Bab 2

867 58 1
                                    

Sama-sama dewasa, sama-sama memiliki pekerjaan dan kesibukan, sama-sama pekerja keras, sama-sama single, namun satu hal yang tidak sama antara Arman dan Kenya dan hal itu kadang membuat Kenya tidak nyaman dengan Arman yang sering kali mengunjunginya selepas jam kerja seperti saat ini.

"Terima kasih sudah menjaga Yogi." ucap Kenya setelah mereka keluar dari pintu.

"Aku sudah sering melakukannya dan kamu juga sudah sering berterima kasih, aku rasa sudah tidak perlu kata itu di ucapkan." Kata Arman tanpa berniat sarkas.

Orang lain mungkin sudah mengira Arman penghuni tetap rumah Kenya.

"Kamu sendiri yang bilang kalau jaman ini sudah kacau, aku tidak mau ikut menjadi pengacau dengan tidak mengucapkan terima kasih pada orang yang sudah membantuku."

Arman tersenyum mendengar Kenya mengembalikan kata-katanya seperti biasa.

"Arman, jangan terlalu baik. Aku tidak mau orang salah menilai tentang kita."

Arman menarik napas dalam.

"Apa pendapat orang masih penting di tengah dunia yang sedang terjadi krisis akhlak di dalamnya? Biarkan saja mereka bicara, jangan dengarkan, buka telingamu untuk hal yang kamu anggap perlu dan penting saja."

"Begitu? Jangan lupa, manusia adalah makhluk sosial, kita hidup di tengah masyarakat dan aku tidak bisa mempengaruhi semua orang untuk beranggapan baik tentang kita."

Arman berpikir sejenak, memahami kata-kata Kenya.

Ingin sekali Arman membalas kata-kata Kenya dengan ungkapan perasaannya, tapi segera ia urungkan. Arman tahu benar ini bukan saat yang tepat.

"Kita berdebat lain kali, aku menyayangkan ini hampir tengah malam."

Arman meninggalkan Kenya menuju kendaraannya. Tak lama ia pun melaju meninggalkan kawasan kompleks perumahan itu.

Kenya melepas kepergian Arman dari teras rumah. Hampir pukul sebelas malam, pria itu baru mau pulang setelah Kenya mengatakan bahwa dia ingin istirahat. Mereka mengobrol tentang banyak hal setelah Yogi tidur. Salah satunya tentang apa yang akan Kenya lakukan dengan uang sisa hasil penjualan rumahnya yang dulu.

Arman menawarinya untuk membuka counter  di pusat perbelanjaan milik perusahaannya. Kenya menyetujui tawaran Arman dengan syarat tidak ada harga discount atau perlakuan istimewa lainnya. Murni kerja sama. Hubungan bisnis pada umumnya meski Arman bisa saja memberinya lahan dengan cuma-cuma.

***

"Permisi," Kata Arman ketika baru memasuki sebuah toko kue bertuliskan Wajik Merah di bagian depan.

"Iya, ada yang bisa saya bantu?"

"Saya punya janji wawancara kerja dengan pemilik toko ini, apa orangnya ada?"

Arman yang saat itu baru kembali dari Singapura setelah mengundurkan diri dari rumah makan Indonesia milik temannya di sana, memutuskan untuk mencoba memasukkan lamaran pada kolom Wajik Merah yang sedang mencari seorang manajer.

"Saya sendiri pemilik tempat ini." Kenya mengulurkan tangannya, "Perkenalkan, saya Kenya Panaringan, pemilik toko kue Wajik Merah."

"Arman Permana."

Arman membalas uluran tangan Kenya. Untuk beberapa saat mereka saling beradu pandang.

"Apa saya menjanjikan wawancara kerja hari ini?"

"Dari email yang saya terima, harusnya anda melakukan wawancara hari ini, tapi kalau anda sedang berhalangan kita bisa menjadwalkan ulang."

"Begitu ya?" Kenya melihat ke arah jam tangannya, "Maaf, beberapa hari ini ada banyak masalah yang harus saya selesaikan, jadi saya sedikit lupa dengan janji temu kita. Saya masih punya waktu tiga puluh lima menit sebelum menjemput putra saya. Mungkin wawancaranya tidak akan lama, anda keberatan?"

"Tentu saja tidak."

"Kalau begitu ikut saya!"

