CLOSER~c

1.7K 285 13
                                    


Arum sudah berangkat sekolah. Setelah membereskan dapur, aku membawa segelas teh ke kamar Wingko. Sampai pintu aku melihatnya sudah terbangun. Dia duduk di pinggir ranjang, seolah hendak berdiri. Cepat kutaruh teh di meja dan menghampirinya.

“Kamu mau ke mana, sih? Kenapa nggak manggil aku?”

Wajah dan rambut Wingko basah berkeringat. Aku lega saat memeriksa keningnya sudah tidak demam lagi.

Semalam dia memintaku membuat sambal bawang putih––tentu saja dia mengajari caranya––lalu memakannya dengan nasi panas dan segelas teh manis yang juga panas. Setelah itu dia minum paracetamol dan tertidur pulas hingga sekarang.

“Hei, aku bukan pasien rumah sakit, berhentilah jadi perawat,” ujar Wingko mesam-mesem.

Otomatis aku mundur dan menunduk. “Maaf.”

Dia mengintip wajahku. “Kamu kenapa, sih?”

“Apa?”

“Kamu kok jadi gampang banget tersinggung, gini? Mana kamu yang keras kepala itu?” Dia memegang tanganku, seolah mencari pegangan.
“Aku mau ke kamar mandi.”

Kenapa sih, dia tidak pernah memanggilku dengan nama? Hanya kamu dan hei.

Dengan senang hati aku memeganginya yang sepertinya belum pulih benar. Atau sebenarnya dia sudah pulih karena aku tidak merasakan beban di tanganku. “Ya sudah, sekalian sarapan di dapur,” usulku sambil berusaha meredakan suara yang berkecamuk di hati.

Kami jalan bersisian.
Dia menolehku dengan ekspresi tidak percaya. “Kamu masak?”

Aku mengangguk. “Iya,” jawabku bersemangat, tapi saat membayangkan rasanya, semangat itu lenyap seketika. “Aku tahu rasanya pasti....” Aku menggigit bibir bawah.

“Bukan itu maksud saya.” Wajahnya menunjukkan ketidakenakan. “Kamu kenapa sih, sensitif banget? PMS?”

Aku hanya diam saja.

Setelah sampai di dapur dia meletakkan ponselnya di meja lalu berusaha mengambil panci yang tergantung di tembok.

Aku membantu mengambilkannya. “Kamu mau ngapain, sih? Nggak mau makan masakanku? Aku tahu emang....

“Hei. Saya mau makan,” selanya cepat. “Tapi saya pengin mandi dulu. Biar enak di badan, pakai air panas.

“Oh,” kukira dia mau memasak, “ya sudah, bilang aja. Biar kurebusin.”

“Tapi...?”

“Kamu mau bilang orang kota nggak bisa masak air?” Aku memutar mata.

“Nah kan, saya kena lagi.” Dia memukul jidatnya.

Setelah air cukup panas, dia pergi mandi. Katanya mandi keramas dengan air hangat bagus untuk orang yang habis sakit

Sambil menunggu dia mandi, aku menyiapkan sarapan untuk kami berdua. Saat bilang memasak, sebenarnya aku hanya menanak nasi, lalu membuat sambal bawang (yang caranya kupelajari semalam), mi instan goreng, dan telur ceplok. Ini juga aku mengerjakannya dari pukul empat dini hari.

Sebenarnya aku ingin membuat bubur, makanan yang tepat untuk orang sakit. Masalahnya jangankan YouTube, untuk Google saja sinyalnya hanya muter-muter.

Ponsel Wingko berbunyi. Kulihat di layar ada nama Kang Wawan.  “Hei, ada telepon. Aku antarin ke situ, ya?

“Siapa?” tanyanya dari dalam kamar mandi.

“Kang Wawan.”

“Angkat aja.”

“Nggak, ah. Malu.”

DESIGNING US (COMPLETED)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant