DRESS~b

2K 316 21
                                    


Aku bertemu Bella pada tahun kedua di Esmod. Saat itu kebetulan kami tergabung dalam tugas bersama. Merasa banyak kecocokan, setelah tugas selesai pun, kami masih terus bersama. Bahkan sampai memenangi beberapa lomba dan akhirnya membuka usaha.

Satu hal yang kusuka dari gadis itu adalah loyalitasnya. Sekesal apa pun denganku, dia tetap saja mau bersusah payah menuruti keinginanku, bahkan yang absurd sekalipun. Dia pernah mengantre seharian di tengah hawa dingin London hanya untuk sebuah Supreme waist shoulder bag pesananku.  Padahal saat itu liburannya hanya lima hari.

Sebagai gantinya, aku juga sebisa mungkin memahami dan membantu menyelesaikan pekerjaannya yang sering terbengkalai saat dia liburan atau mengunjungi saudaranya––dua bulan sekali––yang sepertinya menyebar di seluruh dunia.

Begitu pun dengan gaun Arum ini. Dia memarahiku habis-habisan karena sudah dengan bodohnya menceburkan diri ke lingkungan yang seharusnya kuhindari demi kenyamananku. Tapi saat itu juga dia meminta bantuan beberapa pihak untuk mendapatkan gaun Elsa Frozen original secepatnya. Aku selalu terharu saat mengingat kebaikannya.

Paket berisi gaun itu datang sore tadi, bertepatan saat Bude di kamar mandi, jadi aku tidak perlu menjelaskan apa pun kepadanya--satu hal lagi yang pantas kusyukuri. Namun karena masih menggambar, aku tidak bisa langsung mengantarkannya. Aku terbiasa menyelesaikan satu sketsa dalam satu waktu atau ideku langsung kacau.

Baru setelah makan malam aku bisa meluncur ke bengkel Wingko.
Sial, hingga sekarang dia belum mau memberiku nomor teleponnya.

Dengan profesi dan penampilanku, tentu saja aku cukup sering bertemu cowok menarik, tapi tak satu pun semenyebalkan Wingko. Mereka dengan mudahnya memberiku kontak mereka dan mem-follow akun media sosialku, bahkan seringnya mereka yang meminta kontakku duluan.  Jadi tidak berlebihan saat aku menganggap Wingko itu jual mahalnya memang kemahalan.

Di sini aku sekarang. Duduk menyedihkan di bangku bambu sambil membaca How To Fall In Love-nya Cecelia Ahern. Oh, aku tahu ini novel lama. Tapi tahu tidak, aku membeli ebook ini sejak dua tahun lalu saat diskon 30% dan baru sempat membacanya sekarang. Terima kasih Desa Brojol yang telah memusnahkan internet.

Setiap mendapat satu halaman, aku berhenti untuk menatap punggung Wingko yang fokus dengan pekerjaannya. Dalam hati berharap dia menolehku dan tersentuh dengan perhatianku. Nyatanya hingga dapat lima belas halaman, dia tidak juga menoleh, membuatku merutuki diri karena sudah berpikiran sebodoh itu.

Saat aku mulai fokus pada adegan Cristine mencebur ke danau untuk mendapatkan daun teratai buat Adam, tiba-tiba Wingko bersuara. “Sudah saya bilang berapa kali? Katakan harganya biar saya ganti lalu tinggalkan barang itu di situ.”

Aku menatap punggungnya. “Oh, kukira kamu sudah lupa kalau aku di sini.”

“Mau kamu apa sih?”

Bagaimana aku berharap bisa memutar leher orang itu agar melihatku. “Aku mau ketemu Arum. Kurasa aku sudah mengatakannya dua kali.”

“Kan sudah saya bilang dua kali juga kalau saya akan lembur sampai malam. Jadi taruh pakaian itu di situ nanti saya kasihkan padanya.” Tangannya masih sibuk bergelut dengan mur dan baut motor.

Aku memutar mata. “Ya, sudah. Kasih saja alamatmu padaku, biar aku ke sana sendiri.”

Oh ya, aku hampir lupa. Kemarin lusa, saat di pasar bersama mereka, aku mendapat telepon dari Bude yang menyuruhku segera pulang karena ada sahabat ibuku satu lagi ingin bertemu. Dua hari berikutnya aku disibukkan dengan arisan bude dan sketsa rancangan yang harus kurampungkan sebelum pulang ke Jakarta Minggu depan. Jadi aku tidak bisa mencari tahu alamat mereka.

“Kamu ndak percaya sama bapaknya?” Akhirnya dia menghentikan pekerjaannya dan menolehku. Aku tahu ini terlalu dini untuk mengumumkan kemenangan.

“Bukannya begitu,” aku mengambil napas untuk menstabilkan emosi, “baju ini kan, ready to wear, bukan customize. Jadi masih ada kemungkinan nggak pas di badan Arum,” jelasku sesederhana mungkin.

“Bukannya kamu pernah melihat anaknya langsung?” dia kembali ke pekerjaannya, sehingga memunggungiku lagi. “Lagipula, bisa dilihat dari umur juga, kan? Selama ini kami selalu begitu.”

Aku memejamkan mata sejenak. “Tapi pabrik membuatnya berdasarkan ukuran standar saja. Sedangkan tubuh anak-anak itu nggak bisa digeneralisasi begitu. Ini gaun. Bukan kaus.” Aku bingung bagaimana menjelaskan ukuran pakaian kepada mekanik.

Dia mendengkus. “Ayolah. Kamu mengatakan seolah baju anak lebih ribet daripada utang piutang.”

“Karena pekerjaanku  di bidang pakaian, jadi aku nggak bisa mengabaikan semua itu.”

“Tapi perlu kamu ketahui saya ndak tertarik untuk mempekerjakanmu.”

“Aku ingin membantu.”

“Tapi yang kamu lakukan malah ngerepoti saya.”

“Kamu––” Ucapanku dipotong si Kang yang tiba-tiba muncul dari rumah.

“Sudah, sudah. Kalian seperti remaja saja,” ucap si Kang sambil geleng-geleng lalu menatap Wingko. “Ko, sekarang sudah jam tujuh. Kamu pulang aja. Kasihan Arum sendirian di rumah.”

“Tapi ini belum selesai, Kang,” Mata Wingko masih fokus pada mesin motor di hadapannya.

“Besok aja dilanjutin. Motor itu ndak buru-buru, kok.” Si Kang bersedekap memandangi pekerjanya yang menyebalkan itu.

Wingko mengangguk lalu berjalan menuju gudang. Dia dengan cueknya melepas seragam bengkelnya hingga menyisakan celana jeans biru yang dipotongnya sedengkul dan kaus lengan pendek yang lagi-lagi model slim fit. Bergegas aku menyelamatkan mataku dari lengannya.

Dia menggantungkan seragammya di dinding lalu dengan sombongnya melangkah menuju motor bututnya dan menjalankannya. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun untukku.

Buru-buru aku membereskan barang dan berjalan menuju mobil, mengikutinya dari belakang. Lelaki Kampung Yang Sombong. Sudah seperti judul sinetron, belum?

Happy reading, Manteman. Makasih, dah mau baca cerita receh ini🙏
Stay safe and healthy

DESIGNING US (COMPLETED)Where stories live. Discover now