34 - Rahasia Yasmin

475 24 0
                                    

Bisakah berdiskusi sebelum memutuskan suatu perkara penting? Itu akan meminimalisir kesalah pahaman.

- Pelangi di Malam Hari -

Apa yang diucapkan dengan lisan belum tentu sesuai hati kita. Aku ingin tetap bersama Mas Rafa, tapi sesuatu hal yang membuatku harus melepaskannya. Bagaikan rembulan yang harus rela pergi demi mentari. Begitu pun sebaliknya.

Berkali-kali Mas Rafa menggeleng tidak setuju atas permintaanku tadi. Aku melihat cairan bening di pelupuk matanya. Dia menangiskah? Allah ... rasanya aku tidak sampai hati melihatnya seperti itu.

"Allah tidak suka perceraian." Aku masih menatap lurus ke arah pemandangan di depan balkon, kurasa Mas Rafa sedang menatapku saat ini. "Kesuksesan iblis adalah ketika iblis itu mampu memisahkan sepasang suami istri hingga bercerai. Kamu mau iblis menang?" tanyanya sekaligus membuatku tertampar.

Tiba-tiba saja perutku terasa mual dan pusing secara bersamaan. Hampir kehilangan keseimbangan. Mas Rafa segera menopang tubuhku yang mungkin agak berat. Dia terlihat panik sekali melihatku yang memegang perut dan juga kepala.

Jika saja tidak ada dia yang siap siaga, mungkin tubuhku sudah terkapar di lantai.

"Kamu kenapa?" Aku hanya menggeleng lemah seperti tak berdaya. Ini yang kutakutkan. Mungkin memang sudah saatnya. "Kita ke dokter. Saya nggak menerima penolakan!"

Seluruh tubuhku memang sudah lemas, untuk berbicara pun seolah tak kuasa. Aku hanya pasrah. Mas Rafa membopong tubuhku seperti adegan romantis di film-film, padahal ini keadaan darurat. Dia segera membawaku ke mobil, dan melajukan kendaraannya dengan cepat.

Selama dalam perjalanan dia sama sekali tidak fokus menyetir. Pandangannya sering sekali ke arahku yang masih kesakitan. Selain mual, ada rasa aneh di sebelah kiri perutku. Rasanya seperti ditusuk-tusuk oleh ratusan jarum. Nyeri sekali.

Aku sudah menduga kalau ini akan terjadi. Cepat atau lambat, operasi itu pasti akan aku jalankan. Mas Rafa sama sekali belum mengetahui hal ini. Hanya Ibu dan Kak Dino yang kuberitahu. Reaksi mereka sama saja, tidak mendukung perpisahanku dengan Mas Rafa. Kata Ibu, kalau saja aku berbicara baik-baik dengan Mas Rafa, pasti dia akan menerimaku. Tapi itu semua tidak mudah kukatakan. Tenggorokanku seolah tercekat, alhasil tak bisa berkata apapun. Hanya diam, hingga semuanya akan terbongkar dengan sendirinya.

"Sabar, sayang. Lima menit lagi kita sampai," ujarnya sambil mengelus pucuk kepalaku yang tertutup oleh jilbab.

🍁🍁🍁

Begitu sampai di rumah sakit, Rafa meneriaki suster maupun dokter di dalam untuk menangani istrinya. Tak mempedulikan tatapan aneh orang-orang yang berlalu lalang karena kepanikan Rafa. Pasalnya, wajah Yasmin sudah memucat. Ia takut terjadi apa-apa dengan istrinya. Apalagi Rafa sudah satu bulan meninggalkannya. Dan baru saja pulang, lalu mendapat permintaan cerai.

Beberapa suster petugas UGD datang dengan membawa brankar. Rafa membaringkan tubuh Yasmin di atas sana. Perempuan itu sudah tidak sadarkan diri, matanya terpejam tanpa melihat kondisi Rafa yang sudah berantakan.

Brankar itu terus di dorong hingga masuk ke dalam ruangan UGD. Rafa hanya bisa mengantarnya sampai pintu saja. Selebihnya, suster dan dokter lah yang akan bertugas.

Kalila dan Sarah datang bersamaan dari arah pintu masuk utama rumah sakit. Langkahnya terburu-buru sambil mengedarkan pandangan ke setiap sisi ruangan. Rafa menghampiri Ibu dan mertuanya itu, dan mengatakan bahwa Yasmin sudah ditangani di UGD.

"Apa Yasmin sudah mengatakan sesuatu sama kamu, Rafa?" tanya Kalila pada mantunya.

Rafa mengernyit bingung dengan sesuatu yang di maksud oleh Kalila. "Memangnya apa, Bu?"

Kalila menghela napasnya dengan tenang, dia menatap Rafa dan Sarah secara bergantian. Wanita paruh baya itu terpaksa harus membongkar rahasia putrinya. Kalila tahu, Yasmin akan marah padanya karena memberitahukan kepada Rafa. Tetapi, Rafa itu suaminya Yasmin, dia berhak tahu semuanya.

"Yasmin didiagnosis mengidap kista ovarium," ucap Kalila menatap ruang UGD, membayangkan isakan tangis Yasmin saat dia bercerita mengenai penyakitnya. "Maka dari itu, dia bersikukuh ingin pisah dengan kamu, Rafa."

"Tapi kenapa dia mau pisah, Bu? Apa Yasmin pikir Rafa bakal pergi setelah tahu semuanya?" Kalila mengangguk, membenarkan ucapan Rafa.

Rafa sama sekali tak menyangka bahwa Yasmin ingin pisah karena penyakit itu, bukan karena masalah Carissa. Jalan pemikiran Yasmin benar-benar tidak diterima oleh Rafa. Mengapa dia memutuskan sesuatu perkara tanpa diskusi terlebih dahulu? Jika saja Yasmin ingin berbagi cerita dengan Rafa, maka dia akan menerima apapun kekurangan istrinya. Bukankah itu sebuah pernikahan? Saling melengkapi satu sama lain.

"Dia takut nanti nggak bisa punya keturunan, dan itu akan membuat kamu kecewa, Rafa." Kalila terus mengatakan apa yang dikatakan Yasmin kala itu.

Memang, setiap pernikahan ada karena ingin mempunyai generasi berikutnya yang akan meneruskan perjuangan bangsa, negara dan agama-Nya. Membuat rumah kecil menjadi ramai karena kehadirannya. Suara-suara tangis menggema di dalam rumah itu. Siapa yang tidak mau? Yasmin hanya ingin Rafa merasakan itu semua, walaupun bukan dirinya sebagai peran ibu. Suatu saat, mungkin akan ada wanita yang lebih sempurna darinya, yang mampu mewujudkan impian Rafa.

Setiap kali Rafa menatap ruang UGD, dia hampir mengeluarkan air matanya. Tak habis pikir, selama ini Yasmin memendam itu sendirian. Ia merasa gagal menjadi imam yang baik untuk keluarganya.

Seorang dokter keluar dari ruangan itu, ia menurunkan maskernya sampai ke leher untuk memudahkannya dalam berbicara.

"Bagaimana keadaan anak saya, dok?" tanya Kalila.

"Setelah melalui pemeriksaan lebih lanjut, Bu Yasmin mengidap kista ovarium. Maka dari itu, kami akan melakukan pengangkatan kista dengan Laparoskopi," jelas dokter laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun itu.

"Apa benar kista ovarium tidak bisa mempunyai keturunan, dok?" Rafa masih bertanya-tanya, dia berharap semoga apa yang Yasmin pikirkan tidak benar.

"Sebenarnya tidak semua kista membuat wanita sulit hamil, tetapi ada juga yang mempengaruhi kesuburannya. Kondisi kista pasien jika tidak secepatnya diangkat, maka ditakutkan akan semakin membesar, dan dapat menimbulkan kanker ovarium." Dokter menatap keluarga pasien satu persatu.

"Tenang saja, Pak. Laparoskopi ini tidak akan sampai mengangkat rahim. Setelah operasi pun, pasien akan menjalani masa pemulihan singkat," tambah dokter lagi untuk meyakinkah bahwa itulah yang terbaik untuk Yasmin.

Setelah suster memberikan informed concent, Rafa segera menandatanganinya dengan lapang dada. Rafa berharap setelah ini, hubungannya dengan Yasmin akan membaik. Ia yakin bahwa sebenarnya Yasmin pun ingin tetap bertahan, hanya saja karena penyakitnya, Yasmin menjadi menghindar.

Dokter menjadwalkan Yasmin akan menjalani laparoskopi lusa. Berbagai prosedur untuk menunjang operasi, telah dipersiapkan dari sekarang. Dan untuk puasa, mungkin esok akan dilakukan selama kurang lebih 8 - 12 jam.

Rafa sangat memohon kepada Allah. Dia-lah Maha pemberi nikmat sehat, Maha pemberi kesembuhan yang sesungguhnya. Tetapi terkadang, kita melalaikan nikmat itu. Bersujud hanya karena meminta pertolongan, lalu setelah dikabulkan, maka akan pergi. Bahkan sampai lupa Dia-lah yang telah memberi semuanya. Are you beggar?

Berusahalah untuk menjauhi hal demikian. Apapun, di manapun, kapanpun dan bagaimanapun kondisinya, tetaplah meminta pertolongan-Nya dalam segala hal di kehidupan kita.

Dan semoga setelah ini semuanya akan kembali seperti dulu.

- Pelangi di Malam Hari -

*Laparoskopi adalah prosedur bedah minimal invasif yang dilakukan dengan membuat sayatan kecil di dinding perut.

Pelangi di Malam HariWhere stories live. Discover now