Ada rasa ragu yang terlintas di benak Kenya saat pertama kali melihat Arman. Benarkah dia seorang manajer?  Karena seingat Kenya dia menyelipkan syarat mencari orang yang berpengalaman dalam bidang itu. Jika menilai hanya dari penampilan Arman saat itu yang hanya memakai baju kemeja kotak-kotak, celana jins dan sepatu kets di lengkapi rambut gondrong Arman yang di ikat rapi, Kenya tentu ragu. Dalam bayangannya, bahkan kandidat yang ia wawancara sebelumnya, dari penampilan saja mereka cukup meyakinkan dengan kemeja rapi, celana atau rok bahan, dan sepatu pantofel. Sangat kontras dengan penampilan Arman saat ini.

Kenya memutuskan untuk melakukan penilaian menyeluruh setelah wawancara di lakukan. Bagaimanapun rasanya tidak adil jika ia hanya menilai dari penampilan saja.

"Silahkan duduk."

Kenya membuka laptopnya dan mencari CV yang masuk atas nama Arman Permana yang bahkan belum sempat ia baca tapi sudah lebih dulu menjanjikan temu wawancara. Keraguan Kenya makin besar karena takutnya Arman hanya seorang lulusan sekolah menengah atas.

Untuk beberapa saat Kenya tercengang setelah membaca latar belakang pendidikan Arman, belum lagi pengalaman kerja dan prestasi Arman. Kenya hampir malu membacanya karena telah merendahkan Arman. Untung saja tidak ia ungkapkan.

Buru-buru Kenya mengatupkan bibirnya mengukir senyum ramah.

"Jadi anda lulusan luar negri, kenapa anda tertarik untuk bekerja di sini?"

"Anda baru membaca resume saya?"

Arman menjawab pertanyaan Kenya dengan pertanyaan. Raut wajah Kenya yang tadinya tenang seketika berubah keheranan dengan alis bertaut mengernyit.

"Maaf." Balas Arman spontan, melihat perubahan wajah Kenya.

"Minta maaf saat wawancara akan terkesan buruk. Jelaskan saja diri anda!" Kenya tidak mau Arman repot-repot menelisik pikirannya.

Dengan nada tegas dan penuh rasa percaya diri Arman menceritakan ulang resumenya. Dari latar belakang pendidikan, jenjang karir, juga alasan ia berhenti bekerja di tempat terakhir dan kembali ke Indonesia.

"Sakit? Maaf, kalau boleh saya tahu beliau sakit apa?"

"Kanker nasofaring stadium akhir."

Kalau biasanya akan terjadi perubahan ekspresi saat seseorang menceritakan tentang keluarganya, terlebih lagi jika anggota keluarga terdekat itu mengalami sakit keras, setidaknya akan muncul ekspresi sedih karena perubahan emosi. Tapi tidak bagi Arman, ia konsisten dengan wajah datarnya.

Meski begitu,

"Saya turut sedih mendengarnya, semoga ayah anda tabah menghadapi penyakit ini. Ini pasti berat untuk anda."

Kenapa pria ini malah tersenyum?

"Begitulah, terima kasih untuk simpatinya."

Seperti ada yang Arman tidak ungkapkan sehingga mimiknya biasa-biasa saja ketika bercerita tentang ayahnya yang sakit keras. Tapi Kenya memutuskan untuk tidak bertanya lebih jauh.

Kenya menyukai aura Arman yang memancarkan karisma pemimpin yang lekat dengan ketegasan, juga pancaran kecerdasan dari nada bicara dan pilihan kata-kata pria itu. Ketika menceritakan alasannya berhenti dari pekerjaan sebelumnya, Arman juga tidak menjelek-jelekkan pekerjaannya meski Kenya bisa memahami alasan negatif yang tersirat yang melatar belakangi kejadian itu.

Dari sekian banyak kandidat yang Kenya wawancara, Arman adalah kandidat terkuat yang pantas menempati posisi manajer di tokonya.

Toko kue kecil miliknya akan di manajeri seorang luluusan luar negri, akan menjadi pengalaman baru bagi Kenya.

Kenya tidak sabar melihat kinerja Arman.

***

Kenya tersenyum mengingat awal pertemuannya dengan Arman. Ia tidak mengira hubungan pertemanan mereka akan berlanjut hingga saat ini.

Arman dengan tangan ahlinya membantu Kenya menjadikan Wajik Merah jauh lebih baik dari sebelumnya.

Inovasi yang di usulkan pria itu, yang di rasa mustahil bagi Kenya, menjadi kenyataan di tangan Arman.

Dan sekarang mereka akan kembali bertemu, meski saat ini intensitasnya juga sering, mereka akan bertemu lagi dalam bidang pekerjaan, at work. Seperti sebelumnya, jika sudah bicara Arman akan benar-benar mewujudkannya, counter baru Wajik Merah di supermarket milik perusahaan pria itu.

Wajik Merah (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now