Bab 27

397 46 0
                                    

Tubuhnya mungkin sangat lelah, matanya pasti berat, dadanya kian terasa sempit, tapi pikirannya membuat Arman setia terjaga dua puluh empat jam lamanya. Fokus Arman yang terbagi pada lelah tubuh dan misteri keberadaan Kenya kini terbagi lagi dengan gambar yang berputar di depannya. Di hadapan tivi dengan layar super besar, gambar rekaman Kenya, sesaat sebelum kecelakaan,  yang video itu Kenya berada di kantor Arman demi mencarinya membuat Arman semakin merasa kesakitan. Dia tertawa perih melihat Key duduk, sesekali mengusap perutnya, menguap, mencium aroma minyak kayu putih dari botolnya, mungkin ketika wanita itu merasakan mual, sesekali Key celingak celinguk melihat ke sekeliling kantornya.

Dia pasti bosan karena menunggu sangat lama, sialan Garut, kenapa tidak memprioritaskannya, paling tidak menawari Key minuman. Dan semua masih salah Garut. Orang yang tidak berdosa dan tidak tahu apa-apa tentang masalah mereka.

Begitu gambar berganti ketika Key menunggu ponsel yang hendak Garut berikan, saat itu juga jutaan rasa sakit dan kecewa menyerang Arman. Kecewa. Kecewa pada dirinya sendiri. Kecewa pada perbuatannya. Dan pastinya kekecewaan Kenya lebih besar. Kesakitan wanita itu berkali-kali lipat dari yang ia rasakan sekarang.

Apa yang harus ia katakan nanti jika mereka berhadapan. Mampukah Arman melihat wajah itu. Bisakah Arman mengambil hati wanita itu lagi. Adakah maaf yang tersisa untuknya? Maukah Kenya melihat wajahnya? Maukah Key memberinya kesempatan kedua?

Memikirkan jawaban dari pertanyaannya sendiri semakin membuat kepala Arman berdenyut.

Arman makin mengutuk diri saat dirinya menikmati gambar buram Kenya dan gelombang kantuk tiba-tiba menyapanya. Pandangannya makin sayu dan layu. Arman berbaring miring di atas tempat tidur. Berharap bantal yang menopangnya adalah pangkuan hangat Kenya. Matanya memberat hingga ketidaksadaran sedikit lagi menguasainya. Maaf, lirih terakhir Arman begitu ketidaksadaran mengambil alih.

Arman terlelap, meninggalkan sejenak frustasi, harapan, yang berbaur luka. Menenangkan gundah yang setia bergejolak. Kesadaran yang terlambat ternyata lebih menyakitkan dari luka sayat belati. Semoga setelah ini ada asa yang rela menyapanya.

***

"Mba apa kabar?"

"Sehat kan Mba?"

"Mba, kita kangen."

Erwan, Gocen, dan Cogy datang bersama mengunjungi Kenya. Mereka membuat sebuah tradisi setiap bulan, pada tanggal Wajik Merah resmi di tutup, para mantan karyawan Kenya itu akan datang mengunjungi mantan bos mereka.

"Hallah, sok-sokan bilang kangen, bilang aja pada mau numpang makan, kamu Cogy ngaku kalo kesini pasti buat hindari bantuin istri kamu jualan nasi, Erwan juga pasti lari dari tanggung jawab nyetrika di laundry, ngaku ga kalian!" cecar Cacung sengit.

Tidak ada yang membantah, memang itu kenyataannya, tapi mereka juga tidak membalas mengatai Cacung dengan kalimat cacian apapun. Justru mereka ingin berterima kasih pada Cacung karena sudah rela mengabdi pada Kenya hingga mereka merasa tenang ditinggalkan mantan bos mereka.

Pesangon dari Kenya bisa membuat tiga mantan karyawannya itu membuka usaha sendiri. Agak berbeda dengan pekerjaan mereka membuat kue bersama Kenya, Cogy, Erwan, dan Gocen membuka usaha dengan menyesuaikan bakat dan minat pasangan mereka. Niatnya untuk memberdayakan istri agar tidak diam saja di rumah, juga memudahkan mereka jika memiliki urusan di luar seperti sekarang, mereka bisa sejenak meninggalkan usaha tersebut demi bertemu mantan bos mereka, dan para istri yang menangani sementara mereka pergi.

Semua tertawa, tidak ada rasa tersinggung. Meski mengomel, Cacung datang dengan sepiring ubi rebus dan pisang goreng yang masih mengepul.

"Kamu sehat juga kan, Cung?" tanya Erwan sambil melirik pada pisang goreng di hadapannya.

Wajik Merah (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now