Bab 3

635 66 1
                                    

"Selamat pagi."

Begitu melewati ruang display tokonya dan melihat stok kue di toko miliknya tinggal sedikit, Kenya sudah tahu sekarang tiga orang karyawannya pasti tengah sibuk membuat berbagai macam kue yang menjadi andalan tokonya.

"Pagi"

"Pagi mba."

"Pagi maba Key."

Sambil lalu tiga karyawan itu membalas salam Kenya. Tangan mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

Cacung, satu-satunya pegawai wanita, sibuk dengan isi risoles yang sudah hampir matang di atas wajan. Sebelum sibuk menjadi penjaga di depan, Cacung akan sibuk membatu di dapur sebelum toko di buka. Gocen, pria lajang berwajah pribumi nan manis menggeluti nagasari, bugis, dan lemper. Di tangannya, segala kue yang harus di bungkus daun pisang akan menjadi rapi dengan bentuk dan ukuran yang sama. Di latih oleh Kenya sendiri, tangan pria penyuka minuman rempah itu terampil dalam hal bungkus membungkus, lebih ahli dari Kenya sendiri malah. Terakhir Erwan, ayah dua anak, pegawai Kenya yang paling lama. Adonan berbagai macam kue yang ada di Wajik Merah lahir dari tangan Erwan. Klappetart, bingka ambon, brownis, hingga sponge cake, bisa di buat tangan ahlinya.

Selama masa berkabung Kenya beberapa bulan lalu, Erwanlah yang menghandle hampir semua pekerjaan di Wajik Merah. Meski keteteran tidak ada keluhan yang keluar dari mulutnya. Tapi begitu Kenya aktif kembali, keadaan toko malah sedikit kacau. Kenya tidak membahasnya di depan Erwan, meski sangat pasti kalau kekacauan itu akibat Erwan yang kadang asal-asalan mengambil keputusan. Tentu saja Key tidak enak menegut mengingat Erwan yang nekerja tanpa komplain.

Dan kekacauan itulah yang menjadi awal mula Kenya merekrut pegawai baru dengan jabatan manajer berpengalaman dan membuat dirinya bertemu Arman.

"Mba, bahan-bahan pokok mulai menipis." Cacung bersuara lebih dulu.

Kenya mendesah berat.

"Apa saja?"

"Terigu, tapioka, telur, susu, gula pasir, gula merah, dan...."

"Dan?"

"Lupa mba, tapi saya sudah catat di papan."

Kenya mengangguk.

Matanya memperhatikan semua karyawan. Menarik dan menghembuskan napas berat. Tidak ada pilihan lain. Ia sendiri yang harus turun tangan. Jika salah satu dari mereka yang pergi belanja, keberadaan kue-kue di ruang display bisa terancam kosong karena sebentar lagi akan tiba jam buka Wajik Merah. Ia teringat seseorang yang menjanjikannya seorang manajer baru.

Arman Permana.

***

"Akan ada orang baru yang mengisi counter kosong di samping eskalator. Siapkan surat-suratnya. Ini biodata penyewa."

Arman menyerahkan map berwarna coklat berisikan data Kenya dan toko Wajik Merah pada Garut, sekretaris pribadinya.

"Aku ingin surat-surat perjanjian itu selesai nanti sore. Dalam tiga bulan ke depan counter itu sudah harus beroperasi, sebelum acara fashion show di gelar."

Garut mengernyit. Tidak biasanya Arman peduli kapan sebuah counter di buka karena itu adalah wewenang penyewa.

"Masukkan poin itu ke pasal perjanjian!" tegasnya lagi.

"Tapi pak..."

"Kenapa?"

"Tidak biasanya anda peduli dengan kapan..."

"Tentu saja, karena ini tidak biasa."

Garut membuka data yang ada di tangannya.

Hanya sebuah toko kue, apa istimewanya?

"Kerjakan saja, Garut!"

"Baik pak, akan saya kerjakan segera."

"Satu lagi."

Langkah Garut tertahan.

"Pilih dengan teliti, pegawai wanita yang bisa bekerja sebagai manajer toko, usahakan umurnya di atas tiga puluh tahun dan sudah berkeluarga."

Kali ini Garut menganga kehabisan kata-kata.

"Aku ingin segera mengadakan wawancara khusus setelah kamu berhasil menyeleksi," tutup Arman dengan tangan bergerak meraih ponsel.

"Itu saja."

***

"Sedang di mana?"

Kenya baru menempelkan ponselnya setelah menekan tanda hijau dan langsung di suguhi pertanyaaan.

"Selamat pagi."

"Baik, baik. Maaf. Selamat pagi nyonya Kenya Panaringan."

"Apa tadi pertanyaanmu?"

"Sedang di mana?"

"Sedang melakukan pekerjaan yang kamu tinggalkan Tuan Permana. Sudahlah, aku sibuk."

"Tunggu!"

"Apa?"

"Sore ini aku akan membawa berkas perjanjian penyewaan counter."

"Hm. Kamu sudah tahu rumah dan toko. Bawa saja ke salah satu tempat itu. Ada lagi?" Terang Kenya jengkel.

"Cepatlah aku sedang menyetir!" desak Kenya, ia tidak suka konsentrasi saat menyetir harus terbagi.

"Kenapa tidak minta yang lain?"

"Yang lain sibuk tuan, lebih sibuk dariku, jadi apa lagi yang ingin kamu..."

"Mengenai manajer."

Ada suara napas kelegaan menghampiri pendengaran Arman. Tanpa sadar ia tersenyum sendiri.

"Akhirnya, jadi kamu sudah mendapatkan orang yang tepat, tak perlu sekompeten dirimu, aku akan melatihnya?"

"Belum, aku akan melakukan wawancaranya nanti. Kalau sudah ada yang tepat akan aku memintanya langsung ke Wajik Merah."

"Terima kasih."

"Hanya itu?"

"Kamu mau pamrih?"

"Makan siang...bersama."

"Arman, kamu tahu saat itu toko sedang ramai-ramainya."

"Maaf, tapi aku tidak mau di tolak, itu saja, sampai ketemu nanti."

"Ar...."

Panggilan terputus dan Kenya menggeram. Ingin sekali dia berteriak pada pria yang suka seenaknya itu.

Ya ya ya. Kenya tahu Arman seorang penguasa, memiliki tangan dingin yang membuat apapun yang ia pegang menjadi bongkahan emas. Kenya sudah menjadi saksi keahlian Arman itu ketika Arman bekerja padanya. Kurang dari tiga bulan, Arman berhasil membuat toko kue sederhana Key menjadi lebih tertata dan naik kelas. Sesuai penilaiannya dulu, Arman sosok pemimpin yang tegas, berkarisma, berani mengambil resiko, disiplin, dan bertanggung jawab. Jangan lupa dengan sifat otoriter, tapi sifat itu malah di tunjukkan Arman setelah dia keluar dari WM pada Kenya. Apa yang menjadi kemauannya harus terlaksana. Kadang Key merasa dibodohi oleh ulah pria itu.

Dikiranya Arman akan menghilang begitu saja begitu pria itu keluar dari WM dan bekerja di perusahaan keluarganya. Nyatanya, pria berkarisma itu makin menunjukkan taringnya pada Kenya.

Wajik Merah (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang