Bab 5

521 56 1
                                    

Garis Estetika (GE)

Salah satu perusahaan arsitek dan design interior  terkenal berkat keterampilan para pegawainya telah menjadi langganan Arman jika memiliki proyek rencana membangun sebuah gedung, mendesain ruangan, bahkan rumah orang tua Arman yang ia tempati sekarang adalah hasil buah tangan pekerja Garis Estetika. Arman kini menginjakkan kakinya di gedung perusahaan arsitek itu untuk meminta desainer terbaik andalan mereka membuat counter Wajik Merah. Arman ingin yang cekatan, teliti, mampu bekerja cepat, di bawah tekanan dan...wanita.

Bagaimanapun nanti desainer itu akan lebih banyak berinteraksi dengan Kenya dan ia ingin desainer wanita lah yang mengerjakan proyek ini.

"Perusahaan kami sedang overload saat ini, anda tahu sendiri pembangunan sedang gencar-gencarnya karena bandara baru akan segera beroperasi yang artinya...maaf saya tidak bermaksud menggurui."

Pemilik perusahaan itu tertegun, terlambat menyadari jika lawan bicaranya adalah dalang di balik gencarnya pembangunan yang terjadi.

"Apa satu pun tidak ada tersisa desainer perempuan yang bisa mengerjakan proyek ini?"

Setelah mengutarakan proyek yang ingin perusahaan itu kerjakan, Arman harus mendapat kekecewaan bahwa tidak ada desainer wanita yang bisa mengerjakan proyek WM karena semua desainer telah memiliki proyek masing-masing, bahkan lebih dari satu.

"Rata-rata para arsitek dan desainer memegang dua proyek, tidak mungkin menambahnya lagi, apalagi anda meminta tenggat waktu tiga bulan. Kalau saya paksakan, hasilnya tidak akan maksimal nanti seperti permintaan anda. Kecuali..." bos GE menggantung ucapannya, ragu kalau Arman akan setuju.

"Kecuali?"

"Kecuali anda mau proyek ini dikerjakan desainer laki-laki. Saya punya satu orang desainer yang sesuai dengan kriteria yang pak Arman inginkan. Salah satu andalan GE. Dia bekerja teliti, cekatan, rapi, detil dan di bawah tekanan adalah keahliannya."

Mata Arman sedikit melebar menunjukkan ketertarikannya. Menyerah untuk mendapat pekerja wanita, dia mengiming-imingkan diri Key akan segera berada di sekelilingnya.

"Saat ini dia memegang tiga proyek, kalau menambahkannya satu lagi sepertinya tidak akan menjadi masalah. Apalagi, maaf, untuk ukuran proyek sejenis counter ini, ia akan sangat mudah mendesainnya."

Takut-takut bos GE itu melihat Arman karena mungkin akan merasa tersinggung, dia sadar terkesan meremehkan proyek Wajik Merah. Tapi untungnya wajah Arman terlihat bersahabat, tidak menampakkan raut marah seperti dugaannya.

"Siapa orangnya?"

"Sebentar." Bos GE itu melangkah menuju lemari kaca yang berisi map-map yang berjejer rapi. Telunjuknya menyentuh satu-per satu pinggiran map yang bertuliskan nama-nama karyawannya.

"Ini orangnya. Akhirul Husyabani, julukannya Wong Cosmic si tangan emas."

***

"Bikin apa mba?"

Setelah menyelesaikan dua loyang besar kue wajik merah, Kenya bergelut lagi dengan berbagai macam bahan kue yang tersedia di dapur khusus miliknya. Masih satu ruangan dengan dapur yang di pakai oleh karyawannya, tapi dapur Kenya di pisahkan oleh sekat di salah satu sudut ruang dapur itu.

Cacung membuka pintu aluminium dan hanya meyodorkan kepala dari luar.

"Mama bawa banyak ubi ungu kemarin dari kampung. Mba mau ngolah jadi klepon gula merah dan keju, bosan kalau cuma di rebus."

Setelah manajer barunya mulai bekerja, Kenya memiliki waktu lagi untuk berkreasi kue lagi di dapurnya.

"Wow, kayaknya enak."

"Sini, cicip, tapi kelapa buat topingnya belum di parut."

Cacung mengambil sepotong klepon yang sudah matang di atas piring.

"Hoh hos, hasih hanas hi halamnya." Cacung mengibas-ngibaskan tangan di depan mulutnya, berusaha mengunyah klepon yang isi dalamnya masih terasa panas.

"Makanya pelan-pelan."

Sedikit demi sedikit Cacung mulai menikmati sensasi lumer yang terasa dari gula merah bercampur manis gurih dari kulit klepon ubi ungu.

"Enak banget mba, ini kita jual juga ga?"

"Hush, ngawur, ini buat di makan di rumah, Yogi pasti suka yang isi keju."

"Kenapa kita ga taruh sebagian di display? Sepertinya mba bikin banyak."

"Kita ga siap kalau sediakan jajanan ini. Bahan bakunya susah di dapat di kota, kecuali kalau kita punya kebunnya sendiri mungkin, bisa saja. Kalau kita pajang sekarang, terus di beli customer, nah besok kalau dia nyari lagi kita mau kasih apa? Yang ada di kira kita main-main jualannya."

"Benar juga mba Key."

Cacung manggut-manggut mendengar penjelasan Kenya, kenapa otaknya yang terbatas tidak berpikiran sampai ke hal yang sesederhana itu?

"Mau saya bantuin parut kelapanya?" tawar Cacung kemudian.

"Biar nanti mba saja, kamu bawa wajiknya keluar, sepertinya sudah dingin. Jangan lupa potong yang rapi terus di bungkus."

"Ampun mba, yang itu jangan di ingetin juga kali."

"Kali aja kamu lupa apa yang mau di lakuin."

Kenya dan Cacung tertawa bersama.

Hubungan Kenya dengan para karyawannya tidak sekaku hubungan para karyawan itu dengan Arman. Pada Kenya, baik Cacung, Gocen, dan Erwan bisa bicara apa saja tanpa segan. Curhat tentang keluarga, hubungan asmara, keuangan, sampai penyakit yang medeka idap pernah di bicarakan dengan Kenya. Tidak heran mereka sangat menyayangi bos mereka.

Bahkan ketika Parhan meninggal, tiga karyawannya menginap di rumah Kenya selama dua malam.

***

Kenya memarkirkan mobil di halaman tempat terapi Yogi. Setelah menyerahkan toko pada manajernya, Kenya akhirnya bisa datang sendiri mengantar dan menjemput sang anak setelah sebelumnya ia menyewa jasa ojek. Ada perasaan berat untuk melangkahkan kakinya ke dalam. Jika ia melihat Yuni, terapis Yogi, teman kuliah mendiang suaminya, sekaligus cinta terpendamnya. Cubitan-cubitan kecil masih terasa menggerogoti hati Kenya. Perih. Sakit. Ngilu.

Kenapa setelah kepergiannya, rasa cinta Parhan pada Yuni baru ia ketahui. Sialan.

Yuni terlihat duduk menulis sesuatu di atas meja. Wanita lajang itu, meski tanpa polesan make up, memang terlihat tetap cantik. Padahal wajah Kenya juga tak kalah cantiknya, tapi kenapa Parhan berpaling dari Kenya.

Kenya mengetuk pintu, Yuni menoleh kemudian tersenyum ramah seperti biasa.

"Sudah datang rupanya."

Yuni melangkah menuju Yogi yang masih asyik dengan buku mewarnai.

"Yogi, ayo kita rapikan buku mewarnainya. Nanti Yogi lanjutkan di rumah ya! Mama sudah jemput."

Tanpa menoleh pada Yuni, Yogi merapikan sendiri perlengkapannya. Yuni bangun dari posisi duduk dan mendekati Kenya yang masih di ujung pintu.

"Key, Yogi berkembang sangat baik, selamat, kamu berhasil."

Kenya tersenyum samar.

"Tidak, kamu dan mas Parhan yang berhasil, kalau kalian tidak bersikeras membujukku agar Yogi di terapi, mungkin..."

"Kamu ibunya, kamu yang paling mengenalnya, kamu yang melahirkannya, tanpa dukunganmu Yogi tidak akan mencapai apa yang sudah di raihnya hari ini."

Yogi berdiri di samping ibunya. Menggenggam tangan Kenya erat dengan mata mengarah ke titik-titik random.

"Aku pamit, permisi."

Rasa enggan mengobrol lebih lama lagi dengan Yuni masih betah di rasakan Kenya. Setelah kenyataan pahit itu, rasa percayanya pada Yuni berkurang banyak. Meski begitu ia masih mempercayakan Yogi di terapi oleh Yuni berkat bujukan sang Mama.

Andai ia tahu lebih awal, suaminya masih mencintai cinta lamanya.

Wajik Merah (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now