DRESS~c

1.9K 318 11
                                    


Jarak bengkel dengan rumah Wingko tidak terlalu jauh, sekitar lima belas menit berkendara. Itu pun dengan kecepatan motor Honda super cub bututnya. Saking pelannya, aku sampai harus beberapa kali menghentikan mobil untuk menjaga jarak.

Akhirnya kami sampai juga di rumah kecil bercat biru dengan pekarangan luas yang ditanami bunga dan sayuran di depannya. Letak rumah yang di ujung depan kampung abdi, membuat mereka tidak memiliki banyak tetangga. Rumah terdekatnya berjarak sekitar dua ratus meter.

Wingko memarkir motornya di beranda. Tanpa menungguku yang harus memarkir mobil di halaman depan, dia langsung saja masuk ke rumah. Baiklah, setidaknya dia masih punya nurani hingga meninggalkan pintunya terbuka untukku.

Tidak berapa lama kemudian, muncul Arum. Saat melihat tote bag besar di tangan kananku, dia langsung lari menghampiri dan mencium tanganku, lalu mengambil tote bag yang kuulurkan kepadanya.

“Arum kira Tante bohong,” ujar Arum memimpinku memasuki ruang tamu.

Meski kaget dengan ucapannya, kuusahakan sebisa mungkin untuk tidak memperlihatkannya. “Kenapa Arum berpikiran begitu?” Aku berdiri di dekat kursi mengamati ruangan sambil memikirkan ke mana perginya lelaki es itu.

Ruangan itu berukuran sekitar 3 x 4 m² dengan lantai semen yang bersih dan mulus. Aku tidak melihat banyak barang di sini, satu set meja kursi kayu tanpa pelitur, rak model lawas komplit dengan TV. Di sebelah rak ada meja stainless dengan aquarium kecil berisi dua ikan koi di atasnya. Di sisi kanan ruangan ada dua pintu berkorden hijau yang sepertinya menuju kamar tidur mereka. Satu pintu lagi ada di bagian belakang yang semestinya untuk dapur atau kamar mandi.

Meski sudah sepuluh menit aku di sini, tidak ada wanita yang turut menyambutku. Bahkan aku tidak mencium tanda-tanda kehadirannya.

“Bapak yang bilang,” balas Arum dengan polosnya

“Oh...!” Seharusnya aku melanjutkan ucapanku, tapi kemunculan Wingko dari pintu belakang dengan nampan berisi segelas teh membuatku yang semula ingin meluapkan kekesalan, terpaksa menyerah gagal.

Meskipun begitu, kekecewaanku terbayar oleh tindakannya yang memberiku clue bahwa mungkin tidak apa-apa aku mendapatkan nomor teleponnya. Sepertinya tidak akan ada hati tersinggung. Catatan: pacar tidak sama dengan istri.

Kami duduk di kursi dan membuka paket yang memang belum sempat kubuka di rumah. Rupanya Bella hanya membungkus ulang paket itu. Karena setelah membuka plastik terluarnya, kami melihat kardus masih bertuliskan nama butik dan alamat Bella.

Arum dengan cepat membantuku mengambil gunting untuk membukanya. Wajah anak itu seolah melihat bulan jatuh di depannya. Matanya membulat, seperti lupa cara berkedip. Tangannya maju mundur ingin menyentuh gaun. Beberapa kali aku melihatnya menahan napas dengan mulut menganga. Sungguh, menggemaskan.

“Sekarang dicoba dulu, ya. Tadi Tante sudah bawa jarum dan benang untuk bagian-bagian yang kebesaran,” ujarku mengangkat baju yang masih ada tag Disney-nya itu.

Karena waktu yang mepet, Bella tidak bisa membelinya dari Disney langsung. Dia mendapatkannya dari salah satu temannya yang memiliki  online shop.

Di bawah lipatan baju terdapat wig putih yang juga masih rapi dalam plastiknya. “Lihat, teman Tante melengkapinya dengan rambut Elsa juga.”

Aku mengangkat wig itu dan menunjukkannya pada Arum. “Sayang tidak ada botnya. Tapi kamu punya sepatu atau sandal yang sesuai kan, Sayang?” Senyumku lenyap saat membayangkan Arum tidak memiliki sepatu yang cocok.

Sepertinya Arum masih speechless hingga tidak menanggapi pertanyaanku. Anak itu sibuk menempelkan gaun lengan panjang itu ke tubuhnya, membuatku terharu dan menyuruh dia untuk segera memakainya.

Dua menit kemudian, Arum sudah cantik berbalut gaun icy blue berbahan satin dengan hemline biru bergambar garis es berkilat. Gaun sepanjang sepuluh senti di bawah lutut itu dilengkapi jubah putih berbahan tile yang penuh glitter berkerlip. Untuk menyempurnakannya aku memakaikan wig putih di kepalanya. Lalu menyuruhnya menghadap cermin dan memandangi penampilannya.

