HIM~b

2.1K 332 13
                                    


Saat setuju membarengiku ke kota, kukira kami akan menggunakan pick-up butut. Ternyata salah. Dia memboncengku dengan motor. Meski bukan motor semalam, tapi tetap saja tidak senyaman motor ojek online di Jakarta.

Motor itu buatan China yang namanya dimirip-miripkan buatan Jepang, Jupiter menjadi Zupiter. Suara knalpotnya berisik hingga memekakkan telinga. Joknya tipis dan miring hingga kamu tidak bisa duduk tenang. Satu lagi, sopirnya galak, dingin, dan bau oli.

Satu-satunya hiburanku hanya memandangi punggungnya yang lebar dan sekali-sekali mengira-ngira nama lengkapnya supaya aku bisa mencari akun media sosialnya. Yah, meskipun aku tidak begitu yakin dia punya akun media sosial, sih.

Meskipun begitu, aku bersyukur sekali bisa mengambil uang tunai yang lumayan cukup dan sekarang sudah dalam perjalanan pulang. Kami bisa mencapai kota lebih cepat karena tidak melewati jalan raya, melainkan jalan pintas pinggir hutan.

Entah karena lebih cepat saja atau ada alasan lain semacam motor kosong atau dia tidak membawa SIM, aku tidak tahu. Dia tidak berbicara apa-apa selama perjalanan.

Aku pun berusaha keras untuk tidak komplain dengan segala kepayahan ini. Termasuk untuk wajah kusam dan kaus Anna Sui-ku yang  penuh debu dan bau asap.

“Apa anda selalu menempelkan badan anda pada orang yang membonceng anda?” tanyanya setengah berteriak, mengimbangi bisingnya knalpot motor.

Aku terenyak dan langsung sadar, ternyata tubuhku memang hampir (sekali lagi, hanya hampir) menempel dipunggungnya. Sebenarnya hal ini sudah kuantisipasi sejak keberangkatan kami tadi.

Menurutku, ini bukan kesalahanku, melainkan jok motor yang terlalu miring dan licin hingga membuat tubuhku gampang merosot ke depan. Aku sudah berkali-kali mundur dan berpegangan pada jok sekenanya, bahkan hampir terjatuh, tapi tetap saja merosot lagi dan lagi. Dan sekarang, lelaki ini menyalahkanku. Sok jual mahal lagi. Seharusya pihak perempuan yang marah dan tersinggung. Aku, bukan dia.

Aku belum sempat menjawab saat motor kami yang sedang melintasi jalanan yang pinggirnya ditumbuhi deretan pohon Sengon, melambat dan sesaat kemudian berhenti. Beberapa kali Ko men-starter, tapi tetap saja mesinnya tidak mau menyala. Akhirnya aku berinisiatif turun. Sementara dia memancal selahan motor berkali-kali dan tetap tidak berhasil. Yah, seharusnya aku tidak kaget dengan kejadian ini, sih.

Setelah mencoba berkali-kali hingga keringetan, dia pun turun dan menepikan motor. Dia mengambil kunci motor dari tempatnya dan memasukkannya ke bagian bagasi untuk mengambil kantong mini hitam berisi peralatan mekanik. Selanjutnya dia mulai membongkar mesin motor.

Kesimpulanku: Selama ada mekanik, kendaran sebobrok apa pun tetap tidak masalah. 

Untuk menghilangkan bosan, aku berjalan-jalan di sekitar situ. Tiba-tiba mataku terjatuh pada bangunan hijau beratap genting, sekitar dua ratus meter dari sini. Itu gedung SMP Pancasila, tempat aku bersekolah dulu.

Sejenak kemudian memori membawaku ke masa biru-putih. Saat kami––para siswa kelas tiga––mendapat tugas untuk menanam pohon sengon sebagai kenang-kenangan kelulusan.

Pohon yang kami tanam dulu sekarang menjulang tinggi membentuk hutan kecil ini. Dan akhirnya bayanganku tiba pada sosok anak laki-laki jangkung dengan mata besar dan rambut ikal yang memberikan benih sengonnya kepadaku.

Saat itu, sekolah menyuruh setiap murid membawa sebatang benih sengon. Payahnya, aku teledor sehingga ada anak yang mencuri benihku di detik-detik terakhir. Aku pun menangis sendirian di belakang gedung sekolah karena takut terkena hukuman. Sekolah kami terkenal tegas. Apalagi aku tidak punya bukti dan juga tidak sempat meminta orang tuaku mengganti benih yang hilang. Hingga anak laki-laki itu mendekatiku dan memberikan benih sengonnya kepadaku. Bisa ditebak akhirnya, kan?

Sepulang dari menanam pohon di tempat ini, aku melihatnya berdiri di bawah terik matahari karena menghilangkan benihnya. Dia sudah menyelamatkanku. Itu satu pertolongan dari tiga yang dia berikan padaku.

“Kamu Wingko Hutomo, ya?” tanyaku lirih, menatap punggung lelaki yang sibuk mengotak-atik motornya.

Di luar dugaanku, dia menoleh dan memberikan tatapan seolah ada belalai tumbuh di hidungku. Tidak ada satu suara pun yang muncul dari bibirnya yang setengah terbuka.

“Di antara pohon sengon ini, ada satu punya kamu, kan?” tanyaku lagi yang kali ini dengan senyum lebar.

Dia menaikkan alisnya sebelah. “Dari mana kamu tahu nama itu? Kita ndak pernah kenalan, kan?” 

“Kamu pikir mengabaikan orang yang nyelamatin kamu dari hukuman itu mudah?”

Dia hanya tersenyum tipis lalu kembali ke kesibukannya.

“Artinya aku boleh minta nomor teleponmu, dong.” Aku mendekat dan berjongkok di sebelahnya.

“Buat apa?”

“Mengobrol mungkin.”

“Hidupku terlalu sibuk untuk mengobrol.” Meskipun dia mengucapkannya dengan santai, bagiku tetap saja menyebalkan.

“Akun media sosial?” Aku belum mau menyerah.

“Warga abdi terlalu tenteram untuk bermedia sosial.”

Aku memutar mata. “Semoga hanya kamu yang berpikir begitu atau bumi ini bakalan kelabu, alih-alih hijau.”

Kubiarkan dia asyik dengan kesombongannya. Tanganku mencoba bergelut dengan sinyal internet demi mencari segala sesuatu yang ada nama Wingko Hutomo di dalamnya.

Ih... nih cowok kampung dingin dan songong banget, yak. Ampuuun. Dulu emak dia nyidam apa sih.

Nah, udah mulai ketularan Mara, kan?🤣🤣

Happy reading. Jangan lupa voment. Thankies🙏

DESIGNING US (COMPLETED)Where stories live. Discover now