Bab 39

401 51 0
                                    

Banyak yang merasa gedung Permana Jaya terkesan berbeda dari biasanya. Alasannya yang tidak lain karena sang pimpinan tertinggi, Arman Permana.

Sangat sangat sangat jauh berbeda dari mimik wajah, semangat, dan gerak-gerik Arman antara yang kemarin dengan hari ini. Kantor pusat Permana Jaya seperti di naungi sayap malaikat ketika Arman tiba di sana.

Senyumnya merekah dengan wajah penuh binar. Setiap langkahnya menyusuri lantai gedung kantor itu terlihat ringan namun pasti. Bahkan sesekali bersenandung. Semakin di lihat, Arman tampak semakin gagah.

Garut menyambut Arman di pintu lift. Ia juga kebetulan baru tiba di sana. Melihat bayangan Arman dari jauh, Garut memutuskan menunggu atasannya itu. Toh mereka selantai.

"Selamat pagi, Garut."
"Selamat pagi, Pak."
"Kau sudah sarapan?"

Garut tersentak mendengar pertanyaan Arman. Untuk pertamakali seumur hidupnya bekerja sebagai asisten Arman, atasannya itu bertanya perihal sarapan.

"Sudah, Pak."
"Bagus, biasakan sarapan setiap hari. Terutama dengan orang yang kamu cintai, aku jamin kamu akan lebih bersemangat."

Arman berpetuah pada dirinya dan Garut tidak salah dengar. Di dalam lift itu hanya ada mereka berdua dan Garut membersihkan telinganya setiap hari. Ia juga yakin tidak memiliki penyakit tuli. Garut jadi merinding mendapat perhatian seperti itu. Dan... apa tadi yang Dewa Bos katakan? Sarapan dengan orang yang kamu cintai? Oke, bagian itu bukan petuah, tapi sindiran untuk dirinya yang masih betah sendiri.

"Saya terbiasa sarapan sendiri dan saya tetap bersemangat untuk bekerja, Pak. Jangan khawatir."

Garut bisa melihat wajah Arman yang tersenyum mendengar jawabannya dari pantulan pintu lift.

"Garut!"
"Ya, Tuan?"
"Apa sebelumnya kau pernah mencintai seseorang? Pernah mengalami jatuh cinta?"

***

Untuk beberapa jam saja, Kenya merasakan sedikit kelegaan setelah Arman enyah dari hadapannya. Tidak dulu atau sekarang pria itu selalu penuh kejutan. Mengagetkannya mungkin kata yang lebih tepat.

Sayangnya kelegaan itu tidak bertahan terlalu lama.

Beberapa jam lepas dari Arman, kini dia harus berhadapan dengan Permana lainnya. Tidak sejenis dengan Arman, melainkan wanita yang kemarin ia dengar suaranya dan bergelar 'tantenya' Arman. Seseorang yang Kenya tidak sangka harus ia pandangi secepat ini.

Wanita ini sosok yang anggun, berpakaian modis, sangat terlihat dari keluarga berada seperti Arman. Tebakan Kenya wanita ini banyak bergaul dengan kalangan sosialita ala kota besar. Meski begitu, Kenya tidak mememukan pandangan merendahkan untuk dirinya dari wanita tersebut. Pandangan wanita ini padanya sangat hangat dan ramah.

"Silakan di minum."
"Oh, tentu."

Wanita itu mengambil gagang cangkir berisi teh dengan apik, tidak serampangan. Kenya senang memperhatikan bahasa tubuh tantenya Arman. Tapi yang gawat, Kenya lupa namanya. Semoga dia tidak terdengar pelupa jika nanti Kenya meminta mereka memperkenalkan diri secara resmi.

"Kalau boleh tau, ada keperluan apa mencari saya?"

"Saya tantenya Arman, yang kemarin bicara lewat telpon asistennya, ingat?"

"Saya ingat, tapi maaf saya lupa nama anda?"

"Elia, Elia Chasi Permana, tapi anak-anak suka memanggil saya tante El."

"Senang bertemu anda, Nyonya Elia."

"Jangan terlalu kaku Key, panggil tante El saja, seperti Arman, Hiban dan Ejet."

Wajik Merah (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now