BEFRIEND~a

1.8K 301 6
                                    


BEFRIEND



Setelah memarkir mobil di halaman depan, aku setengah berlari menuju rumah yang pintunya dibiarkan terbuka itu. Di beranda, aku melihat motor Wingko bersebelahan dengan sepeda mini perempuan yang berwarna putih campur pink.

Tadi saat mendengar suara Arum yang lemah karena sakit, aku langsung memperpanjang masa sewa mobil. Selain itu, aku juga bisa berganti mobil lain yang lebih bagus. Karena buru-buru, aku tidak sempat meminta ganti rugi kerusakan mobil yang lama itu. Aku sedikit kecewa sih, 372 ribu kan, lumayan.

Tapi setelah memikirkan Wingko dan Arum, kekecewaan itu berkurang. Entah karena merasa itu biaya untuk berkenalan dengan mereka, atau kesenanganku membayangkan bertemu mereka lagi mengalahkan kekecewaan itu, aku tidak sepenuhnya paham.

Saat masuk rumah, aku melihat Wingko duduk di kursi dengan dagu disangga kedua tangan yang bersiku pada pahanya, terpekur. Aku tidak yakin dia mendengar suara mobilku di depan.

Meskipun begitu, aku tidak melihat wajah ketidaksukaan padaku ataupun wajah bapak yang panik karena anaknya sakit. Wajah eksotis itu tampak datar, seperti tidak terjadi apa-apa.

Oh ya, meski sudah beberapa kali marah padaku, tidak sekali pun aku mendengarnya berteriak. Suaranya lebih sering dingin dan dalam. Menurutku suara serak memang lebih pas memakai nada rendah daripada tinggi. Lebih seksi begitu.

Mara, sekarang Arum sakit dan kamu malah ngomongin Wingko?!

Aku mengerjap dua kali. "H-hai...." Aku bingung bagaimana memulai percakapan dengannya. Tadi saat aku mau datang ke sini, dia sempat mencegah, tapi aku keburu menutup telepon karena panik. Dan sekarang, aku khawatir dia tidak menyukai kedatanganku karena ya, kalian tahu sendiri Wingko itu seperti apa.

"Hai. Maaf, saya sudah mengganggumu tadi," ucapnya lirih. Satu hal yang menghiburku: matanya terlihat lebih lembut sekarang.

Aku tersenyum, entah untuk keramahannya atau kesenanganku. "Nggak apa-apa. Arum gimana?"

"Dia baru saja tertidur." Lelaki itu mengisyaratkanku mengikutinya memasuki kamar sebelah kanan.

Meski dari luar tampak biasa, kamar Arum mempunyai dekorasi yang lumayan bagus--untuk ukuran rumah desa. Dinding merah jambu bergaris vertikal dengan beberapa gambar Barbie. Di sisi kanan-kirinya tergantung banyak foto Arum sejak bayi hingga sekarang dengan berbagai macam bingkai yang di tata sedemikian rupa hingga membuatnya sedap dipandang.

Tempat tidur anak itu juga berwarna merah jambu. Di pojok lain ada satu set meja belajar yang berwarna putih bergambar Snow White. Aku tidak pernah membayangkan kalau Wingko bisa sedetail ini. Yah, mungkin saja ini ide ibu Arum, istri Wingko yang entah ke mana sekarang, celutuk batinku.
Dan, tentu saja pemikiran itu membuatku merengut sebentar.

Aku melihat anak itu tertidur pulas dengan rambut tergerai ke samping. Aku mendekat dan mengelus keningnya. Masih demam.

Kami memandangi Arum dalam diam. Beberapa kali kutoleh Wingko yang balas memandangku tenang. Matanya seolah berkata, "nggak apa-apa. Tenang saja."

Setelah beberapa saat, Wingko berbalik keluar ruangan. Meski dia tidak mengajak, aku tetap saja mengikutinya.

"Mau minum apa?" tanyanya setelah kami sampai di ruang tamu.

"Nggak usah repot-repot," jawabku menjatuhkan bokong pada kursi.

Dia mengabaikan jawabanku dan berjalan ke dapur. Semenit kemudian, lelaki itu kembali dengan segelas teh di tangan, hanya menggunakan tatakan kecil, tanpa nampan. "Teh tanpa gula," dia meletakkan minuman itu di hadapanku.

DESIGNING US (COMPLETED)Where stories live. Discover now