Bab 37

435 47 0
                                    

Kenya memikirkan lagi kata-kata yang ia dengar dari wanita yang mengaku sebagai 'tante'-nya Arman. Ia masih sangat tidak mengerti. Suara Elia membuatnya sedikit terserang panik di tambah Arman yang masih membeku di pangkuannya dan bisa saja mendengar apa yang mereka bicarakan hingga Kenya mengiyakan saja saat tante Arman itu bicara agar pembicaraan mereka cepat selesai.

Sekarang dia harus mengolah kembali apa yang ia dengar. Sedikit kesimpulan yang Kenya petik, Arman sakit. Sakit pria itu tidak sekedar demam yang sudah ia obati. Entah apa, Kenya lupa mengingatnya saat Elia mengucapkan nama penyakit itu dengan cepat.

Dan sekarang apa yang harus ia lakukan? Tante Arman itu meminta ia setidaknya harus menenangkan Arman.

Menenangkan? Yang benar saja. Justru di sini dirinya yang merasa tertekan dengan situasi yang Arman ciptakan. Bagaimana ia bisa menenangkan seseorang jika dia sendiri gundah gulana. Mirisnya, lelaki yang sekarang ia pangku yang menjadi akar segala tekanan yang di rasa.

Tapi kata-kata Elia bagaikan teror yang dengan aktif berputar menyerang pikiran seorang wanita lumpuh seperti dirinya. Kejahatan apa yang lebih kejam dari menjahati orang yang tidak berdaya? Bolehkah Kenya mengatakan bahwa mengenal Arman adalah sebuah kutukan?

Kenya terus mengulang kata-kata si Tante hingga memaksa Kenya melakukan sesuatu yang bisa menenangkan Arman. Dalam otaknya yang penuh seperti sekarang, cara untuk menenangkan yang terlintas agar Arman segera pergi adalah...

"Arman," Kenya mengeluarkan suaranya yang paling halus, berharap pria itu bereaksi, paling tidak mengangkat wajahnya.

Kenya harus menarik napas agar suaranya lebih stabil, "Arman," Kenya mencoba lagi dengan suara yang lebih keras tapi Arman masih di posisi awal.

Dirinya benar-benar buntu dengan keadaan Arman sekarang. Siapa sebenarnya yang sakit di sini?

Tangan Kenya akhirnya terulur. Ia ingat, dulu Arman akan senang jika Kenya membelai surai pria itu.

Dengan gerakan lembut Kenya membiarkan jari jemarinya masuk membelah rambut Arman. Merasakan tiap titik sarafnya bergesekan dengan tiap helai surai hitam dan lembut Arman. Kenya sekarang harus menahan tangisnya karena mengingat kenangan mereka dulu.

Iya, malam itu sebelum aksi gila mereka.

"Apa masih sakit?" tanya Kenya sebagai upaya mengalihkan ingatannya sendiri.

"Demammu sudah turun, apa ada bagian tubuhmu yang masih sakit?"

Kenya tidak tahu di bagian tubuh mana yang di serang syndrom yang Arman derita. Apakah syndrom itu menimbulkan efek sakit atau tidak.

"Kita bisa bicara sekarang aku akan mendengarkanmu katakan saja bagian mana yang sakit jangan diam seperti ini aku tidak tahan," kata Kenya tanpa jeda. Memang benar, dia tidak tahan dengan sikap yang Arman tunjukkan.

Kenya merasakan Arman melakukan gerakan kecil. Sepertinya wajahnya sudah di jauhkan sedikit dari perut Kenya. Kenya menunduk sedikit agar bisa melihat apa dugaannya benar.

"Kamu masih marah Key, mengocehlah, akan aku dengarkan asal tidak mengusirku."

Arman akan kembali menenggelamkan wajahnya, tapi Kenya lebih dulu menyentuh wajah Arman dan itu membuat Arman bertahan di posisinya, memilih melepaskan pinggang Kenya dan mendaratkan tangannya di atas tangan Kenya.

"Aku mau bicara, artinya kamu harus menimpaliku, jangan hanya mendengarkan dan diam, aku tidak mau di kira gila karena bicara sendiri."

Arman mengeratkan genggamannya pada Kenya. Menyalurkan kegundahannya pada Kenya sebelum berani memandang wajah. Ketakutan yang pekat, yang tersisa saat awal pertemuan mereka.

Wajik Merah (Sudah Terbit)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt