32 - Penjelasan darinya

324 25 0
                                    

Aku tak sebaik apa yang kau ucapkan, tapi aku juga tak seburuk yang terlintas di hatimu.
(Ali bin Abi Thalib)

- Pelangi di Malam Hari -

Mengingat masih ada yang harus kuselesaikan dengan Mas Rafa, aku kembali ke rumahnya untuk menjelaskan dan menyelesaiakan semua itu.

Masalah ada untuk di hadapi. Mencari jalan keluar dengan berlari justru membuat masalah baru. Dan terus seperti itu, sampai diselesaikan dengan cara baik-baik.

Mas Rafa baru saja pulang dari rumah sakit. Kata Mami, kondisinya sudah membaik. Lilitan perban di kepalanya pun sudah tidak ada. Kurasa sudah saatnya dia tahu yang sebenarnya.

Aku duduk di sisi ranjang sambil menunggu Mas Rafa keluar dari kamar mandi. Map cokelat yang berisi foto dan surat itu masih lengkap di dalamnya. Aku menarik napas seraya memejamkan mata sebentar, menikmati udara yang masuk ke dalam rongga hidung. Lalu, dikeluarkan dengan tenang.

Akhirnya Mas Rafa keluar dari kamar mandi dengan handuk biru yang digantung di lehernya. Kulihat dengan seksama, rambutnya sudah agak panjang. Mungkin bisa di kucir. Banyak perubahan fisik pada dirinya yang tidak kusadari. Dia ikut duduk di sebelahku. Menatap bingung map cokelat yang kupegang.

"Itu apa?" tanyanya. Aku memberikan map itu tanpa berkata apapun.

Melihat ekspresiku yang berubah cuek, Mas Rafa membukanya dengan cepat. Tangannya mengambil beberapa foto dan secarik surat. Mas Rafa sendiri terkejut dengan apa yang dilihatnya. Matanya membulat lebar-lebar. Seolah ia tak menyangka dengan foto itu.

"Bisa dijelaskan?" pintaku untuk mendengar semua alasan yang ingin dia ajukan.

Mas Rafa terlihat gugup saat menjawab. Aku memperhatikan setiap gerak-geriknya. Dia berdiri setelah melemparkan foto itu di ranjang.

"Demi Allah, Yasmin. Saya nggak pernah melakukan apapun selain dengan kamu! Janji saya di hadapan Allah itu tanggung jawabnya besar." Dia menjeda kalimatnya sebentar, membuang napas gusar sambil mengacak rambutnya sendiri, frustrasi. "Tolong, percaya sama saya."

Aku masih bungkam. Bahkan, aku tidak memandangnya, melainkan memandang ke arah jendela. Wajahku sudah basah oleh buliran cairan bening dari mata. Memang, sangat cengeng sekali.

"Terus itu siapa?" Akhirnya aku bersuara. Menanyakan langsung pada seseorang yang sangat kutunggu jawaban jujurnya.

"Dia adalah Carissa, sekretaris Pak Handoko. Dan adegan yang kamu lihat itu, nggak seperti dibayangan kamu. Carissa hampir aja jatuh, kebetulan dia lagi sama saya karena bisnis, makannya saya tolong."

Benarkan yang dia ucapkan? Atau hanya alasannya belaka? Entahlah aku tidak tahu. Tapi yang pasti, sorot mata Mas Rafa menandakan bahwa itu benar adanya. Dia sangat serius dalam menjelaskan semua itu.

Mas Rafa menangkup wajahku dengan kedua tangannya. Pandangan kami tepat pada satu titik. Deru napasnya dapat kurasakan. "Saya di sana kerja, cari nafkah buat keluarga kecil kita. Pernikahan itu ibadah, saya nggak akan main-main, Yasmin." Dia masih terus menunjukan bahwa tidak bersalah.

"Dulu, Yasmin kehilangan Ayah karena bisnis, apa Mas Rafa juga?" tuduhku yang tidak-tidak. Aku hanya takut dia seperti Ayah di masa lalu. Meninggalkan keluarga demi bisnis. Itu yang paling tidak kusuka sewaktu mendengar Mas Rafa ingin ke luar kota karena urusan bisnis. 

"Terserah, kamu mau menganggap saya apa. Saya nggak mau berdebat sama kamu!" Setelah meninggikan suaranya, Mas Rafa pergi dari kamar. Gebrakan pintunya cukup keras, mungkin amarahnya sedang memuncak. Sedangkan aku? Menarik selimut untuk membekap tangisan agar tidak terdengar sampai luar. Mas Rafa tidak pernah semarah itu, baru kali ini dia meninggikan suara seperti tadi. Padahal aku yang ingin marah ke dia karena sudah berani selingkuh, tapi mengapa aku yang kalah?

Untuk menghindari perdebatan, Mas Rafa memang selalu melakukan cara dengan menyendiri. Menjauhiku sebentar, lalu balik lagi dengan kepala dingin. Dia selalu mengalah. Dan aku yang egois.

🍁🍁🍁

Karena terlalu fokus dengan masalah pribadi, aku sampai lupa akan ada UAS hari ini. Belajar pun hanya sebentar, mungkin selebihnya memakai nalar saja. Dengan mata sembap, akhirnya aku melangkah untuk ke kampus. Kondisi seperti ini pasti akan banyak sekali pertanyaan-pertanyaan dari Zahira maupun Chelsea. Yang membuat kepalaku bertambah pening mendengarnya.

Tanpa kuduga ternyata Dern pun bertanya demikian. Bertepatan saat kami keluar kelas.

"Kamu abis nangis?"

"Kenapa?"

"Suami kamu KDRT?"

"Biar nanti aku yang laporin ke polisi."

Padahal aku sudah berjalan mendahuluinya, tetapi dia tetap saja mengejarku dengan seribu pertanyaan dan tuduhan pada Mas Rafa. Aku membalikan badan setelah dia menahan lengan kiriku.

"Aku baik-baik aja. Kamu nggak perlu ikut campur masalah keluargaku. Kita udah nggak ada hubungan Dern. Dan yang kamu tuduhkan tentang Mas Rafa, itu salah." Kalimat yang kuucapkan mampu membuat derap langkahnya tak terdengar lagi. Zahira yang berada di sampingku sejak tadi, melihat Dern mematung di sana. Tanpa menoleh ke belakang, aku tahu dia sakit hati. Tapi ini satu-satunya cara agar Dern menjauhiku.

"Tajem banget," sindir perempuan berjilbab yang menatapku kagum karena keberanianku.

Seperti biasa, kami berdua duduk di kantin setelah UAS berakhir. Entahlah hasilnya bagaimana, yang penting sudah kujawab semua dengan benar, menurutku.

"Btw, lo belum cerita ke gue itu kenapa?" Zahira menatapku dengan tatapan mengintimidasi. Ternyata dia masih belum puas dengan jawaban singkat yang kuberikan tadi.

Aku langsung mengambil ponsel untuk berkaca. "Emang kelihatan banget, ya?" Zahira mengangguk.

"Lo abis nangis berapa abad sih? Huh?" Dia menertawaiku karena mata sembap ini.

"Enak aja!" Aku berdecak kesal.

Suara langkah seseorang sedang berlari semakin lama, semakin dekat. Siapa lagi kalau bukan Chelsea? Dia menyeruput minumanku tanpa permisi hingga habis. Lalu, duduk di sebelah Zahira.

"Haus banget gue abis dikejar deadline!" katanya sambil mengatur napas yang naik turun. Dia menampilkan wajah yang sok polos.

"Gue punya temen aneh banget," Zahira menggeleng-geleng melihat kelakuan Chelsea.

"Oh my God! Yasmin, lo kenapa? Siapa yang berani nangisin lo? Bilang sama gue!" Benar saja, Chelsea langsung menginterogasiku setelah dia sadar dari alam lain. Bahkan, dia sampai memegang wajahku, kemudian di putar ke kanan dan ke kiri. Namun, segera kutepis.

"Gue curiga ini ada kaitannya sama Rafa," tuduh Zahira tepat sasaran.

"Agree! Gue juga ngerasa begitu," timpal Chelsea.

Aku menatap mereka secara bergantian. Dilema antara ingin menceritakan atau tidak. Takut kalau menjadi beban untuk mereka.

Zahira dan Chelsea terus meyakinkanku bahwa berbagi masalah dengan sahabat itu tidak akan menjadi beban untuknya, justru mereka lebih dihargai karena sudah diberi kepercayaan. Tapi itu semua kembali tergantung dengan karakter setiap individu.

Baru aku ingin menceritakan, alih-alih pandanganku terfokus pada sosok laki-laki yang tak asing bagiku tepat di belakang Zahira dan Chelsea duduk. Dia mendekati kami, rasanya aku ingin menghindar, tapi sudah terlanjur sampai.

"Yasmin, ayo pulang."

- Pelangi di Malam Hari -

Pelangi di Malam HariWhere stories live. Discover now