Bab 16

341 40 0
                                    

Kenya menatap kosong pada sebuah buku usang di atas mejanya. Buku sebagai bukti terpeliharanya rasa almarhum suaminya pada sang cinta lama. Beberapa kali hembusan napas berat mengalun dari rongga mulut. Jika membaca puisi yang di buat Parhan untuk Yuni dadanya seketika sakit.

Awal dulu dia menemukan buku itu, Kenya marah besar, kecewa pada dunia. Dia langsung menemui Yuni dan memita penjelasan, tentu saja dengan lebih dulu menampar keras wanita itu dengan tangannya. Haruskah Key memberi Yuni piagam bahwa dia satu-satunya orang yang mendapat tamparannya?

Yuni membenarkan isi satu paragraf tulisan Parhan di buku itu. Dia tidak menjadi pengecut dengan menyangkalnya. Tapi Yuni menolak jika dirinya di sebut berselingkuh. Dengan tegas Yuni mengatakan pada Kenya bahwa dirinya tidak membalas permintaan Parhan dan meminta pria itu kembali bicara padanya baik-baik. Tentu saja Key tidak percaya.

Kalau semua maling mengaku, bisa penuh sel tahanan.

Sampai detik ini, Key masih merasakan rasa sakit. Sakit yang di torehkan bahkan oleh orang yang sudah meninggalkan dunia ini. Pria yang pernah ia cintai dengan segenap jiwa raga.

Bisa jadi Parhan sudah berencana menceraikannya tanpa Kenya ketahui. Beruntungnya Key, Tuhan mencegah hatinya terluka lebih parah dengan menjemput Parhan lebih dulu.

Hari telah di jemput senja. Key meninggalkan toko dengan karyawannya yang masih beberes. Kini saatnya, Key akan berdamai. Dia mantap akan memperbaiki keadaan.

Kenapa?

Alasannya karena pria kurang ajar itu yang telah berani meminta dirinya untuk menikah. Astaga, Arman benar-benar berhasil meng-kudeta hidupnya. Arman benar-benar lihai dan bermain licik menguasai dirinya.

Dan di sinilah Key sekarang. Di depan sebuah rumah mungil yang terawat apik. Dindingnya yang berbalut putih klasik kontras dengan jejeran tanaman hias yang terpajang di beberapa titik. Berapa kali Parhan datang ke rumah ini mengapeli pemiliknya? Pelan dan ragu Key melangkahkan kaki menuju daun penghubung antara dirinya dan tuan rumah. Setelah tekanan ke dua bel di samping pintu yang bertengger, suara knop pintu yang bergerak menandakan pemiliknya datang.

"Kenya?"

Terang saja Yuni terkejut tidak menyangka akan kedatangan tamu wanita itu, "ada apa?" sapa Yuni lagi sebelum menyadari sesuatu bahkan sebelum Key menjawab tanyanya, "oh, sori, ayo masuk dulu!" Yuni menyambutnya ramah, menghilangkan raut heran dan terkejut yang tadi terpasang.

Key mendaratka diri di sofa ruang tamu Yuni sebelum disilakan, membuat dirinya senyaman mungkin karena alasannya datang menemui wanita idaman almarhum suaminya itu mengenai masalah masa lalu mereka. Jadi, dia ingin menjaga agar kondisi tetap kondusif sedari awal.

"Mau minum apa, Key?"
"Kopi," jawab Key tanpa ragu.
"Sebentar ya."

Baik sekali tuan rumah itu, semoga tidak menangkap nada kesal yang tersangkut saat Key menyebut nama minuman yang ia mau. Dalam hati Key kembali mengingatkan diri tujuannya datang ke rumah Yuni.

"Silakan, Key, di minum." Dengan elegannya Yuni meletakkan cangkir minuman yang di sediakan untuk Kenya. Gerakan wanita itu luwes, wajahnya juga tetap cantik meski tidak berdandan. Pantas, Parhan menyukainya.

"Jadi, ada perlu apa jauh-jauh mencari saya? Ada masalah dengan Yogi?"

Key lebih dulu meraih tasnya daripada menjawab Yuni, mengambil sesuatu yang memang juga menjadi tujuannya menemui Yuni.

"Aku mau mengembalikan ini." Key menyodorkan buku usang itu. "Aku rasa, kamu saja yang menyimpannya, Mas Parhan menulis puisi itu untukmu, itu ungkapan perasaannya."

Meski berkata tidak, Yuni tetap meraih buku itu, membuka satu halaman, menatapnya nanar beberapa detik.

"Ini tidak perlu, Key."

"Perlu." Tegas Key. "Perlu untukku, aku ingin berdamai dengan Mas Parhan, aku akan berdamai dengan kenyataan, dan aku ingin menyambut masa depan dengan hati yang juga damai, jadi sebisa mungkin aku ingin menghilangkan semua jejak kesedihan, dan lagi pula, aku tidak suka membaca."

Yuni menyimak dengan baik semua yang Key ungkapkan. Sesekali menatap pada sampul sebelum melihat kembali pada Kenya.

"Dia benar, aku ibu yang kekanak-kanakan, tidak pernah dewasa dan suka memaksa, aku ingin berubah. Aku ingin berubah," Key mengulang kalimatnya, "tanpa ada Mas Parhan di dalamnya, dan membuktikan aku bisa mengatasi semua masalah dan bisa di andalkan. Jadi, simpanlah buku itu!"

***

Jika tidak terjebak macet, Key mungkin bisa pulang tepat waktu sesuai permintaan Arman. Jarak rumah Yuni yang cukup jauh dari rumahnya membuat Key tiba di rumah pukul sembilan. Suara pintu gerbang yang di gerakkan membuat seseorang di dalam rumah itu sigap membuka pintu. Pria itu melihat Key berjalan gontai. Dalam hitungan detik mereka berdiri berhadapan.

Mungkin karena memang Key yang telah membuka hati, kini jelas terlihat aura yang Arman pancarkan. Pesona pria itu di atas level tujuh.  Mata hitam setajam elang, alis tebal bergaris rapi, hidung bangir, bibir tipis, dan dagu itu, tiba-tiba menjadi favorit Key saat melihat Arman. Dagu Arman memiliki lekukan apel yang cukup dalam.

Telunjuk Kenya mengabsen lekukan itu, menekannya lembut.

"Sejak kapan dagumu memiliki lekukan ini?"

Alis Arman menyatu mendengar ucapan Kenya. Tanpa menjawab lebih dulu Arman memilih untuk memeluk wanita yang ia tunggu satu jam dengan gelisah.

"Dari mana saja?" Arman tanpa melepas pelukannya.
"Yuni."
"Untuk?"
"Berdamai dengan keadaan dan..."
"Dan?"
"Memutuskan menerima masa depan yang kamu tawarkan."

Arman mengeratkan pelukannya dengan hati yang penuh, bahkan meluap. Di kecupnya sesekali pipi Kenya. Tentu saja Arman senang jika Kenya sudah menetapkan sendiri keputusannya. Meski dirinyalah yang memicu Key mengambil keputusan itu, Arman akan tetap beranggapan bahwa dirinya tidak memberi pengaruh apapun. Itu murni atas kemauan Kenya. Demi menyenangkan hatinya. Iya. Kenya juga mencintainya. Sama seperti dirinya mencintai wanita itu.

Wajik Merah (Sudah Terbit)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant