HER~c

1.6K 288 8
                                    


Pukul satu dini hari aku terbangun karena tenggorokanku terasa kering dan sakit untuk menelan. Mungkin menu makam malam tadi yang banyak gorengan atau jangan-jangan aku terkena panas dalam atau gejala flu. Ditambah nyeri di kaki, rasanya semua ini seperti hukuman karena aku sering berbohong. Dan menguping.

Aku terpincang-pincang melintasi ruang tamu yang hanya diterangi lampu lima watt. Kursi panjang, tempat tidur Wingko kosong, sama seperti malam sebelumnya. Bedanya, sekarang masih pukul satu dan dapur gelap gulita. Ke mana orang itu?

Aku melangkah ke kamar Arum tapi tidak menemukannya. Sambil terus mencoba menenangkan pikiran tentang kejadian tadi, aku berjalan ke dapur.

Mungkin lelaki itu keluar mencari angin sebentar, pikirku.

Saat lampu dapur menyala, kutemukan lelaki itu duduk bergeming di kursi makan. Wingko kebetulan menghadap pintu, tempatku berdiri. Anehnya, dia tidak menyadari kehadiranku, bahkan nyalanya lampu. Lelaki itu tenggelam dalam gelembungnya sendiri. Matanya menatap nanar ke meja kosong di depannya.

“Hei,” sapaku setelah mendekatinya.

Dia terkaget. Seperti orang yang tiba-tiba dibangunkan dari tidur nyenyak.  Matanya berkedip-kedip lalu mengedar ke kanan-kiri. Hampir dua menit, baru dia melihatku dengan normal, meski tanpa suara.

Aku melambaikan tangan sebentar. “Orang kota haus, pengin minum,” candaku seceria mungkin.

Dia tersenyum getir, masih tanpa kata-kata. Wajah gelapnya diliputi keresahan.

Setelah menuang segelas air, aku duduk di seberangnya dengan kedua tangan di meja memeluk gelas. “Mau masak sekarang? Bukannya panen udah kelar?”

Dia mengempaskan punggungnya ke belakang. “Makasih hiburannya.” Suaranya tersekat dan semakin parau.

“Makasih udah ber-positive thinking. Senang mendengar sapaan garingku bisa menghiburmu. Akhirnya orang kota ada gunanya juga.”

“Kamu ndak tanya kenapa?”

“Kalau kamu balik tanya apa urusanku, gimana?” Aku mengigit bibirku

“Kamu kan, orang kota?” Suaranya mulai mencair.

“Yang nggak pernah kepo sama urusan orang.”

“Yang sekalinya kepo, pasti keterusan.”

Kami tertawa garing.

“Kopi?” Ini satu-satunya cara agar aku tetap di sini. Mungkin aku tidak bisa membantu, tapi aku akan di sini menemani dan mendengarkannya.

Mata hitamnya mengerling. “Emangnya orang kota bisa bikin?”

“Bisa, selama ada asisten, sih. Sayangnya,” aku mengangkat bahu, “di desa ini asistenku nggak berfungsi.”

“Terkutuklah kau, Google.”

Kami tertawa lagi.

Akhirnya Wingko beranjak membuat kopi dalam diam. Dia kembali larut dalam gelembungnya. Bahkan saat air sudah mendidih pun dia tidak memperhatikannya. Yang dilakukan hanya mengaduk-aduk bubuk kopi dalam stoples kaca.

Aku bangkit mematikan kompor dan merebut stoples. “Ayo, Bosku, ajari orang kota bikin kopi.” Aku harus menghidupkan suasana.

Dia menatapku. “Satu sendok bubuk kopi dan sesendok gula. Buat kamu gula setengah.” Astaga, matanya basah.

“Nuang airnya, gimana?” tanyaku memandangi teko alumunium di kompor. Percayalah, aku pura-pura agar dia kembali ke masa sekarang.

Dia menggeleng cepat, seperti ingin benar-benar terjaga. “Bisa langsung dituang.”

“Bukannya harus pakai teko leher angsa?”

“Sudah tahu kenapa tanya?”

“Menurut kamu, kenapa?” Aku menuangkan air ke dalam teko leher angsa sebelum menyiram bubuk kopi dan gula di gelas. “Silakan menunggu di meja, Bosku.”

“Hei, pelan-pelan. Menyeduh kopi harus perlahan, agar karakter kopi keluar.”

“Seharusnya kamu ngajari aku langkah-langkahnya dari awal, bukan sepotong-sepotong begini,” keluhku mencoba menarik perhatiannya.

Dia mengambil sendok kecil lalu mengaduk kopi kami. “Lain kali, kita niatin dari awal, ya? Membuat kopi tubruk sungguhan. Mulai menyangrai, menggiling, hingga menyajikannya, gimana?” Dia membawa dua gelas itu ke meja.

Aku mengekornya lalu duduk di tempat semula. “Janji dibuat untuk ditepati kan, Bosku?”

“Atau diingkari?” ucapnya sinis.

“Itu namanya jahat.” Aku memutar mata.

Suasana kembali hening. Dia termenung lagi. Ya ampun, sebesar apa sih, masalahnya?

“Saya yakin kamu penasaran siapa perempuan tadi, kan?” tanyanya setelah hampir dua menit bergeming.

“Ngaku nggak, ya” godaku.

“Dia itu...,” kalimatnya terhenti, seolah apa yang akan dikatakannya itu sangat berat. “Gimana nyebutnya, ya?”

Bibirku membentuk garis lurus. “Kalau nggak yakin ya, sebaiknya nggak usah diceritain. Simpan aja,” kataku selembut mungkin sambil memajukan badan untuk mengelus punggung tangannya yang tertumpuk di meja.  “Ada beberapa hal yang melegakan kalau diceritakan pada orang lain. Tapi ada juga yang sebaliknya.”

Dia terdiam lagi. Kali ini sekitar dua menit. “Dia... ibu Arum.”

Sebisa mungkin aku menyamarkan keterkejutanku. “Mau menengok anaknya?” tanyaku sangat hati-hati, seolah kata-kataku itu pedang yang bisa menyakitinya kalau tersenggol sedikit saja.

“Mau minta naikin jatahnya.” Dia membenturkan kepalanya ke telapak tangan hingga membuatku ikut gelisah.

“J-jatah...?” Aku bingung, antara ingin tahu dan takut menyinggungnya.

Dia mengangguk, lesu. “Iya, semacam uang bulanan, begitu.

Aku semakin canggung. “Kalian belum... bercerai, ya?” Jemariku membentuk tanda kutip pada kata bercerai. Bagaimana pun juga ini privasi dia.

“Kalau ndak nikah emang bisa cerai?” Ada getaran aneh di wajahnya. Kurasa dia terlalu gundah untuk menutupinya.

“Oh, sorry.” Semuanya di luar dugaan, membuatku semakin bingung menanggapinya. “Ada yang bisa aku bantu?” tanyaku diplomatis.

Dia menggeleng. “Makasih supportnya,” dia menatapku lurus, lagi. “Btw, semuanya ndak seperti bayanganmu,” tambahnya setelah jeda sesaat.

DESIGNING US (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang