LEAVING~b

1.8K 310 8
                                    

Sambil terus terisak, Bude memelukku erat dan lama, sebelum akhirnya melepaskanku untuk memasuki mobil. Setelah berpamitan penuh drama seperti mau maju perang, sekarang dengan bernapas lega aku mengemudikan mobilku keluar gerbang rumah Bude, sendirian.

Sejak pagi, Bude membujukku agar mengizinkan beliau ikut mengantarku ke stasiun dengan diantar sopir. Terang saja aku menolak. Sudah seperti iring-iringan presiden saja. Mau ditaruh di mana mukaku?

Saat melintasi perempatan yang salah satu jalannya menuju kampung abdi, aku menepikan mobil. Dengan tersenyum, aku menatap jalan itu beberapa saat. Tanpa sadar, bibirku meniupkan ciuman kecil ke sana. Tanganku pun mulai gatal ingin membelokkan mobil ke jalan aspal selebar dua meter itu.

Kali ini aku harus mengandalkan logika. Harus!

Sebelum hati mengacau, aku menjalankan mobil tanpa menoleh lagi. Dalam hati aku mengingat-ingat keburukan desa ini––yang sempat kubuat list––agar hatiku seringan saat datang dua minggu lalu. Nyatanya, aku telah melupakan list itu.

Merasa kurang berhasil, aku pun mulai mendaftar keburukan Wingko. Mulai dari kejudesan, kesinisan, kesalahpahaman, dan apa saja selain label “abdi”nya––aku yakin yang ini tidak bakal mempan.

Namun yang kudapati bukannya kebencian, melainkan kerinduan yang tak pernah terpikir olehku sebelumnya. Jujur, aku merindukan Arum. Parahnya hal itu malah menuntunku pada sosok Wingko dengan Gavid Gandy looks dan tentu saja,  pembuluh venanya.

Sepertinya aku butuh distraksi yang lebih kuat lagi.

Karena semakin tersiksa dengan bayangan Wingko dan Arum, aku menyalakan audio mobil dengan volume paling keras. Kontennya tidak ada yang menarik, jadi masih saja belum berhasil. Akhirnya setelah mendesah penuh frustrasi, aku memasang headset dan menelepon Bella. Membicarakan pekerjaan dan hobi, mungkin termasuk distraksi bagus.

Gadis itu menjawabku di dering ketiga. “Ini beneran lo kan, Ra?” Suara Bella hampir tenggelam di keramaian.

“Iya. Emangnya kenapa?” Aku memicingkan mata, membagi fokus antara jalanan dan suara Bella yang tidak begitu jelas. “Lo di mana, sih? Rame banget.”

Setelah bertanya, aku baru sadar sekarang masih termasuk jam makan siang Bella––dia makan siang pukul dua hingga empat sore.

“Bentar, gue keluar dulu, deh,” selama hampir semenit, aku hanya mendengar orang mengobrol di belakangnya. “Lo emang beneran mau hijrah dari WhatsApp?” tanyanya setelah suara background lenyap.

“Internet problem, Buk.” Aku menginjak rem karena lampu merah

“Dan lo masih belum ada niatan balik?” tanyanya dengan tawa berderai.

“Sekarang otewe.”

“Oh ya? Hebat, dong. Habis ini langsung kerja atau Maldives dulu?”

Bella memang benar-benar The Dreamer. Baginya hidup itu playground tempat kamu bisa bermain kapan saja tanpa harus memikirkan uang dan masa depan. “Kerja, dong. Liburan telah usai, sekarang waktunya menyongsong masa depan,” jawabku seceria mungkin, itung-itung menyemangati diri.

“Menurut gue sih, lebih baik elo ke Maldives aja dulu. Barang seminggu. Biar benar-benar ngerasain liburan, gitu. Gue nggak yakin, kunjungan ke kampung halaman elo itu bisa disebut liburan.” Ada keraguan samar di setiap katanya. Aku bisa membayangkan dahi SK-II-nya mengernyit

Meski dalam hati aku ingin berteriak, “Iya, memang ini bukan liburan, tapi ujian.” Toh, saat keluar, kalimat itu berubah bentuk. “Of course, it is. Gue benar-benar liburan, Cuy. Do you know what? Gue udah bisa tidur tenang setiap malem, sekarang. And it's awesome, you know.”

Setengah dari diriku tahu bahwa ini hanya caraku menghibur diri. Oke, katakan aku berangkat ke Maldives. Apa yang kudapatkan dari sana? Selain pengurangan saldo rekening dan kepalaku yang masih kepikiran desa ini. Lebih spesifik, kepikiran Wingko dan Arum.

“Terserah elo, deh.”

Karena sudah sampai di tempat rental mobil, aku menyudahi telepon. Saat memasuki toko, ponselku berbunyi. Arum. Sembari tersenyum, aku berhenti untuk mengangkat panggilannya.

Bagaimana anak ini tahu kalau aku sedang memikirkannya. “Iya, Sayang?” sapaku cepat.”

Hening sesaat. Lalu ada suara dehaman.

“Ini saya.” Suara serak yang sama sekali tidak masuk dalam perkiaraanku. Bahkan untuk memastikannya, aku mengusap telingaku berkali-kali.
Tungkaiku rasanya membeku. Suaraku tertahan di tenggorokan. Lidahku seperti terikat.

“Halo,” katanya lagi setelah beberapa saat aku tidak menjawab.

“Eh, i-iya?” Syukurlah meski gugup, aku masih bersuara.

“Maaf sudah mengganggumu. Arum ingin berbicara sama kamu. Dia....”
“Dia kenapa?” sambarku cepat.

Happy reading. Makasih dan mau baca. Lebih seneng lagi kalau kalian mau ninggalin jejak lewat voment. XOXO



DESIGNING US (COMPLETED)Where stories live. Discover now