23.5

2.9K 182 2
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

"Sungguh?" Ujar Nayla dan Nafis berbarengan dan menatap tak percaya pada Aira. "Dia yang pendiam itu punya cita-cita? Dia yang kalau di suruh umminya ini-itu tak membantah?" Tambah Nafis.

Aira mengangguk gugup karena dua kakak-adik ini menatapnya tak percaya.

"dia tak terlalu seperti itu juga kak" Bantah Nayla

"Apa cita-cita nya?" Tanya Nafis dan tak memedulikan perkataan Nayla

"Dari dulu dia sangat suka tanaman. Saat kecil aku sering memerhatikannya menatap serius pohon yang sedikit buahnya. Jadi aku tanya padanya 'Kenapa tengok pohon itu lama-lama, bang?' Dia jawab 'bagimana jika aku membantu pohon itu menumbuhkan buahnya yang banyak lagi besar' aku hanya diam, karena gak tau mau jawab apa. Dari situ aku sering lihat dia mikir sambil lihat pohon, sawah, ladang sawit, pohon tomat nenek yang mati, dll. Saat dia tamat SMA dan akan milih universitas, dia minta izin untuk memilih jurusan pertanian, tapi nenek dan abi melarang. 'Kenapa harus pilih jurusan pertanian, kau mau jadi petani?' kata nenek. Abang hanya diam. Aku tak mengerti waktu itu. Aku hanya memerhatikan dan melihat abang yang tertunduk di sebelah ummi. Ummi juga diam dan mengusap-usap tangan abang. Terus abi bilang 'kamu gak akan punya masa depan kalau milih jurusan seperti itu, lebih baik milih akuntansi, ekonomi, atau teknik sekalian. Dari pada milih jurusan seperti itu. Kamu mau jadi apa? Petani? Mau ke sawah? Mau hidup susah? Hah?!' abang hanya diam dan tertunduk lemah. sekarang, kalau dipikir-pikir kisah abang itu sedih" Tutup Aira iba. Suaranya terdengar lemah.

"Tapi yang jelas, sekarang dia sukses, Aira. Berkat dia perusahan kita meningkat juga. Alhamdulillah" Nafis bersyukur, sejak Faris bekerja di lahan sawit milik perusahaan, sejak itu pula keuntungan yang diperoleh semakin meningkat. Sawit yang dipanen bisa diperoleh dalam waktu yang lebih cepat, hasilnya pun memuaskan. Tak ada biaya yang lebih besar ketimbang pendapatan lagi. Semua berkat kerja keras Nafis dan Faris yang saling berusaha memajukan usaha keluarga.

"Benar, sekarang dia bahagia. Aku pun turut bahagia" Ucap Aira. Dia tahu abangnya saat ini telah bahagia dari hari sebelumnya. Dan menurutnya, Nayla juga salah satu sumber kebahagiaan abangnya. Namun, sepertinya Nayla masih belum tau itu.

Nayla hanya mengangguk-angguk kepalanya. Baru kali ini dia bercerita panjang lebar dengan Aira. Sebab, pasalnya Aira adalah tipe yang pemalu, pendiam dan jarang ngomong. Mungkin saja saat ini, topik yang mereka bahas nyaman untuk di ceritakan Aira.

Dering telepon memecah lamunan Nayla "Halo, assalamu'alaikum"

Di seberang menjawab salam Nayla. Sayup-sayup Nafis mendengar suara si penelepon, dia tau siapa yang menelpon Nayla. "Wah, yang dibicarakan nelpon pujaan hatinya".

"Udah, ini baru siap. Abang udah makan?" Tanya Nayla. Wajahnya berseri-seri. Nayla berdiri dan membawa piringnya pergi dari ruang keluarga.

"Lagi ada yang nanya sudah makan" Ejek Nafis.

"Jangan iri, kak" Aira menyindir Nafis yang terlihat iri dimatanya.

"Siapa yang iri?!" Suara Nafis menjadi lebih tinggi saat ucapan Aira menusuk hatinya. Dia tak menerima dikatakan seperti itu. Nafis mengambil gelas sirup yang sudah kandas diminum Nayla. "Dasar adik kurang ajar" Ucapnya emosi. Kini dia baru sadar bahwa airnya sudah habis diminum adiknya. Saat ini Nafis ingin meluapkan amarahnya pada Nayla, tapi sayang, Nayla telah pergi ke kamarnya.

"Kalau mau seperti itu, ayo segera nikah!" Goda Aira.

"Kamu, jangan bahas-bahas hal itu. Selama ini hanya kamu yang tak Nyinggung-nyinggung hal itu, loh. Biar nenek, ibu, paman, dan lain tanya kapan nikah. Kamu jangan, aku jadi gak punya teman" Kata Nafis mengancam dan memohon.

Wedding Shock ✔Where stories live. Discover now