CHAPTER XXXVI

1.6K 230 45
                                    

Aku ingin menyembunyikanmu di Jingshi agar tak ada yang bisa melukai.
Aku ingin mendekapmu sampai perginya mentari, agar pedih itu bisa mati.
Aku ingin memelukmu di Gusu, agar semua makhluk tahu jika kau hanya milikku, selalu.




MALAM terus bergulir, bergandengan bersama sang waktu yang menggiringnya pada hari-hari yang sulit. Jemari itu masih sama, masih beku, dan kaku. Mata indah itu masih setia dalam pejam, mungkin ia berusaha untuk menghindar dan lari dari dunia yang kejam. Salju di luar sana mulai berhamburan. Butiran lembut itu berdansa bersama angin beku yang bisa menusuk kulit hingga gemetar. Ketika hari menjelma menjadi bulan, saat itu pula pemuda tampan dengan tubuh tegapnya mulai mendekap rindu tak tertahankan. Yibo---dia ada di sana, masih dengan setia menggenggam jemari yang telah lama tak bereaksi. Ia masih menunggu hingga sang pujaan hati membuka kedua matanya kembali.

Satu bulan yang tertinggal di belakang membuatnya paham bahwa mungkin saja Xiao Zhan masih membutuhkan waktu untuk terlelap, mengumpulkan setiap puing tawa yang pernah berserakan karena dunia nyata yang menciptakan segala luka. Yibo memandang lepas pada jutaan butir putih di luar sana. Senyap dan gelita yang terasa, membuatnya sadar bahwa musim dingin sudah menyapa.

“Zhan, lihat. Di luar sana sedang turun salju. Apa kau menyukai musim dingin?”

Yibo tersenyum sendu tatkala kedua maniknya menatap lekat pada sosok yang masih setia di atas pembaringan selama sebulan penuh ini. Tak ada tanda-tanda ia akan bangun dan celakanya organ vital di tubuh itu semakin melemah tiap harinya.

“Berapa lama lagi waktu yang tersisa? Kau bilang ingin menghabiskan semua waktu yang kau punya bersamaku, tapi kau justu asyik berkelana dalam mimpi,” ucap Yibo.

“Apa mimpimu sangat indah hingga kau tak mau berjumpa denganku? Aku memang memberimu waktu untuk beristirahat, tapi tidak sampai membuatku menunggu cukup lama. Ah, maaf. Maaf jika aku terus berkata bahwa diriku akan menjadi orang paling setia yang selalu menantikan kehadiranmu, aku hanya tak mampu untuk hidup sendiri di dunia yang gelap ini.”

Pekat. Langit di luar sana bahkan tak mengijinkan sang fajar menampakkan diri. Egonya terlalu tinggi hingga ia melemparkan salju ke bumi---membiarkan penghuninya merasakan kuasa dingin yang menemani hari berat sang patah hati.

“Apa ada cara lain agar aku bisa membantumu hidup dengan damai kembali? Jika iya, ijinkan aku untuk meraihnya,” tambah Yibo.

Yibo bangkit berdiri. Ia membawa langkahnya ke sisi jendela kaca yang menjadi pembatas antara dirinya dan dekap beku di luar sana. Jemari Yibo menyentuh kaca yang membias dengan perlahan sebelum senyum sendu kembali terlukis di wajahnya. Tak ada tawa maupun canda. Yibo tak merasakan bahagia saat menerima kenyataan pahit yang tak pernah ia duga, terlebih saat Xiao Zhan berada di ambang kehancuran.

“Lan Wangji sangat hebat. Ia bisa menunggu Wei Wuxian selama belasan tahun, melawan para klan dan cultivator ternama dan mendapatkan hukuman atas egonya yang kuat untuk tetap mencintai Wuxiannya seumur hidup.”

Yibo terkekeh dengan hambar. “Apa kabar denganku? Aku hanya seorang pemuda yang merindukanmu setiap harinya dan tak bisa melindungi. Aku tak bisa menjadi tameng kokoh yang menghalau segala duri yang selalu siap menghujani.”

Helaan napas panjang terdengar bersamaan dengan uap yang bergelung di udara. Yibo memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket yang ia kenakan. Matanya terpejam sembari mendengarkan suara detak jantung Xiao Zhan yang tersampaikan lewat elektrokardiogram.

“Kita sudah di penghujung waktu. Pertunjukannya akan dilaksanakan sebentar lagi. Aku mau kau jadi Wuxianku. Aku mau menampilkan pertunjukan luar biasa nanti. Jadi, bangunlah. Sapa dan temani aku. Ayo kita bangkit dan lawan semua orang yang menorehkan duka di hidup kita. Ayo kita tunjukan pada mereka bahwa kita kuat saat bersama. Tunjukan pula bahwa kau dan aku akan jadi pasangan paling nyata yang ada di dunia.”

520 (Diterbitkan) ✓Where stories live. Discover now