33 - Permintaan Pahit

413 25 0
                                    

Bisa di play lagunya
Judika - Bukan Dia Tapi Aku

***

Keheningan bukan keingananku. Bersuara sama saja menyeru pertengkaran. Ketika diammu menjadi keruntuhan untuk masa depan, lebih baik kamu bersuara di masa sekarang dan menjelaskan semuanya. Setelah itu kita akan mengukir tawa bahagia.

- Pelangi di Malam Hari -

Amarahnya mengundang tangis bagiku. Tak biasanya dia meninggikan suaranya. Ya, walaupun aku yang salah karena tidak jujur dengan keadaan yang sebenarnya, tapi itu semua demi kebahagiaannya. Jika wanita di luar sana berada di posisiku saat ini, mungkin akan melakukan hal yang sama. Atau menunggu ditalak, bahkan korban poligami. Sebelum hal itu terjadi, aku harus tahu diri. Mas Rafa laki-laki yang sempurna di mataku. Tak pantas untuk seorang wanita yang divonis tak bisa memberikan hadirnya malaikat kecil di tengah keluarga.

Jika waktu di mana saat akad tiba bisa diulang, mungkin aku akan membatalkan semuanya. Setiap detik, menitnya Mas Rafa tidak dibuang begitu saja untukku. Tetapi bukankah Allah sudah memberikan jalan semua ini? Membangun ibadah terlama dengannya. Tidak. Aku tidak pernah menyesal menikah dengan Mas Rafa. Hadirnya mampu memberikan pancarona indah. Seperti pelangi. Yang akan kembali pulang setelah menganugerahkan warna-warna tercantiknya. Begitu juga dengan dia.

Berbicara tentang pelangi, aku sedang memandangnya dari dalam mobil dengan raut wajah tak mengenakan. Setelah Mas Rafa menjemputku di kampus, kami terjebak dalam keheningan. Hanya terdengar suara klakson kendaraan lain di luar dan rintikan hujan yang mulai mereda.

"Masih nggak percaya sama saya?" Dia tiba-tiba bersuara setelah lampu lalu lintas berwarna merah. Dan mobil kami bertehenti di tengah deretan mobil lainnya.

Aku menatapnya dalam-dalam. Mencoba berkata sesuai kata hatiku. "Mas Rafa, Yasmin tinggal lagi sama Ibu, ya?" 

Dia terlihat terkejut mendengar itu. Menggeleng dengan cepat sebagai tanda bahwa menolak mentah-mentah keputusanku.

"Kamu jangan bicara seperti itu, Yasmin!"

"Tapi, ..."

Ucapanku terhenti ketika kendaraan lain yang berada di belakang menlaksoni mobil kami. Ternyata lampu sudah berubah berwarna hijau. Mas Rafa segera menancapkan gas cukup kencang.

Pembicaraan kami tak dilanjutkan di dalam mobil, melainkan di rumah ketika sampai. Mas Rafa memintaku untuk duduk di sofa. Sedangkan dia, berdiri menatapku tajam. Iris matanya tak lagi teduh ketika aku mengutarakan niat ingin berpisah. Tak ada lagi dia yang menyejukan setelah kejadian itu.

"Saya mohon, tarik ucapan kamu tadi!" perintahnya dengan tegas, "kamu balik lagi ke rumah Ibu, itu sama aja kamu mau pisah dari saya, iya kan?"

Benar. Aku memang ingin pisah dari Mas Rafa. Dan itu yang ingin kusampaikan padanya.

"Kamu masih belum percaya dengan foto itu? Saya bisa telepon Carissa dan Pak Handoko sekaligus." Tanpa berkata apapun lagi, dia langsung mengambil ponsel di saku celanannya dan menelpon seseorang. Aku hanya memperhatikan apa yang dilakukannya saja.

Setelah berbicara panjang lebar, Mas Rafa menyodorkan ponselnya yang masih tersambung dengan Carissa.

