Bab 9

396 42 1
                                    

Kenya membuat sarapan sederhana di dapur dengan terburu-buru. Akibat pembicaraannya semalam dengan Arman, membuat tidurnya tidak nyenyak dan berujung bangun terlambat. Terlambat untuk orang lain dengan kondisi normal mungkin bukanlah perkara sulit. Tapi bagi Yogi, terlambat beberapa menit saja dari jadwal yang seharusnya maka itu akan membuat Yogi terganggu yang bisa berujung tantrum. Untuk saat ini Kenya bisa sedikit bernapas lega. Yogi tidak lagi perlu ia bantu untuk mandi, berpakaian dan mengenakan sepatu. Yogi sudah bisa melakukannya sendiri.

Yang jadi masalah sekarang, sarapan yang belum siap dan kendaraan untuk mengantar anaknya ke tempat terapi. Kemarin, Kenya berjalan kaki pulang dari toko kuenya karena Erwan yang membawa mobil toko untuk mengantar pesanan kue pagi ini. Jarak dari rumah sampai ke toko hanya 50 meter, tapi kadang Kenya memang harus membawa pulang mobil tokonya agar lebih aman.

"Mama, sarapan Yogi. Ini waktunya Yogi sarapan." Yogi datang tepat saat kenya mengangkat telur dari atas penggorengan. Ia lalu menaruhnya di atas piring dan menghidangkannya dengan sepiring nasi goreng.

"Sudah siap sayang, hati-hati masih panas. Jangan lupa di tiup dulu ya sebentar. Seperti ini."

Kenya mencontohkan Yogi bagaimana memotong telur dan cara meniup agar tidak terasa panas saat anak itu memakannya. Hal sepele, tapi Yogi harus di beritahu langkah-langkah kegiatan baru yang akan dia lakukan karena dia tidak seperti anak normal lainnya.

"Yogi bisa kan?"

"Yogi bisa," jawabnya tanpa memandang pada Kenya.

"Anak pintar." Kenya mencium puncak kepala anaknya, "Mama siap-siap dulu ya, Yogi sarapan sendiri." Yogi memberi anggukan lalu Kenya meninggalkannya di meja makan.

Kenya baru akan menekan aplikasi ojek online namun sebuah panggilan masuk menghalanginya.

Sempat ragu karena masih merasa malu, tapi Kenya akhirnya menerima panggilan itu.

"Iya, belum, dia sedang sarapan, memang bisa? Tapi aku sepertinya tidak bisa dan mama yang akan menunggu Yogi nanti di tempat terapi," menunggu jawaban dari Arman, Kenya membuka lemari dan memilih pakaian.

"Kalau tidak masalah ya silahkan saja, APA? Sudah di depan? Sebentar, aku pakai baju dulu Yogi memang akan terlambat kalau harus nunggu taksi."

Kenya dengan langkah seribu mengganti pakaiannya, menyisir rambut, mengoles lipstik tipis dan menabur bedak di wajah.

"Maa, jadi ma... eh, mama udah siap ternyata."

Kenya keluar dari kamar dan mendapati ibunya sudah siap dengan Yogi yang juga sudah selesai sarapan.

"Ma! Mama ga keberatan Arman yang nganter ke tempat terapi? Kita ga keburu kalau harus nunggu taksi."

"Arman? Arman manajer toko kamu itu?"

"Iya, dia kebetulan tadi dia lewat sini. Jadi sekalian nganter Yogi, aku harus ke toko, hari ini banyak orderan."

"Ya sudah tidak apa-apa, ayo, nanti Yogi beneran telat, bisa gawat."

Meski sang mama sedikit ragu dengan alasan yang di berikan Kenya, tapi Kinan menyetujui ucapan anaknya.  Hampir terpekik dengan kendaraan mewah yang di bawa Arman pagi itu, keraguan Kinan bertambah besar. Mustahil jika Arman hanya kebetulan lewat kemudian bersedia mengantar Yogi tanpa ada maksud lain.

"Mama sama Yogi jalan dulu, nanti kita bicara," pamit Kinan pada Kenya yang melepas mereka dari pintu gerbang. Tanpa Kinan mengatakan secara langsung pun Kenya tahu maksud sang ibu.

"Mama hati-hati!"

Tidak ada kata yang terlontar dari Arman atau Kenya untuk satu sama lain, tapi bahasa tubuh mereka cukup jelas menyatakan bahwa ada yang terjadi antara bos dan mantan karyawannya itu. Arman hanya melambaikan tangan pada Kenya di barengi dengan senyum mengembang sebelum memasuki kendaraan.

Wajik Merah (Sudah Terbit)Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin