Sagara - 14

25 2 0
                                    

Happy Reading!


***

Hening. Satu kata yang mewakilkan suasana di meja makan. Baik Andriano, Marisa dan Sagara hanya diam menikmati makan malam tanpa banyak bicara. Bahkan bertanya tentang kabar pun tidak. Seakan-akan hal itu tidaklah penting. Padahal, bisa saja bukan kalimat itu menjadi pembuka yang baik untuk mengawali komunikasi?

Sagara, cowok itu meletakkan sendok dan garpunya. Ia sudah menghabiskan nasi dan lauknya. Dengan cepat ia menegak air putih di gelas hingga tandas. Sama sekali tidak ada keinginan untuk berlama-lama bersama kedua orang tuanya.

"Kamu mau ke mana?" Tanya Marisa begitu Sagara bangkit dari tempat duduk.

Tanpa menoleh ataupun melirik, Sagara menjawab. "Kamar."

"Mama, masih kangen kamu Sa-"

Kalimat itu tak dilanjutkan, karena Andriano memegang lengan Marisa. Lelaki itu menggeleng pelan. Marisa menatap nanar kepergian Sagara.

Wanita cantik itu kembali duduk. Ia menghela napas berat. "Sampai kapan keluarga kita begini?" Kedua matanya mulai berkaca-kaca.

Andriano diam. Ia tidak tahu jawabannya.

Marisa menundukkan kepala. "Ini semua nggak akan terjadi kalo kamu selalu ada di rumah," ucapnya lirih.

"Kenapa kamu seperti menyalahkan aku?" Balas Andriano tidak terima.

"Bukannya memang iya?"

Andriano tersenyum sinis. Lalu, berdiri dari tempat duduknya. "Kamu jangan lupakan satu fakta, Marisa! Kita sama. Jadi, kamu juga salah di sini." Lelaki itu beranjak pergi.

Marisa menghela napas lagi. Hanya tersisa dia di sini. Mengingat kembali ucapan suaminya, semakin menumpuk rasa bersalah dalam hatinya. Ini sangat menyesakkan.

Lagi-lagi makan malam ini berakhir tidak baik seperti sebelumnya.

***

Sementara itu di lain tempat, suara tawa memenuhi seisi ruangan. Teja dan Galang, yang paling keras suara tawanya. Dion hanya tertawa kecil mendengar segala penuturan dari Alden yang saat ini memang terlihat frustasi. Bahkan cowok itu berkali-kali mengumpat. Lain lagi dengan Duta, ia sama sekali tidak menyumbangkan suara tawanya. Malah asyik bermain game.

"Jadi, si Sesil malah balik ngambek sama lo?" Teja kembali tertawa. "Padahal niat lo cuma pura-pura doang."

Galang menggelengkan kepala. "Kebanyakan gaya sih. Pakek acara ngambek segala."

Teja memegangi perutnya. "Kocak sumpah!"

Alden menatap kedua sahabatnya yang bisa dikatakan paling rese itu, dengan tatapan kesal. Dia kan lagi patah hati, malah diketawain. Memang ya seharusnya dia tidak pakai curhat segala. Gini kan jadinya. Dia yang malu sendiri.

Alden mengecek kembali ponselnya. Sama sekali tidak ada pesan dari Sesil. Sial! Niatnya tadi kan cuma pengen liat seberapa keras Sesil membujuknya agar tidak marah lagi. Tapi, ketika ia tidak kunjung memberi maaf pada cewek itu, sekarang malah ia yang tidak dipedulikan. Ditambah lagi Sesil pulang dengan cowok lain. Benar-benar! Sesil nggak tau ya kalo dia cemburu?

Dion menepuk pundak Alden. "Mending lo samperin dia ke rumah! Minta maaf ke dia. Terus bawa kado deh."

"Gengsi gue."

"Hari gini lo masih ngomongin gengsi?" Duta tiba-tiba menyaut. "Lo mau Sesil diambil sama cowok lain? Kalo udah gitu, gue cuma mau bilang.." Duta memberi jeda. "Makan tuh gengsi!"

Iya juga. Bagaimana kalau Sesil berpaling darinya? Gawat! Alden tidak mau hal itu terjadi. Meskipun ia dan Sesil belum resmi menjadi sepasang kekasih, tetap saja Sesil tidak boleh didekati cowok lain. Hanya dia yang boleh.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 25, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SAGARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang