MISHAP~b

2.5K 377 18
                                    

Saat aku mulai putus asa dan menangis dengan tubuh basah berkeringat karena melambai dan berteriak, sebuah motor butut menepi dan mendekat ke arahku.

Tuhan, aku bermasalah dengan mobil. Apa yang bisa dilakukam motor bebek jadul model tujuh puluhan begitu?

“Mogok?” tanya pengendara motor itu masih nangkring di joknya, tiga meter dariku. Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena memakai helm. Tapi dari postur tubuh dan suaranya, dia laki-laki.

Sudah tahu masih bertanya. Aku memutar mata. Itu basa-basi, Mara! “Oh, iya nih,” lalu aku merasa tidak ada salahnya bertanya padanya. “Mas tahu bengkel dekat sini?”

Sedetik kemudian aku merasa ada yang salah dengan pertanyaanku. Kata “tahu” itu bisa bermakna negatif bagi yang ditanya karena kalau tidak tahu, orang itu akan merasa malu atau direndahkan. Seharusnya aku bertanya, ada bengkel mobil di dekat sini nggak, Mas?

“Ya tahulah. La wong saya orang sini.”

Telat, lelaki itu sudah menjawab pertanyaanku sebelum aku sempat meralatnya. Semoga saja dia tidak tersinggung. Orang itu turun dari motor dan mendekati kap mobilku yang terbuka.

“Syukurlah,” gumamku, “tadi keluar asap dari situ,” aku menunjuk mesin mobil, “jadi aku mematikan mesinnya,” sambungku. Semoga dia paham soal mobil.

“Sepertinya, radiator bocor,” gumamnya sambil menganalisis mesin mobil di depannya.

Aku mendekat ke arahnya, berhenti beberapa jengkal di belakang punggungnya yang lebar, bahu kokoh serta otot lengan bertonjolan. Aku tidak bohong! Dengan  bantuan lampu jalan yang kebetulan tepat di atas kami, aku bisa melihat semua itu. Apalagi dia memakai kaus pendek slim fit. Saat aku maju sedikit lagi, mataku terjatuh pada lengannya yang liat, gelap, berbulu, dan... veiny.

“Gimana?” Pertanyaanya mengagetkanku sekaligus membuatnya memergokiku yang sedang menghitung pembuluh vena di lengan bawahnya.
Tentu saja hal ini membuatku tersipu dan langsung menundukkan pandangan.

Aku berharap dia mengulangi ucapannya. Saking sibuk memperhatikan lengan, aku tidak mendengarkannya tadi. Setelah beberapa detik kecanggungan, aku mendongak padanya––dia tinggi sekali.

“Apanya, Mas?” Aku memberanikan diri bertanya. Kali ini kupastikan mataku tidak mengarah pada lengannya.

“Apanya apa?” ada nada kesal di suaranya, “tadi saya bilang, gimana kalau dibawa ke bengkel saja dulu. Kebetulan bengkel teman saya hanya seratus meter dari sini. Saya bisa memanggilnya ke sini kalau mau,” ulangnya dengan tatapan dingin padaku.

Kalau tadi aku sempat terpana dengan lengannya, itu belum seberapa. Ternyata wajahnya sepuluh kali lebih menarik daripada lengan. Matanya besar dengan alis hitam seperti ulat bulu. Di bawah hidungnya yang proporsional dengan tulang pipi tinggi, ada sebaris kumis tipis yang menambah daya pikat bibirnya yang tebal. Rahangnya yang kokoh dan lebar dihiasi rambut pendek dua-hari-tidak-dicukur.

Oh ya, rambutnya berombak menutupi telinga yang bagian depannya selalu terjatuh ke dahi setiap kali dia menyibakkannya ke belakang. Sekilas mirip David Gandy muda dengan kearifan lokal.

“Masalahnya ada di mobil atau saya?” Lagi-lagi aku tertangkap basah. Sepertinya dia jengah karena kupandangi terus menerus tanpa kedip.

“Oh, oke. Biarin aja,” jawabku asal di tengah usaha menutupi malu.

“Ndak usah dibawa ke bengkel? Ya sudah, ditepikan saja. Kasihan kendaraan yang lewat.” Kali ini suaranya ketus, keramahannya tadi lenyap tak bersisa. Mungkin dia sadar aku tidak sepenuhnya memperhatikan ucapannya.

DESIGNING US (COMPLETED)Where stories live. Discover now