“Ini seratus kali lebih bagus daripada punya Manda, Tante,” teriaknya dari dalam kamar yang sesaat kemudian keluar dan berdiri di hadapan kami.

Sekilas kulihat wajah Wingko yang juga sama terkesimanya––tapi tidak mau mengakui.

“Benarkah?” Aku pura-pura terkaget.

“Iya, beneran. Malah Manda nggak memakai rambut Elsa ini.” Arum masih asyik dengan tangan menyelisik setiap inci wignya. Melihat anak itu mengingatkanku pada masa kecilku saat Ibu membelikanku baju baru.

“Gimana kalau besok Tante antar kamu ke kota beli sepatu?” Sayang kan, penampilan keren begitu kalau harus rusak karena sepatu yang tidak sesuai?

“Aku bapaknya,” ucap Wingko dingin, seolah takut tidak dianggap. Aku yakin dia sudah menahan kekesalannya lama hingga tidak tahan lagi untuk meluapkannya.

“Maaf. Aku tahu, tapi kamu kan repot. Jadi biar aku aja yang mengantarnya,” balasku senetral mungkin. Meski dalam hati sedikit kesal karena dia tidak memberiku pujian, walapun sekadar basa-basi.

“Harga semua itu berapa?”

“Harganya murah, kok. Nggak usah diganti,” jawabku penuh antisipasi.

Jika dia tahu harga aslinya, aku takut dia akan marah karena merasa kemahalan. Aku tidak bermaksud meremehkannya, tapi jumlah segitu bukan jumlah kecil, terutama untuk pekerja desa seperti dia.

“Kami ndak menerima belas kasihan. Saya masih bisa menghidupinya dengan jerih payah saya sendiri,” ucapnya ketus. Ketidaksukaannya padaku semakin mengental.

“Anggap saja hadiah ulang tahunnya.”

“Berapa? Katakan atau kamu bawa pulang saja.” Sekarang mata hitam itu menatapku tepat di mata.

“Iya, sebentar. Aku mau benahin ini dulu,” Aku mencari alasan dengan menyelisik gaun yang dipakai Arum untuk melihat bagian mana yang perlu dibenahi.

Dalam hati aku berharap dia melupakan masalah harga tadi. Setelah menyuruh Arum melepas gaunnya, aku menyiapkan jarum dan benang.

Saat aku sibuk menjahit, Wingko berbaik hati ikut membereskan kotak paket dari meja. Ternyata dari situlah malapetaka terjadi. Selembar kwitansi yang belum sempat kuselamatkan jatuh tepat di depannya. Sontak, lelaki itu langsung memungut dan membacanya.

“Apa? 600 ribu? Untuk baju begini?” pekiknya seperti orang kemalingan.

“579.900. Tapi ini kan, original.” Mengabaikan hatiku yang berdegup kencang, aku berusaha membuat suaraku setenang dan sesantai mungkin. Dalam hati berdoa semoga emosinya segera mereda.

“Oh, saya lupa kamu orang kota dan... kaya.”

Aku mau menjawab, tapi dia meneruskan kalimatnya. “Hal sebaik apa pun kalau ndak sesuai tempatnya, akan berubah menjadi keburukan,” ucapnya parau dan dalam.

Aku merasa tertampar, tapi tidak mau terlihat bersalah. “Gimana kalau kita nggak usah ngebahas ini sekarang.” Aku melihat Arum menyaksikan kami. Hal ini membuatku merasa bersalah kalau harus bertengkar dengan bapaknya hanya gara-gara pakaiannya.

“Tapi apa kamu tahu jumlah itu seberapa berartinya buat kami? Apa kamu berpikir itu sesuai dengan kami?” ucapnya semakin dalam dan dingin.
“Saya tahu posisi kamu tanpa harus menunjukkan posisi itu pada saya berulang-ulang.”

“Sudah kubilang ini hadiahku buat Arum.” Aku mulai jengkel.

“Dia ndak perlu hadiah dari priyayi sombong kayak kamu.”

Aku memejam, mengambil napas dalam dan mengembuskannya pelan agar emosiku tidak terpancing. “Anggap aja aku balas budi karena kamu sudah sering menolongku.”

“Jujur aku kecewa. Setelah selesai, tolong pergi dan jangan menganggu kehidupan kami lagi. Tolong.” Dia mengambil dompet dari saku celananya lalu menarik semua uang didalamnya dan menaruhnya di hadapanku.

DESIGNING US (COMPLETED)Where stories live. Discover now