DRESS~a

2.1K 348 11
                                    


Kemarin-kemarin aku ingin berkeliling kampung abdi karena penasaran suasananya. Sekarang aku ingin ke sana untuk mencari rumah Wingko. Katakan aku norak.  Mungkin kalau kalian jadi aku dan mengalami apa yang kualami, bukan tidak mungkin kalian akan melakukan hal yang sama.

Dia telah menyelamatkanku beberapa kali. Mengunjungi keluarganya dengan sekantong buah, bukanlah tindakan berlebihan. Syukur-syukur aku bisa membantu hal lainnya. Anggap saja balas budi. Baiklah, aku tidak menampik kalau sosok David Gandy-nya juga turut meracuniku.

Dalam perjalanan ke kampung abdi, aku melewati pasar desa. Aku mampir dulu untuk membeli buah. Sekilas, aku tadi melihat toko buah di ujung pasar.

Meski kecil, pasar ini banyak pengunjungnya. Mungkin karena hari ini Minggu atau memang pasar ini salah satu tempat yang mana warga abdi dan priyayi bertemu dan berkumpul. Selain balai desa, puskesmas, dan sekolah tentunya.

Aku menepikan mobil dan memarkirnya di ujung jalan. Sebelum keluar, kupastikan tidak mengganggu lintasan orang-orang. Di sini tidak ada tempat atau jasa parkir. Mereka memarkir motor dan sepeda mereka berjajar di pinggir jalan kecil menuju pasar begitu saja. Aku heran, kok mereka tidak takut pencurian atau perusakan, ya? Dan lebih heran lagi, tidak ada yang tergoda melakukan hal itu.

Beraktivitas di desa begini memang lebih efisien menggunakan motor daripada mobil. Tapi bagaimana lagi, aku tidak bisa mengendarai motor. Mungkin ini kesempatanku belajar. Oh, semoga saja ada keajaiban dari Tuhan sehingga Wingko terketuk hatinya untuk mengajariku mengendarai motor. Sungguh, aku rela membeli motor matic keluaran terbaru kalau dia mau mengajariku.

Mara, sadar!

Setelah mengunci pintu mobil, aku berjalan menyusuri jalan tanah yang lumayan ramai. Pertama-tama aku menuju penjual buah yang berjejer di ujung pasar, bersebelahan dengan deretan lapak sayur-mayur. Rasanya sudah lama sekali aku tidak jalan-jalan di pasar begini.

Bukan berarti di Jakarta tidak ada pasar. Sekalipun tidak seotentik sini, pasar di Jakarta lebih besar, lebih komplit, dan lebih bagus dari sini pastinya. Masalahnya aku tipe orang yang terlalu sibuk untuk pergi ke pasar. Atau, anggap saja begitu.

Sambil menenteng sekantong jajan pasar dan dua kilo apel, aku menyusuri jalanan di tengah pasar. Jalan itu menghubungkan deretan lapak sembako dengan lapak pakaian.

Aku memutuskan untuk melihat-lihat lapak pakaian, sekadar ingin tahu jenis pakaian yang nge-trend di desa ini.

Konon, salah satu cara untuk mengetahui selera pasar kita harus bertanya pada penjual langsung atau kalau kita tipe pemalu, bisa dengan melihat barang apa yang paling banyak dipajang penjual. Karena biasanya penjual akan memajang barang yang paling diminati khayalak.

Baru memasuki ke lapak pakaian, mataku tertuju pada toko perlengkapan reog, kesenian dari kabupaten tetangga, Ponorogo. Dari banyak barang yang dipajang di sana, aku tertarik dengan tali kolor putih dan udeng warok.

Aku mengamati barang itu beberapa saat sebelum bertanya tentang bahan, varian, dan harganya. Aku memikirkan bagaimana memasukkan barang itu ke rancanganku.

Seandainya rancanganku setipe Oscar Lawalata yang modern etnik, mungkin akan lebih mudah mengombinasikannya. Tapi selama ini rancanganku cenderung ke arah simple and chic, jadi agak susah untuk memasukkan konsep tradisional ke dalamnya.

Saat ingin memesan tali kolor, telingaku menangkap suara serak yang familier. Kali ini suara itu berpadu dengan suara anak perempuan. Sepertinya tidak terlalu jauh dari tempatku berdiri. Aku pun mengedarkan pandangan ke segala arah. Karena tak kunjung melihat sumber suara, aku memutuskan untuk menyusuri gang pertokoan.
Setelah melewati tiga toko, aku menemukan Wingko sedang berbicara dengan anak perempuan berambut panjang yang kira-kira berumur tujuh tahunan.

DESIGNING US (COMPLETED)Where stories live. Discover now