STAY~a

1.8K 301 9
                                    


STAY

Mungkin karena semalam kebanyakan minum, pukul setengah tiga aku terbangun ingin kencing. Biasanya aku selalu tidur pulas sampai pagi––ini satu-satunya kelebihanku yang membuat Bella iri.

Bayangkan saja, teh dan kopi masing-masing segelas. Masih ditambah dua gelas air putih. Yang terakhir aku minum bukan karena haus, melainkan untuk menutupi kecanggungan saat Wingko membantu membawa kopor dari mobil dan menyiapkan kamarnya untukku.

Kamar Wingko kecil tapi rapi. Tidak banyak perabot di sini. Hanya lemari dua pintu model lawas, meja kecil yang di atasnya ada bola lampu bekas berisi tanaman sirih gading dalam rendaman air. Akarnya yang panjang menggumpal menandakan tanaman hias pembersih udara itu sudah tumbuh lama di situ. Mungkin airnya bening karena setiap hari diganti.

Di belakang pintu ada gantungan pakaian yang terbuat dari kayu yang menempel di dinding dengan jaket jeans tergantung di situ. Di dinding yang lain tertempel foto hitam putih lelaki sepuh berkopiah yang dibingkai kayu cokelat berulir, sepertinya bapak Wingko.

Yang paling membuatku penasaran adalah ukuran tempat tidurnya yang single. Oke, kalau dia memang jelas-jelas single tanpa anak, mungkin aku tidak mempermasalahkannya. Tapi dia itu bapak. Otomatis pernah.... Ya, begitulah.

Karena satu-satunya kamar mandi hanya di dekat dapur, mau tidak mau aku harus keluar kamar. Oh ya, semalam aku menuruti saran Wingko untuk mengunci pintu. Tapi ide kunci inggris itu tentu saja aku tidak melakukannya. Sudah seperti apa saja.

Sambil jalan, aku melihat kursi ruang tamu yang kosong. Hanya ada bantal di situ, tanpa Wingko.  Belum sempat berpikir lebih jauh, aku mendengar suara orang memasak yang tentu saja bersamaan dengan aroma masakan.

Lampu di dapur menyala terang.
Perlahan aku melangkah ke dapur. Hal pertama yang tertangkap mataku tentu saja bukan masakan, tapi sosok bersarung dengan kaus putih tanpa lengan. Ya ampun, saking terkesimanya, aku hampir kencing di celana. Apalagi saat mataku tersesat di tricepnya yang cokelat berlekuk, aku harus menelan ludah berkali-kali. Cepat, aku berlari ke kamar mandi sebelum mengompol di depannya.

Setelah keluar dari kamar mandi dan merasa lebih tenang, aku menyapanya. “Apa jam di ponselku salah, ya?” Mataku mengedar ke dinding dapur yang memang tidak ada jam dindingnya.

Wingko menolehku dengan dahi mengerut tipis. “Memangnya di ponselmu jam berapa?”

Tanpa ragu aku menyebutkan waktu
yang tertera di ponsel tadi.

“Ya, memang jam segitu.”

“Dan kamu memasak untuk sarapan besok?” Aku menyandarkan tubuh pada kusen pintu bersedekap.

“Nanti, bukan besok. Sekarang sudah hampir pagi,” ralatnya seraya tersenyum tipis. “Mengganggu tidurmu, ya? Padahal saya berusaha ndak berisik lho. Atau kamu memang lapar?”

Tanganku menutupi mulutku yang tersenyum. “Aku bangun bukan karena lapar atau bising. Aku bisa pastikan itu.”

“Ya aku tahu. Orang kota sudah terbiasa dengan yang begituan.” Tangannya menyibakkan rambut depannya yang jatuh ke dahi.

“Orang kota lagi... orang kota lagi.”
Dia tertawa. “Ya sudah, balik tidur sana.”

“Hanya gitu? Tanpa penjelasan logis?”

“Penting, ya?”

Aku hanya memutar mata, tidak ingin menanggapinya.

“Tapi kalau kamu terlalu lama di sini, saya khawatir kantukmu akan hilang dan kamu ndak bisa tidur nyenyak lagi,” ucapnya dengan tangan sibuk menggoreng tempe dan tahu.

DESIGNING US (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang