Bab 1

1.2K 90 1
                                    

Key melangkah kecil dengan gerakan pelan menyusuri jalan menuju tempat tinggalnya. Jarum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan tentu saja ia hanya berteman pekat. Beruntung beberapa lampu kota bertengger menyala di sepanjang jalan. Jangan lupakan lampu teras tetangganya yang menyala benderang sebagai penguat rumah-rumah itu berpenghuni.

Tiga meter sebelum ia mencapai gerbang, gerombolan preman kampung menantinya duduk di bekas poskamling yang sudah tidak di fungsikan. Sebelum mendekat saja Key tahu mereka tersenyum melihat dirinya yang terus mendekat.

Empat orang pria, dengan pakaian beragam bertampang sangar melambai semringah pada Kenya.

Preman kok ramah.

"Ga ada kue bang, di toko habis." Kenya bicara dengan jarak setengah meter dari gerombolan, "geser dong!"

Preman-preman itu memberi ruang cukup luas pada Kenya agar bisa ikut duduk di sana.

"Toko ramai ya, mba?" Tanya salah satu preman.

"Iya, hari ini banyak yang hajatan."

"Istri saya udah pulang juga dong mbak?" Tanya yang berbaju coklat.

"Udah dari tadi, saya beresin toko sendiri kok, makanya pulang dong, ada yang nungguin masih aja nongkrong ga jelas."

Yang dikatai tertawa nyengir, "nyari angin mba, di rumah sumpek, sempit."

"Lah, bapaknya bisa bilang gitu, istri sama anaknya gimana yang di ungkep tiap hari di rumah sempit," Key menceramahi layaknya Ustazah, "tapi rumah saya ga kalah sempit juga sih." Key tertawa miris.

Menyadari malam makin larut, Key beranjak bangun, "pulang dulu ya bang, pada pulang juga dong kalau ada yang nunggu di rumah."

"Siap, mba Key."

Key melanjutkan perjalanannya menuju rumah. Lima meter lagi jarak yang harus ia tempuh.

Meski dari kejauhan, penampakan mobil yang sangat familiar di retinanya terparkir tepat di pinggir tembok yang menjadi pagar rumahnya. Key mengambil napas dalam menyadari siapa orang yang sedang ada di rumahnya sekarang.

Dia tidak habis pikir, beberapa hari ini Arman rutin berkunjung, entah untuk menumpang makan, menumpang mandi, membawakan Yogi mainan dan alasan lain yang di utarakan pria itu. Padahal, tadinya Key mengira akan jarang bertemu Arman setelah mantan manajer toko kuenya itu memutuskan bergabung dengan perusahaan keluarganya.

"Terlambat lagi!" Sapaan yang Arman lontarkan begitu Key menampakkan diri.

"Dan kamu datang lagi," balas Key melewati Arman menuju kamar, dia kembali setelah menyimpan tasnya di atas meja.

"Aku dan Yogi sudah makan."

"Sungguh? Kamu menghangatkan makanan yang aku masak?"

"Tidak, yang itu aku buang, sudah tidak layak makan."

"Aku masak tadi pagi, masa iya?"

"Dan basi." Ejek Arman tanpa segan.

"Hoh."

"Kamu belum makan?"

Ini yang Kenya antipati, perhatian yang di berikan Arman pada dirinya dan Yogi.

"Ada tenderloin di pemanas, makan saja dulu." Kata Arman santai.

Meski kepalanya menolak, Kenya tetap saja berjalan menuju dapur mencari objek yang Arman sebutkan. Sialnya, pria itu tahu Kenya tidak akan menolak steak tenderloin dan selalu memakai senjata itu kalau mendapat kekesalan Kenya.

Di dapurnya, Key bisa melihat kentang goreng dan sayur rebus pendamping steak buatan Arman. Terlalu berharga untuk di abaikan. Key menjatuhkan harga diri dengan melahap masakan mantan manajernya itu.

Wajik Merah (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now