DAUGHTER~a

1.9K 302 5
                                    


DAUGHTER

Menyedihkan itu saat kamu berusaha membantu seseorang tapi dia malah menganggapmu merepotkan. Oke, kita memang tidak bisa mengontrol bagaimana orang lain memperlakukan kita. Namun hal itu tidak lantas membuat kita bisa memaklumi perlakuan mereka begitu saja, kan?

Seperti halnya yang terjadi pada aku dan Wingko. Mungkin menurutnya apa yang dia lakukan padaku tidak seberapa tapi bagiku sebaliknya. Aku tidak perlu dihargai, tapi bukan berarti dia berhak menghakimiku seenaknya.

Setelah kejadian malam itu, aku bertekad menyingkirkan segala hal tentang Wingko dari pikiran. Sulit sih, selain karena utang budi, aku merasa ada ketertarikan dengannya. Sudah lama aku tidak merasakan hal ini, lebih tepatnya setahun, sejak putus dari Nathan, pacarku selama sepuluh bulan.

Jujur, ada beberapa hal tentang Wingko yang berhasil menarik hatiku. Seperti kesederhanaanya, diamnya, ketenangannya, dan tentu saja tubuh seksinya. Soal yang terakhir memang terkesan norak, ya? Tapi tahu tidak? Di saat tergila, aku sempat membayangkan lengan kekar dan gelapnya mendekapku erat, melindungiku dari segala mara bahaya yang mengancam. Baiklah, mungkin aku harus berhenti membaca dan menonton segala hal yang berbau romance.

Akhirnya kunjunganku dua minggu sudah hampir berakhir. Lusa, aku akan balik ke Jakarta. Sepuluh sketsa rancanganku juga sudah selesai. Dua hari ini, Bude ada kegiatan kumpul-kumpul di rumah sahabatnya yang baru datang dari Kalimantan, jadi aku kesepian di rumah. Mau ke mana-mana, aku juga malas. Kegiatanku hanya tiduran di kamar dan membantu Mbok Minem bekerja.

Akhirnya setelah mempertimbangkan masak-masak, aku pergi mengunjungi Wingko untuk pamit sekaligus meminta maaf. Mungkin dia benar. Mungkin aku memang salah, meskipun aku belum tahu letaknya di mana.

Sekarang baru pukul dua sore, sepertinya Wingko masih di bengkel. Aku tahu apa yang harus kulakukan nanti, meminta maaf dengannya lalu meminta izin menemui Arum--untuk pamit. Meski untuk poin terakhir, aku pesimis dia mengizinkanku. Namun kita tidak akan tahu sebelum mencoba, bukan?

Setelah memarkir mobil di tepi jalan depan, aku melangkah menuju bengkel. Di tempat itu aku hanya melihat Kang yang sedang membongkar motor. Di sebelahnya berdiri perempuan setengah baya berambut sebahu yang mungkin istrinya. Mereka asyik bercanda. Beberapa kali si perempuan menepuk lembut bahu Kang.

Oh ya, sampai sekarang aku belum tahu nama asli Kang dan juga nama bengkel ini. Aku tidak menemukan papan nama atau sejenisnya yang dipasang di sini. Di kwitansi kemarin pun hanya ada keterangan kerusakan dan biaya. Yang mengherankan, dua kali ke sini, aku selalu melihat ada motor yang dibongkar. Mungkin mereka sudah terkenal jadi tidak perlu nama. Hebat, ya?

Di Jakarta kami menghabiskan jutaan rupiah hanya untuk membangun nama, di sini ada bengkel tanpa nama--mungkin juga tanpa izin usaha dan NPWP--bisa berjalan lancar begini.

Dengan tersenyum ramah aku menyapa mereka, berbasa-basi seputar cuaca dan lalu lintas hingga akhirnya mengatakan tujuanku. "Wingkonya ada?"

Senyum Kang meredup. "Hari ini dia ndak masuk, Mbak? Ada yang bisa saya bantu?" Si ibu yang menatapku sejak tadi tersenyum tipis.

"Oh, nggak," Aku menggeleng, "Nggak ada apa-apa, kok. Makasih banyak," jawabku yang hanya mereka tanggapi dengan senyuman canggung. Aku yang sama kikuknya dan tidak tahu mau membahas apa lagi, akhirnya memohon diri.

Saat baru berjalan dua langkah, aku mendengar si istri berbisik, "Semoga sekarang Wingko membuka hatinya ya, Pak? Kasihan. Anak itu perlu ngerti bahwa ndak semua perempuan itu seperti Ika dan ibu tirinya."

Seandainya mereka tahu aku berhenti dan berpura-pura mencari barang di tas hanya untuk bisa mendengarkan kelanjutannya.

Holaaaa...
Maaf, kependekan kayaknya.

Happy reading. I hope you enjoy it. xoxo

DESIGNING US (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang