FINALLY

2.2K 286 6
                                    


FINALLY

Jam dinding sudah berdentang sebelas kali. Aku masih duduk malas di sofa kantor. Badanku enggan diajak beranjak, seolah khawatir ide yang berkeliaran di kepala akan buyar bila digerakkan. Mungkin malam ini aku akan tidur di sini saja. Toh, aku punya persediaan pakaian di kantor.

Aku meraih majalah Vogue terbitan terbaru yang tergeletak di meja. Melihat halaman-halaman tebal bergambar iklan, fashion, dan life style dengan fotografi memukau biasanya bisa menyegarkan pikiran dan mata, membuat hati semakin tenang. Belum lagi suara saat membalik-balik lembaran isi majalah yang bisa memberikan efek nyaman di pendengaran.

Jemariku berhenti di halaman iklan jam tangan. David Gandy dengan vintage style-nya menjerat pandanganku. Lama kupandangi wajah model Inggris yang juga desainer itu. Seketika aku membandingkannya dengan sosok David Gandy KW dari desa Brojol.

Tidak banyak kemiripan di antara keduanya selain rahang kokoh, gigi putih rapi, tubuh kekar, dan rambut gelap mereka. Seharusnya kriteria seperti ini sudah lazim di kalangan kaum adam, tidak ada keistimewaan yang berarti. Entah kenapa aku dulu menyamakan Wingko dengan David Gandy. Maksudku, mereka jelas-jelas berbeda, satu lokal dan satunya lagi bule. Mungkin saat itu hanya bayangan David Gandy yang muncul di benakku. Atau mungkin aku memang ngefan sekali dengan pacar Stefanie Mendoros itu. Sialnya, foto iklan ini membuatku semakin merindukan David Gandy KW-ku.

Agar otakku tidak semakin kacau, aku menutup majalah itu dan meletakkan kepalaku di sandaran sofa lalu memejam. Aku berharap bisa tertidur dan saat terbangun aku berhasil melupakan segala hal tentang Wingko Hutomo.

Bukannya tertidur, pikiranku malah melayang ke kejadian siang tadi, saat Arum meneleponku sambil makan siang.

“Tante, kenapa nggak main ke sini lagi?” tanyanya sambil mengunyah makanan.

Aku yang kesal karena banyaknya pekerjaan, perlahan tersenyum. “Tante sibuk banget, Sayang.” Terbit rasa bersalah dalam hati. “Mungkin minggu depan gaun Arum selesai. Nanti langsung Tante kirim, deh,” hiburku dengan nada seceria mungkin.

“Sebenarnya Arum lebih senang ketemu Tante. Kenapa gaunnya nggak Tante bawa aja langsung ke sini. Daripada dikirimin kan enak diantar Tante sendiri.” Aku bisa menangkap kekecewaan dari ucapan anak itu.

“Ya udah, gini aja. Gimana kalau Arum sama Bapak yang main kemari? Sekalian ngambil gaun.” Entah bagaimana ide ini bisa muncul di kepalaku. Padahal kan, niatku hanya ingin menghibur Arum.

Terdengar suara sendok diletakkan di piring. “Arum udah bilang sama Bapak. Selain ketemu Tante, Arum juga bisa main salju. Kata temen Arum, di Jakarta ada salju seperti di Frozen,” ucap Arum diakhiri desahan kesal, membuatnya semakin menggemaskan.

“Salju?” tanyaku yang sedetik kemudian terbayang Winter Wonderland, Sky Ring, Snow Park dan beberapa lainnya. “Oh iya, di Jakarta memang ada banyak tempat untuk bermain salju.”

“Nah, Arum pengin banget main salju.”

Aku manggut-manggut. “Terus Bapak bilang apa?” Setiap mengucapkan kata bapak, ada sensasi gelenyar menggelitik tulangku.

“Nggak mau. Katanya Jakarta itu jauh.”

“Kan bisa naik kereta atau bus?”

“Arum pengin naik kereta. Arum belum pernah naik kereta,” Aku membayangkan anak itu memandang ke atas dengan mata besarnya. Lucu sekali.

“Naik kereta memang asyik banget, lho. Tante juga suka.”

Setelah terdiam sejenak, Arum berkata, “coba rumah rumah Tante dekat, pasti Arum pergi sendiri dengan sepeda. Arum bisa naik sepeda cukup kencang lho, Tente.”

DESIGNING US (COMPLETED)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora