HER~b

1.6K 279 12
                                    


Mungkin karena fokusku tidak sepenuhnya pada jalan, kaki kananku mulai kehilangan keseimbangan. Sejurus kemudian, aku terpeleset jatuh ke got kecil yang memisahkan kebun tomat dengan pematang.

Selain bokongku menghantam pematang yang keras tapi licin, kaki kananku terperosok ke dalam got dengan keadaan melintang. Sakit yang dihasilkan keduanya membuatku mengaduh keras.

Wingko yang semula mengira hal ini lucu, perlahan menghentikan tawanya. Lelaki itu bergegas menghampiriku. “Kamu ndak apa-apa, kan?” Matanya mengedar antara wajah dan kakiku yang terendam air hitam kental karena bercampur lumpur.

Aku meringis menahan sakit. “Orang kota boleh mengeluh sakit nggak, sih?

Dia tersenyum tipis. “Kamu jatuh beneran, ya?” gumamnya sambil mengangkat kakiku dari got. Sesudah kakiku terangkat, dia mencari sepatuku yang terbenam dalam lumpur.

Setelah mendapatkannya, dia mencuci benda itu di got bagian atas yang airnya masih bening lalu diberikannya kepadaku. Hingga akhirnya dia duduk di sebelahku.

Dengan masih tersengal, aku mengumpat pelan. Sebisa mungkin aku mengontrol emosi. Perasaan bersalah, sakit, bodoh, marah, terhina, dan lainnya bercampur aduk memenuhi rongga dadaku. “Kamu kira aku boongan?” sungutku lirih.

“Maaf.”

“Emangnya kamu pikir aku suka berbohong?” Aku masih kesal. Bagaimana dia bisa berpikir jatuhku hanya pura-pura? Memangnya aku senorak itu.

“Pernah beberapa kali tepergok malah,” gumamnya lirih. “Ayo istirahat di gubuk.”

Mengabaikan jawaban Wingko, aku berusaha berdiri dan naik ke pematang, tapi telapak kakiku benar-benar nyeri.
“Kakiku sakit. Nanti aja ke sananya,” aku kembali duduk. “Kamu lanjutin pekerjaanmu, sana!”

“Ayo kubantu.” Dia mengulurkan tangannya untuk menarikku.

“Kakiku masih nyeri. Nanti kalau udah baikan aku ke sana sendiri,” ulangku lemah. Hatiku kesal bukan karena kaki dan bokongku yang sakit saja, tapi juga pakaianku yang basah dan penuh cipratan lumpur. Wajah dan rambutku juga. Aku tidak pernah ke kebun, sekalinya kemari langsung seperti ini.
Sungguh menyedihkan.

Bukan sulap bukan sihir, tanpa ba-bi-bu Wingko mengulurkan kedua tangannya dan membopongku. Aku yang masih terkaget bercampur gugup tidak bisa bereaksi apa-apa selain berpegangan erat pada tubuh kekarnya. 

Tubuhku terasa kebas, lidahku kelu, hingga hampir sampai gubuk, aku baru bisa berkata, “kamu nggak seharusnya ngelakuin ini.” Aku memundurkan wajahku yang hampir menyentuh pipi kanannya. Aku bisa mencium aroma keringat yang menetes dari pelipisnya. Rambut-rambut pendek yang tumbuh di sekitar rahangnya seolah melambai-lambai memintaku menghitungnya.

“Saya hanya nolong kamu. Ndak ngapa-ngapain kamu,” balasnya dengan memutar mata. Bersamaan dengan itu hangat napasnya menggelitiki pipiku. Oh, semoga wajahku tidak merona––tapi aku meragukan hal ini.

“Sorry. Maksudku, kamu jadi repot, gitu. Jadi cowok jangan baperan gitu, ngapa?”

Dia menurunkanku di gubuk. Sekilas aku melihat mata dan mulut Arum membuka lebar saat melihat kami.

“Tante kenapa?”

“Jatuh. Kakinya sakit.” Aku belum sempat menjawab, tapi Wingko sudah mendahului.

“Kasihan....” Dengan menggeleng-geleng pelan, Arum mendekatiku. Dia tanpa jijik mengelus-elus telapak kakiku yang mulai bengkak.

“Jangan dipijat, Rum,” Wingko mengalihkan pandangannya padaku, “kamu istirahat di sini sebentar, nanti kuantar. Hanya tinggal sedikit, nanggung.”

DESIGNING US (COMPLETED)Where stories live. Discover now