"Hallo, Yasmin? Istrinya Rafa?" Suara perempuan asing di telingaku berbicara dengan nada dingin.

"Hmm ...."

"Kamu butuh penjelasan mengenai foto saya dan suami kamu itu? Itu semua benar!" Dia menekankan kata terakhirnya. Mas Rafa segera merebut ponsel itu, namun kutahan. Menunggu dia berbicara selanjutnya. "Dia pernah cerita ke saya, kalau rumah tangganya nggak harmonis. Dan dia nggak pernah bahagia!"

Aku menelan saliva kuat-kuat. Mendengar pernyataan itu dari pelaku kedua membuatku mematung di tempat. Mas Rafa sudah mengambil alih ponselnya dari tanganku, dan dia berbicara dengan Carissa emosi.

"Carissa, kenapa kamu fitnah saya? Bicara yang jujur, Carissa!"

Tanpa mempedulikan pembicaraan Mas Rafa dengan perempuan itu, aku segera berlari ke kamar. Kudengar suara langkah seseorang mengikutiku dengan berlari juga. Namun sayang, kalah cepat. Aku sudah mengunci pintu rapat-rapat agar dia tidak ada yang mengganggu.

"Yasmin, kamu jangan percaya sama Carissa. Dia bohong, kenyataannya nggak seperti itu." Mas Rafa berbicara di balik pintu. Ketukan pintu berulang kali, namun tak ku gubris.

Aku pun sama, menyandarkan kepala di daun pintu. Buliran cairan bening dari pelupuk mata sudah seperti hujan yang turun ke bumi. Sesekali kusekat dengan tanganku sendiri.

"Percaya sama saya, Yasmin."

"Buka pintunya dulu, please."

"Sayang, bukain ya?"

Untuk kalimat yang terkahir, aku sempat tersenyum mendengarnya. Akhirnya kubukakan pintu untuk Mas Rafa. Bukan karena aku luluh dengan panggilan itu, tapi karena merasa kasihan. Hal pertama yang kulihat adalah rambutnya terlihat acak-acakan. Raut wajahnya juga cemas. Dia tersenyum lebar sewaktu aku sudah berada di depannya.

Mas Rafa kontan menggenggam kedua tanganku. Tangannya dingin, berkeringat, mungkin karena terlalu cemas dan khawatit dengan kondisiku.

"Hey, maafin saya karena udah buat kamu nangis." Dia menyekat air mataku dengan perlahan. Pandangan kami bertemu cukup lama. Lalu dia mengatakan, "Kamu tahu? Saat saya mengucapkan qabul di depan Ayah kamu dengan tangan gemetar, di depan saksi yang berseru 'Sah', dan di hadapan Allah yang membuat suatu pernikahan sakinah mawwadah warahmah. Itu semua harus disertai tanggung jawab. Kelak, saya akan mempertanggung jawabkan apa yang kamu lakukan, mengapa kamu berbuat demikian, dan kepemimpinan saya sebagai kepala keluarga." Mas Rafa menghembuskan napasnya dengan tenang. Dia masih menatapku intens. "Apa kamu mau saya diberatkan hisab?"

Aku menggeleng lemah. Sama sekali tidak mau.

"Saya nggak akan khianatin seseorang yang menaruh kepercayaannya pada saya. Apalagi kamu istri saya, Yasmin." Sorot matanya kembali menyejukan. Mas Rafa yang kukenal dulu telah kembali.

Aku menepis tangannya, menjauh beberapa langkah dari Mas Rafa. Dia terus mengejarku hingga balkon.

"Maaf, Yasmin nggak bisa. Keputusan Yasmin udah bulat." Aku memejamkan mata sebentar, mematangkan kembali apa yang kuucapkan setelah ini.

"Yasmin mau kita pisah!"

- Pelangi di Malam Hari -

Pelangi di Malam HariWhere stories live. Discover now