Bab 10

417 41 0
                                    

"Apa desainer itu bisa menyusul kita ke sini secepatnya, aku tidak punya banyak waktu Arman." Kata Kenya setelah mereka selesai memesan makanan di sebuah rumah makan.

"Dia sudah menyanggupi, kita tunggu saja. Kalau dia datang terlambat kamu bisa kembali ke toko, bawa mobilku. Asalkan kamu bersedia menerima konsep yang aku usulkan padanya nanti."

Kenya memutar bola mata mendengar sikap bossy Arman seperti biasa.

"Ya ya ya, kalau itu yang terjadi silahkan lakukan, aku harap semuanya bisa berjalan sesuai rencana."

Arman tersenyum penuh kemenangan sedang Kenya melihat-lihat sekeliling rumah makan itu seperti mencari ide yang bisa ia curi untuk di terapkan di counter barunya nanti.

"Jangan mencuri ide orang lain, aku tahu sekarang kamu memikirkan hal itu," sambar Arman tepat sasaran. Kenya mendengkus. "Yang orisnil yang terbaik."

"Apa aku seperti buku, langsung terbaca saat kau membukanya," balas Kenya sedikit kesal. Mungkin benar pria di depannya ini mempunyai ilmu telepati.

Arman tertawa geli melihat reaksi Key.

"Tentu saja tidak, tadi aku hanya menebak, tapi ternyata benar. Luar biasa." Arman menyombongkan diri, "Jadi, apa sudah ada konsep yang kamu inginkan?" tanya Arman.

"Karena Wajik Merah lebih banyak memiliki menu kue tradisional, aku ingin counternya memiliki sedikit nuansa pedesaan di salah satu sudut, ambil saja wallpaper dengan nuansa kayu, dan aku suka warna kuning, jadi beberapa pajangan agar di terapkan warna itu, selebihnya ambil dari tempat induk, Wajik Merah sendiri, kamu yang lebih tahu sepertinya," jelas Kenya.

"Bisa di atur, aku senang kamu terdengar bersemangat."

"Masa? Sepertinya biasa saja."

"Apa karena aku, karena kita akan berada di satu gedung?"

"Arman."

"Ya ya ya, aku tahu aku belum berhasil, membuka hatimu."

Kenya tertawa lepas melihat wajah kekanakan Arman jika sedang kesal.

"Tidak lucu, Key."

"Jangan buat wajah seperti itu, kamu terlihat seperti Yogi." Kenya mengubah tawanya menjadi senyuman.

Hingga pesanan mereka datang, orang yang mereka tunggu belum juga muncul. Arman dan Kenya memulai makan siang mereka dengan tenang. Beberapa suapan lolos ke mulut mereka dan tanpa mereka sadari, seorang pria berdiri dekat meja mereka menghadap Arman, di belakang Kenya.

"Tuan Arman Permana?"

Arman menoleh, Kenya menghentikan aktivitasnya, suara itu tidak asing di telinganya, Kenya membeku dan tidak berani menoleh atau berbalik.

"Iya, saya Arman."

Pria itu mendekat, mengambil posisi ke samping Arman, Kenya memalingkan wajah ke sisi yang lain, ingatannya berputar, suara itu sangat di kenalnya. Sangat.

Pria itu mengulurkan tangan, Arman berdiri dari duduknya menjabat tangan pria itu.

"Akhirul Husyabani, panggil saja Bani."

"Senang bertemu anda pak Bani, saya Arman Permana."

Kenya sedikit gelisah, sebentar lagi Arman pasti akan mengenalkannya.

"Silahkan duduk."

Kenya di landa panik, tenggorokannya terasa menelan batu besar dan...

"Kenalkan, Kenya Panaringan, pemilik Wajik Merah, pemilik proyek counter yang akan anda tangani," suara Arman terdengar seperti bom di telinga Kenya.

Wajik Merah (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now