ini ingin apa? Mau makan sesuatu?" Rey mengeluarkan ponsel dari sakunya.

Aku menggeleng dengan cepat. "Kau baru pulang dari luar kota. Sepertinya kau juga belum ada ke rumah kan?"

"Iya."

"Kau pasti lelah setelah di perjalanan. Istirahatlah di sana!"

Kutunjuk sebuah sofa yang ada di sudut ruangan yang letaknya tepat di dekat pintu.

"Aku sudah cukup istirahat selama di perjalanan. Kau tidak usah mengkahawatirkanku. Sekarang itu fokus ke dirimu saja, Aya. Aku akan memesan makanan lewat ojek online. Istriku ini dari dulu sangat membenci makanan di rumah sakit," ucap Rey sambil berkutat dengan ponsel yang ada di tangannya.

"Rey jangan lupa--"

"Sambal?" tukasnya. "Tidak akan."

"Rey!" panggilku dengan lembut.

"Kau masih sakit, jangan minta makanan yang pedas!" ucap Rey sambil berjalan ke arah sofa lalu meletakkan tas dan ponselnya di sana. Setelah itu dia berjalan lagi ke arahku. Melepas sepatu, lalu duduk kembali ke atas ranjang.

"Kau ini kenapa?" tanyaku heran usai Rey menggeser  badanku lebih ke tepi.

"Aku ingin rebahan di sampingmu."

Aku menggeleng. "Rey, tidak akan muat."

"Muat, kok," jawabnya sambil merebahkan badan, lalu menarik badanku untuk merebahkan diri juga disampingnya.

Kupandangi wajah Rey dengan nanar, sembari mengusap lembut pundak dan dada bidangnya. Detak jantungnya dapat kurasakan dengan jelas melalui tangan.

"Tidurlah, Aya!" suruh Rey dengan mata yang tertutup.

"Iya," jawabku lemah seraya menatap lekat wajahnya.

Kini ada rasa sedih yang bergelayut di dalam hati. Entah sampai kapan aku akan bertahan di dalam dekapan Rey, sedangkan aku telah tiba pada dua pilihan, antara dekapan Rey atau dekapan maut.

Manakah yang akan menjadi akhir dari cerita ini? Hanya Tuhan yang tahu jawabannya. Hanya satu hal yang aku tahu pasti, bahwa aku begitu mencintai Rey.

Kutenggelamkan tubuh dalam dekpan Rey. Menikmati sebentuk kehangatan yang mungkin tidak akan lama lagi bisa kurasakan. Terlalu nyaman di dekat Rey, membuat mataku yang mengantuk sedari tadi dapat tertutup sempurna, hingga benar-benar larut dalam buaian mimpi.

🥀🥀🥀

Aku terbangun dari tidur, membuka mata perlahan lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dapat kulihat ada dua bungkus kantong kresek di atas sofa. Hal yang membuatku heran kali ini tidak menjumpai keberadaan Rey.

Ceklek!

Aku kira itu adalah Rey, ternyata yang datang adalah Ayah. Melihat kedatangannya, aku langsung bangun untuk duduk lantas menyandarkan tubuh di kepala ranjang.

"Bagaimana kabarmu sekarang?" tanya Ayah.

"Sudah cukup baik," jawabku.

"Ayah sudah dengar semuanya tentang penyakitmu."

"Apa?" Aku begitu terkejut mendengar kalimat Ayah. "Dari siapa Ayah mengetahuinya? Apakah dari Gilang?" tanyaku dengan nada sedikit tinggi.

Ayah menggeleng. "Apakah kamu lupa, bahwa Ayah punya banyak teman yang bekerja di sini? Mereka tentu tidak akan menutupi semuanya dari Ayah. Apakah Rey sudah mengetahuinya, Aya?"

"Yah, berjanjilah kalau kau tidak akan mengatakan semuanya kepada Rey!" ucapku sambil meraih tangan Ayah.

"Kalau kamu tidak bisa mengatakannya, biar Ayah saja yang mengatakannya. Dia adalah suamimu. Dia harus tahu semuanya," ucap Ayah dengan penuh semangat.

"Yah!" Aku tarik Ayah untuk ikut duduk di atas ranjang di dekatku, setelahnya semakin kukuatkan pegangan pada tangannya.

"Aya tidak pernah meminta apa pun dari Ayah. Namun, untuk ini Aya mohon sekali kepada Ayah agar bisa menutupinya! "

Mataku mulai mengembun ketika membayangkan wajah Rey. Sejumput rasa bersalah tentu akan menyerang hati, jika dia sampai mengetahui keadaanku saat ini.

"Kasihan Rey kalau sampai mengetahuinya. Aya ini istri yang tidak sempurna. Bertahun-tahun kami menikah, tapi  Aya tidak bisa memberikan keturunan, ditambah lagi dengan kenyataan ini," ucapku sambil menahan tangis di pelupuk mata.

"Kau pernah hamil, itu berarti kau tidak mandul. Hanya masalah waktu saja sampai kalian diberi anak lagi. Masalah penyakitmu ini kita tidak bisa merahasiakannya. Ayah sangat menyayangimu. Ayah tidak ingin kalau kamu menanggung ini semuanya."

"Yah, Rey sudah banyak berkorban untuk Aya. Untuk kali ini jangan buat dia juga ikut berkorban! Biarkan dia tidak mengetahui semuanya. Sekarang Ayah cukup berjanji untuk merahasiakannya. Aya mohon!" Aku menangkup kedua tangan di depan wajah.

"Iya. Ayah akan melakukannya," jawab Ayah. "Dimana Rey? Ayah dengar dia sudah pulang."

"Dia sudah pulang. Tadi Aya tertidur dengan sangat pulas. Ketika bangun, eh dia sudah tidak ada.  Entah ke mana perginya?"

Ceklek!

"Ayah sudah lama?" tanya Rey sembari berjalan masuk lalu menyalimi tangan Ayah.

"Lumayan. Kau dari mana, Rey?" tanya Ayah.

"Tadi salat Zuhur di musalla yang letaknya di lantai bawah," jawab Rey.

"Ayah akan pulang. Kalian jaga diri baik-baik. Terlebih untuk kamu, Aya."

Ayah mendekat dan mencium keningku. Kulihat air matanya yang jatuh, lalu dengan cepat diseka. Melihat itu tentu rasa bersalah langsung hinggap dihatiku.

"Maafkan Aya!" bisikku.

Ayah hanya memberi seuntai senyum di wajah. Ia lantas beranjak mendekati Rey.

"Rey, aku titip putriku. Jagalah dia dengan baik!"

Dalam DekapanKde žijí příběhy. Začni objevovat